Misteri Pondok Yang Terbakar Ebook by Syauqy_arr - OCR by Raynold KEBAKARAN! KEJADIAN itu dimulai pukul setengah sepuluh malam. Ketika itu bulan April, jadi sudah musim semi Malam gelap sekali. Desa Peterswood saat itu sunyi- senyap. Hanya sekali-sekali terdengar gonggongan anjing. Tapi tiba-tiba di sebelah barat desa nampak nyala berkobar besar. Larry Daykin melihatnya. ketika ia hendak masuk ke tempat tidur. Sebelum itu ia membuka tirai jendela kamar tidur. supaya besok pagi cahaya matahari bisa masuk dan membangunkannya. Tiba-tiba ia melihat cahaya terang di barat. "Astaga! Apa itu?" katanya pada diri sendiri Lalu ia memanggil-manggil adik perempuannya. "Daisy! Kemarilah sebentar! Lihatlah dari arah desa memancar sinar aneh." Adiknya datang, lalu ikut memandang ke luar. "Itu nyala api!" kata Daisy. "Wah! Kelihatannya besar juga. Jangan-jangan ada rumah yang terbakar!" "Kita lihat saja ke sana!" kata Larry bersemangat. "Yuk, kita berpakaian lagi. Ayah dan Ibu sedang pergi. jadi mereka tentu tidak tahu ada kebakaran. Ayo. cepatlah sed1kit." Larry dan Daisy bergegas-gegas mengenakan pakaian. Lalu turun ke bawah dan langsung lari ke luar. menuju kebun yang gelap. Ketika sudah di jalan dan sedang melewati sebuah rumah, terdengar langkah orang bergegas-gegas keluar dari situ. "Pasti itu Pip." kata Larry. sambil menyorotkan senternya ke sana. Cahaya senter menerangi seorang anak laki-laki yang umurnya sebaya dengan Larry. Di sampingnya nampak seorang anak perempuan. Umurnya sekitar delapan tahun. "Hai. Bets! Kau juga mau ikut?" sapa Daisy dengan heran. "Kau kan sudah harus tidur?" "Hai. Larry!" seru Pip. "Ada kebakaran, ya! Menurut perkiraanmu, rumah siapa yang terbakar itu? Mobil pemadam kebakaran akan dipanggil atau tidak. ya?" "Ah, pasti rumah itu akan sudah terbakar habis. sebelum pemadam kebakaran sempat datang dari desa sebelah." kata Larry. "Yuk. kita cepat-cepat saja ke sana! Kebakaran itu kelihatannya di Haycock Lane." Mereka berempat lari ke tempat itu. Di tengah jalan mereka bergabung dengan beberapa orang dari desa. Rupanya orang-orang itu juga melihat nyala api. Wah - suasana menjadi semakin ramai! "Rumah Pak Hick yang terbakar," kata seorang laki-laki. "Pasti rumahnya!" Mereka bergegas terus menuju ke ujung jalan. Sementara itu nyala api semakin nampak jelas. "Bukan rumahnya yang terbakar," seru Larry. "tapi pondok tempat Pak Hick bekerja, dalam kebun. Wah. pasti takkan banyak yang tersisa lagi!" Memang betul. Pondok yang terbakar itu sudah tua. Dindingnya sebagian dari kayu. dan sebagian lagi dari jerami. Atapnya terbuat dari rumput. Nampak rumput kering di atap terbakar. berkobar-kobar. Pak Goon sudah ada di situ. Ia polisi desa itu. Kelihatannya sibuk sekali mengatur orang-orang yang mcnyiramkan air ke api. Begitu melihat keempat anak itu datang. Pak Goon langsung berteriak marah. "Ayo pergi! Pergi!" "'Dia selalu mengatakan begitu pada anak-anak." kata Bets. "Belum pernah kudengar dia mengucapkan kata-kata lain." Ternyata percuma saja menyiramkan air berember-ember ke api. Nyalanya terlalu besar. Pak Goon berseru lagi. memanggil supir Pak Hick. "Mana Pak Thomas?" serunya. "Bilang padanya, supaya mengeluarkan selang yang biasa dipakainya untuk mencuci mobil." "Pak Thomas pergi ke stasiun." seru seorang wanita. "Dia menjemput majikan kami, yang datang dengan kereta api dari London" Yang berteriak itu Bu Minns juru masak keluarga Hick. Orangnya gemuk dan santai. Tapi saat itu ia kelihatan sangat ketakutan. Dengan tangan gemetar, ia mengisi air dari keran ke dalam beberapa ember. "Percuma saja." kata salah seorang penduduk desa. "Api sudah tidak bisa dipadamkan lagi. Sudah terlalu besar kobarannya" "Pemadam kebakaran sudah ditelepon." Kata seseorang lagi. "Tapi pondok itu pasti akan sudah habis terbakar, sebelum mobil penyemprot tiba di sini." "Yah - pokoknya kita tidak perlu khawatir api akan menjalar ke rumah." kata Pak Goon. "Untungnya angin bertiup dari arah berlawanan. Wah. Pak Hick pasti kaget kalau dia pulang nanti!" Keempat anak itu menonton dengan asyik. "Sayang, pondok sebagus itu terbakar," kata Larry. "Sayang kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya." Saat itu seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Larry datang berlari-lari. Ia membawa ember berisi air. Disiramkannya air ke api. Tapi ia salah arah. Air yang disiramkannya, sebagian membasahi Larry. "He - hati-hati kalau menyiram!" seru Larry. "Aku basah karena siramanmu!' "Maaf deh. kata anak laki-laki itu. Logat bicaranya agak aneh. Seperti diulur-ulur. Sementara itu kobaran api semakin membesar menerangi seluruh kebun. Karena itu Larry bisa melihat anak tadi dengan jelas Tubuhnya gemuk. Pakaiannya rapi Kelihatannya agak sok. "Dia itu anak baru. yang tinggal bersama orang tuanya di penginapan seberang kata Pip dengan suara pelan pada Larry. "Anaknya sok tahu segala-galanya. Uang sakunya banyak sekali. sampai tak tahu mau diapakan uang sebanyak itu!" Saat itu Pak Goon melihat anak laki-laki yang memegang ember. "He - pergi dari sini!" bentaknya. "Anak-anak jangan di sini. cuma merepotkan saja!" "Aku bukan anak-anak." jawab anak itu tersinggung. "Aku kan membantu di sini? Tidak lihat. ya?" "Ayo pergi!" bentak Pak Goon. Tiba-tiba muncul seekor anjing, lalu menggonggong-gonggong dekat kaki polisi itu. Pak Goon kesal karenanya. Ditendangnya anjing itu. "Ini anjingmu?" serunya pada anak laki-laki tadi. "Suruh dia pergi!" Anak yang disapa tidak mengacuhkannya. Ia pergi lagi, mengambil ember yang sudah diisi air. Sementara itu anjingnya asyik meloncat-loncat mengelilingi kaki Pak Goon. sambil menggonggong terus. "Pergi!" kata polisi itu. sambil menendang lagi. Larry dan ketiga anak lainnya tertawa geli. Tapi tentu saja tidak keras-keras. Anjing itu kocak sekali. Bulunya hitam. Kakinya pendek. Tapi gerak-geriknya sangat lincah. "Dia milik anak itu." kata Pip. "Anjing hebat - lucu sekali. Aku ingin anjing itu punyaku!" Saat itu api memercik ke udara. ketika sebagian dari atap rumput ambruk. Tercium bau sangit. Anak-anak mundur sedikit. Terdengar bunyi mobil datang. Seseorang berteriak. "Pak Hick datang!" Mobil itu meluncur masuk ke jalan kecil di pekarangan. Seorang laki-laki turun dari kendaraan itu. Ia berlari-lari menyusur kebun. Menuju pondok yang sedang terbakar. "Wah. sayang Pak Hick. tempat kerja anda sudah hampir habis terbakar." kata polisi desa memberi laporan. "Kami sudah berusaha sebisa-bisa kami. Pak. Tapi nyala api sudah terlalu besar. Anda mungkin tahu apa yang menyebabkan kebakaran?" "Dari mana aku mengetahuinya?" tanya Pak Hick dengan ketus "Aku kan baru saja datang dari London. Kenapa mobil pemadam kebakaran tidak dipanggil?" "Yah. Anda kan tahu mobil itu ditaruh di desa sebelah," kata Pak Goon. "Dan pada saat kami tahu ada kebakaran di sini. api sudah berkobar di atas atap. Mungkin Anda kebetulan ingat, apakah tadi pagi meninggalkan pediangan dalam keadaan menyala atau tidak?" "Ya. aku ingat," jawab Pak Hick. "Tadi pagi-pagi sekali aku bekerja di sini. Dan api di pediangan kubiarkan menyala semalaman. Aku memakai kayu sebagai bahan bakar! Dan mungkin setelah aku pergi, ada api memercik ke luar. Mungkin saja api itu sudah membara sejak pagi. tanpa diketahui siapa-siapa. Mana Bu Minns. juru masakku?" "Di sini. Pak." jawab wanita gemuk itu. Kasihan. tubuhnya gemetar. "Aduh. ini benar-benar bencana. Pak! Anda tidak mengizinkan saya membersihkan tempat kerja itu. Karenanya saya tidak masuk ke situ. Coba saya diperbolehkan. pasti api itu sudah ketahuan sebelum sempat berkobar seperti sekarang!" "Dan pintu terkunci." sela Pak Goon. "Saya tadi mencoba untuk membukanya. sebelum api menjalar sampai di situ. Nah sekarang pondok kerja anda benar-benar habis dimakan api, Pak!" Terdengar bunyi berderak-derik, sementara dinding pondok yang terbuat dari kayu bercampur jerami roboh. Api menjulang tinggi. Semua yang ada di sekitar situ buru-buru mundur. karena tidak tahan kena panas api. Dengan tiba-tiba Pak Hick kelihatan seperti orang gila. Ditangkapnya lengan Pak Goon lalu digoncang-goncangnya. "Kertas-kertasku!" seru Pak Hick dengan suara gemetar. "Dokumen-dokumenku yang berharga semuanya ada dalam pondok! Tolong. Selamatkan kertas-kertasku itu!" "Tenang, Pak - tenang," kata Pak Goon, sambil memandang kobaran api di depan matanya. "Tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari situ! Dari semula memang sudah tidak bisa!" "Aduh - kertas-kertasku!" teriak Pak Hick dengan bingung. Ia bergerak ke arah pondok yang terbakar. Kelihatannya seperti hendak berusaha mencari di tengah kobaran api. Untung saja ada dua atau tiga orang yang cepat-cepat menahannya. "Aduh, Pak - jangan lupa diri," kata Pak Goon gelisah. "Kertas-kertas itu. apakah sangat berharga?" "Berharga? Bukan berharga lagi - tidak mungkin bisa dicari gantinya." Keluh Pak Hick. "Bagiku. nilainya beribu-ribu!" "Mudah-mudahan saja sudah diasuransikan. Pak," kata seorang laki-laki yang ada di dekatnya. Pak Hick memandang orang itu dengan sinar mata liar. "Tentu saja diasuransikan - tapi kehilanganku itu tak mungkin bisa diganti dengan uang!" Bets tidak mengerti. apa yang dimaksudkan dengan kata 'di-asuransi-kan'. Cepat-cepat Larry menjelaskan. "Kalau kita memiliki suatu benda berharga yang ada kemungkinannya dicuri atau hilang karena terbakar atau musibah lain, benda itu bisa diasuransikan. Caranya. dengan membayar uang dalam jumlah yang tidak banyak setiap tahun pada perusahaan asuransi. Perusahaan itu kemudian menanggung ganti rugi membayar nilai benda itu jika sampai hilang atau dicuri." "O, begitu." kata Bets. Dipandangnya Pak Hick yang nampak masih terus bingung. Orang ini aneh, pikir Bets. Orangnya jangkung agak bungkuk. Rambutnya acak-acakan. Hidungnya panjang. sedang matanya tersembunyi di balik lensa kaca mata yang besar. Bets tidak begitu suka melihat wajah Pak Hick. "Suruh orang-orang pergi semua dari sini," kata orang itu kemudian. sambil memandang penduduk desa termasuk anak-anak. "Aku tak mau kebunku rusak diinjak-injak mereka. Di sini tak ada lagi yang masih bisa diselamatkan." "Baik. Pak," kata Pak Goon. Polisi desa itu senang, karena mendapat kesempatan mengusir begitu banyak orang sekaligus. Dihampirinya orang-orang yang masih menonton. "Ayo pergi!" katanya dengan galak "Tak ada lagi yang masih bisa dilakukan di sini. Anak-anak pergi! Semua pergi!" Nyala api mulai mengecil. Lama-kelamaan pasti padam dengan sendirinya. Tiba-tiba anak-anak merasa mengantuk, setelah mengalami kejadian yang begitu menegangkan. Mata mereka terasa pedih. kena asap api. "Uah! Pakaianku berbau sangit kena asap," kata Larry. "Yuk kita pulang saja sekarang. Ayah dan Ibu sudah pulang atau belum, ya?" Larry dan Daisy berjalan pulang, seiring dengan Pip serta adik perempuannya. Bets. Di belakang mereka berjalan anak laki-laki tadi bersama anjingnya. Anak itu bersiul-siul. Setelah beberapa saat. disusulnya keempat anak yang berjalan di depan. "Wah, hebat tadi ya." katanya membuka percakapan. "Untung tidak ada yang cedera! He -bagaimana jika kita berkumpul lagi besok? Kita bermain bersama-sama. atau melakukan kesibukan lain. Aku selalu sendiri di hotel yang di seberang kebun Pak Hick! Orang tuaku kerjanya main golf terus. sepanjang hari." "Yah -" Larry agak ragu. Ia tidak begitu suka melihat anak laki-laki itu. "Yah kalau kami kebetulan datang ke sekitar sini. nanti kami mampir untuk menjemputmu." "Setuju." jawab anak itu. "Yuk. Buster - kita pulang!" Anjing kecil itu menurut dengan segera keduanya sudah tidak kelihatan lagi. Hilang dalam gelap. "Anak gendut bertingkah!" tukas Daisy. Yang dimaksudkannya anak laki-laki tadi. Bukan anjingnya. "Dikiranya kita ingin bergaul dengan dia? Huhh! He - besok kita berkumpul lagi yuk. lalu pergi melihat apa yang masih tersisa dari pondok tadi!" "Setuju." kata Pip. Ia membelok. masuk ke pekarangan rumahnya. "Ayo. Bets. Kurasa kalau kita masih agak lama lagi di luar. kau pasti akan tertidur sambil berdiri!" Larry dan Daisy meneruskan langkah menuju rumah mereka "Kasihan Pak Haik," kata Daisy Dia tadi bingung sekah, memikirkan kertas- kertasnya yang berharga. II "PASUKAN MAU TAHU DI BENTUK" Keesokan harinya Larry dan Daisy mendatangi rumah Pip. Sesampai di sana mereka melihat anak itu sedang bermain-main dengan Bets di kebun. Mereka berseru memanggil kedua anak itu. "Pip! Bets! Kami ada di sini!" Dengan segera Pip muncul. Bets. adiknya yang jauh lebih kecil. menyusul dengan napas terengah-engah. Kakinya tidak sepanjang kaki Pip, jadi jalannya juga harus lebih cepat. "Kau sudah ke tempat kebakaran itu tadi?" tanya Larry. "Ya, sudah! O ya. ada kabar baru - kata orang pondok itu dibakar dengan sengaja," kata Pip bersemangat. "Dengan sengaja?" seru Larry dan Daisy serempak. "Tapi siapa yang mau berbuat jahat begitu?" "Aku tidak tahu." jawab Pip. "Pokoknya tadi kudengar orang-orang mempercakapkannya. Dikatakan bahwa petugas perusahaan asuransi sudah datang. bersama seorang ahli kebakaran. Ahli itu mengatakan. api itu dinyalakan dengan bensin. Ahli begitu bisa menyelidiki hal-hal kayak begitu." "Astaga!" kata Larry kaget. "Tapi lantas siapa yang melakukannya? Mungkin seseorang. Yang tidak senang pada Pak Hick. ya?" "Ya." jawab Pip. "Pasti Pak `Ayo Pergi' sudah bersemangat sekarang. karena ada perbuatan jahat yang bisa diselidiki olehnya. Tapi dia itu begitu tolol - mustahil bisa menemukan apa pun juga!" "He - anjing yang kemarin muncul lagi," kata Bets dengan tiba-tiba. Ia menuding seekor anjing kecil berbulu hitam. yang saat itu masuk ke dalam kebun. Anjing itu tegak memperhatikan mereka. Telinganya diruncingkan ke atas, seakan-akan hendak bertanya. 'Aku boleh masuk kemari?' "Halo, Buster!" sapa Larry. Ia berjongkok, lalu menepuk-nepuk lutut menyuruh anjing itu mendekat. "Kau anjing manis. Aku kepingin punya anjing kayak kamu. Aku belum pernah memelihara anjing." "Aku juga belum pernah," sambung Pip. "Sini, Buster! Mau tulang? Atau lebih baik biskuit?" Buster menggonggong. Tidak disangka anjing sekecil dia. gonggongannya begitu berat "Kau harus mengambilkan tulang dan biskuit untuk dia," kata Bets. "Ayo, ambilkan!" Pip pergi ke rumah. diikuti oleh anjing kecil itu. Tak lama kemudian keduanya sudah kembali lagi. Buster menggondol sepotong tulang dan sekeping biskuit di mulutnya. Kedua bawaannya itu diletakkannya ke tanah. Lalu ditatapnya Pip dengan pandangan seperti ingin bertanya. "Ya. kedua-duanya untukmu. Buster, "kata Pip. "Ternyata dia sama sekali tidak rakus! Mau menunggu, sampai diizinkan." Buster mengunyah tulang terlebih dulu. Setelah itu disusul dengan biskuit. Setelah kedua-duanya habis dimakan, Buster mulai melonjak-lonjak mengelilingi keempat anak itu. Rupanya mengajak mereka bermain-main. Anak-anak senang sekali melihatnya. "Sayang, tuannya anak yang sudah gendut seperti sosis, sok aksi lagi." kata Larry. Disambut tertawa geli. Memang benar, majikan Buster memang agak mirip sosis gendutnya. Ketika mereka berempat sedang tertawa-tawa. tiba-tiba terdengar langkah orang mendekat. Majikan Buster datang menghampiri. Hai." sapa anak itu. "Kudengar tadi suara kalian bermain-main dengan Buster. He Buster kau tidak boleh minggat, ya! Ayo ke sini!" Buster menghampiri majikannya sambil melonjak-lonjak dengan gembira. Nampak jelas anjing itu sangat menyayangi tuannya yang gendut itu. "Kalian sudah mendengar kabar baru?" tanya anak itu, sambil menepuk-nepuk Buster. "Maksudku bahwa pondok kerja itu dibakar orang dengan sengaja?" "Ya. sudah - Pip yang bercerita tadi." kata Larry. Kau percaya kabar itu?" "Tentu saja." jawab anak yang baru datang. "Terus terang saja. dari semula aku sudah menduga begitu!" "Bohong!" tukas Larry dengan segera. Dari cara anak itu bicara. Larry tahu anak yang sok tahu itu sebenarnya sama sekali tidak menduga apa-apa. "Nanti dulu." kata anak itu. "aku kan tinggal di hotel yang letaknya di seberang kebun Pak Hick! Nah. kemarin petang aku melihat seorang gelandangan mondar-mandir di sana. Pasti laki-laki itu yang membakar pondok!" Anak-anak memandangnya sambil melongo. "Tapi untuk apa dia melakukannya?" tanya Larry kemudian. "Biarpun gelandangan. orang kan tidak seenaknya saja iseng menyiram rumah dengan bensin lalu membakarnya?" "Yah." kata anak yang diajak bicara. Sambil berpikir, "mungkin saja gelandangan itu menyimpan dendam terhadap Pak Hick. Siapa tahu! Pak Hick di daerah sini kan terkenal bukan orang yang ramah dan sabar. Mungkin saja gelandangan tua itu tadi pagi diusirnya ketika datang ke sana!" Anak-anak termenung, memikirkan kemungkinan itu. "Yuk. kita pindah saja ke pondok peranginan kami untuk membicarakannya." ajak Pip. "Ini soal yang misterius. Asyik juga jika kita bisa ikut memecahkannya." Tanpa diajak anak tadi ikut menuju ke pondok peranginan, disertai oleh Buster. Sesampai di sana. Buster langsung naik ke atas pangkuan Larry. Tentu saja tampang Larry berseri karena senang. "Pukul berapa kau melihat gelandangan itu?" tanya Pip. "Sekitar pukul enam," jawab yang ditanya. "Orangnya sudah tua. Dekil Memakai mantel hujan yang sudah robek-robek. serta topi yang sudah bulukan karena tuanya. Ia bergerak menyelinap sepanjang pagar tanam-tanaman. Begitu Buster melihat orang itu. ia langsung mengejar sambil menggonggong-gonggong." "Kaulihat orang itu menjinjing kaleng berisi bensin?" tanya Larry. "Tidak, dia tidak membawa kaleng." jawab si Gendut. "Tapi dia menggenggam tongkat. Cuma itu saja yang ada padanya." "He!" seru Daisy dengan tiba-tiba. "He - aku mendapat akal!" Larry, Pip dan juga Bets memandang Daisy. Anak perempuan itu sering mendapat akal dengan tiba-tiba. Dan biasanya, akal itu menarik! "Kau mendapat akal apa kali ini?" tanya Larry. "Kita menjadi detektif!" seru Daisy. "Kita mengadakan penyelidikan, untuk mengetahui SIAPA MEMBAKAR POHDOK!" "Detektif? apa itu?" tanya Bets. Umurnya baru delapan tahun. Jadi pengetahuannya belum begitu banyak. "Detektif itu orang yang menyelidiki rahasia." jawab Larry. "Seseorang yang selalu mau tahu. sipa yang melakukan kejahatan!" "O, orang yang mau tahu," kata Bets. "Aku juga mau. Pasti aku hebat. kalau disuruh mau tahu!" "Jangan - kau masih terlalu kecil," larang Pip. Seketika itu air mata Bets sudah mulai menggenang. "Kami bertiga yang akan menjadi detektif sungguhan," kata Larry dengan mata berkilat-kilat. "Aku, Pip dan Daisy! Tiga detektif ulung!" "Aku tidak boleh ikut?" tanya anak yang bertubuh gendut. "Otakku sangat tajam!" Anak-anak yang lain memandangnya dengan ragu-ragu. Ketajaman otaknya tidak bisa dilihat pada tampangnya yang bulat. Kalau anak itu mengaku tolol nah, pasti lebih gampang dipercaya! "Yah - kami kan belum mengenalmu," jawab Larry setelah beberapa saat. "Namaku Frederick Algemon Trotteville," kata anak itu. "Kau siapa?" "Namaku Laurence Daykin." jawab Larry. "Disingkat Larry! Umurku tiga belas tahun." "Dan aku Margaret Daykin - dipanggil Daisy," sambung Daisy. "Umurku dua belas." "Aku Philip Hilton alias Pip. Dua belas tahun. Ini adikku, Elisabeth." kata Pip. Anak yang baru memperkenalkan diri. memandang mereka bertiga dengan agak heran. "Aneh," katanya. "Laurence menjadi Larry. Philip alias Pip. sedang Margaret malah menjelma jadi Daisy. Kalau aku - aku selalu dipanggil dengan nama Frederick." Anak-anak cekikikan. Bagi mereka. justru itu yang kocak. Apalagi anak yang bernama Frederick itu kalau bicara diulur-ulur, seperti disengaja agar kedengaran gagah. Dan nama panjang `Frederick Algemon Trotteville'. rasanya cocok dengan tingkah-laku anak itu. "F dan Frederick. A dari Algemon. dan T dari Trotteville." kata Pip dengan tiba-tiba. Sambil meringis. "Kalau disambung jadinya F-A-T. Fat, alias gendut. Cocok sekali untukmu!" Mula-mula tampang Frederick Algemon Trotteville agak masam. Tapi cuma sebentar saja. Kemudian ia nyengir. "Aku memang agak gendut." katanya mengaku. "Seleraku memang besar. Dan aku memang banyak makan." "Orang tuamu seharusnya dulu tidak memilih nama-nama. yang singkatannya kalau digabung menjadi begitu." kata Daisy. "Anaknya gendut. Lalu singkatan namanya juga F-A-T alias gendut. Kasihan si Fatty!" Frederick Algemon mengeluh dalam hati. Disadarinya, mulai saat itu ia akan mendapat nama julukan baru. Fatty! Di sekolah ia sudah dipanggil dengan julukan Tubby yang berarti Gentong atau Gendut. Kalau tidak. si sosis. Sekarang, selama masa sisa liburan ia akan dikenal dengan Fatty. Tapi apa boleh buat. Dipandangnya keempat kawan barunya. "Bolehkah aku menggabungkan diri dalam perkumpulan detektif kalian?" tanyanya penuh harap "Kan aku yang tadi bercerita tentang gelandangan itu" "Kami tidak mendirikan perkumpulan," jawab Larry "Cuma kami saja bertiga akan bersama-sama memecahkan suatu misteri." "Aku juga ikut!" seru Bets- "Bilang aku boleh ikut, ya? Aku jangan kalian tinggalkan!" "Biarlah dia ikut." kata Fatty dengan tidak di sangka-sangka. "Dia memang masih kecil - tapi siapa tahu ada gunanya nanti. Dan Buster juga perlu diikutsertakan. Dia bisa mencium barang-barang tersembunyi.'ø "Barang tersembunyi yang mana?" tanya Larry bingung. "Entah. aku juga tidak tahu." jawab Fatty. "Tapi siapa tahu apa saja yang akan ditemukan nanti. Jika kegiatan memecahkan teka-teki kejadian misterius sudah mulai." "Semua saja ikut!" seru Bets. Buster seolah-olah merasakan suasana saat itu. Ia menggaruk-garuk Larry dengan kaki depannya. sambil mendengking pelan. Ketiga anak yang lebih besar kini mulai mau menerima Fatty, karena sadar bahwa dengan begitu Buster akan ikut pula. Karena senang pada anjing hitam itu, mereka mau mengajak Fatty. Fatty, anak gendut yang tolol tapi sok aksi itu. Buster bisa dijadikan pencium jejak nanti. Mereka merasa sudah menjadi detektif tulen. Karena detektif tulen pasti punya anjing pencium jejak. "Kalau begitu kita semua beramai-ramai akan berusaha memecahkan Misteri Pondok Terbakar." "Ya - kita. Pasukan Mau Tahu, ditambah Anjing." kata Bets. Anak-anak tertawa mendengarnya. "Nama apa itu?! Konyol." kata Larry. Tapi walau begitu. nama pilihan Bets tadi tetap dipakai. Selama liburan. Dan juga lama sesudah itu. Mereka menamakan diri anggota Pasukan Mau Tahu Dengan anjing, tentunya. "Aku tahu segala soal mengenai polisi dan detektif," kata Fatty." Jadi sebaiknya aku saja jadi pemimpin kita." '"Tidak bisa!" tukas Larry dengan segera. 'Tanggung pengetahuanmu tidak lebih banyak daripada kami. Dan jangan sangka kami ini begitu tolol. sehingga tidak melihat bahwa kau itu sebenarnya cuma sok tahu belaka! Mulai saat ini tingkahmu harus kau ubah. jika ingin kami percaya padamu! Lalu mengenai pemimpin - aku yang akan jadi pemimpin. Selama ini aku selalu menjadi pemimpin." "Betul," sambut Pip. "Larry anaknya pintar. Dialah yang harus dijadikan kepala Pasukan Mau Tahu." "Ya deh." kata Fatty dengan segan-segan. "Habis. empat lawan satu sih! He - sudah setengah satu! Sial - aku harus pulang." "Nanti pukul dua tepat berkumpul lagi di sini," kata Larry. "Kita harus merundingkan soal menemukan jejak." "Cecak?" tanya Bets sambil bergidik. Rupanya ia salah dengar. "Aku tidak mau. kalau disuruh menemukan cecak. Aku jijik pada binatang itu!" "Goblok!" tukas Pip dengan kesal. "Apa gunanya kau nanti dalam perkumpulan kita - aku tak tahu!" III RAPAT PERTAMA Tepat pukul dua siang. kelima anak itu berkumpul dalam kebun rumah Pip yang luas. Pip sudah menunggu. dan langsung mengajak masuk ke pondok peranginan. "Sebaiknya tempat ini saja yang kata jadikan markas besar." katanya mengusulkan. "Soalnya. kita pasti perlu mengadakan rapat. untuk merundingkan berbagai soal. Tempat ini baik karena letaknya di ujung kebun. Jadi tak ada yang basa ikut mendengar perundangan kita." "Nah," kata Larry setelah itu, "karena aku kepala pasukan, sebaiknya sekarang aku yang mulai. Aku akan mengulangi kembali hal-hal yang kita ketahui. Setelah itu kita lanjutkan dengan rencana tindakan." "Aduh, asyik!" kata Bets. Anak itu senang sekali karena diperbolehkan bergabung dengan anak-anak besar. "Jangan memotong. Bets," kata Pip. Dengan segera Bets meluruskan sikap duduknya. Tampangnya serius. "Yah, kita semua sudah tahu. pondok tempat Pak Hick bekerja yang letaknya di ujung kebunnya kemarin malam terbakar habis," kata Larry. "Pak Hick baru datang ketika tempat itu sudah hampir habis terbakar karena saat itu ia baru saja kembali dari London. Supirnya yang menjemput di stasiun. Para petugas perusahaan asuransi mengatakan api disebabkan oleh siraman bensin yang kemudian dinyalakan. Jadi mestinya ada orang yang dengan sengaja membakar. Pasukan kita bertekad mau tahu. siapa yang melakukan perbuatan jahat itu. Betul begitu?" "Betul! Kau mengatakannya dengan baik sekali," sambut Pip. Fatty membuka mulut. Ia berbicara dengan suara tinggi yang dibuat-buat. "Kusarankan agar yang pertama-tama kita lakukan..." katanya. Tapi sebelum kalimatnya keluar. Larry sudah cepat-cepat memotong. "Aku yang sekarang bicara. Fatty - bukan kau!" katanya. "Tutup mulut!" Fatty diam. Tapi dari tampangnya nampak jelas bahwa ia tidak senang. Dengan air muka bosan ia menggerincingkan uang yang ada dalam kantongnya. "Untuk mengetahui siapa yang membakar pondok itu. kita perlu menyelidiki apakah ada orang yang berada di dekat pondok atau dalam kebun sore itu." kata Larry lagi. "Menurut Fatty, ia melihat seorang gelandangan di sana. Nah, kini kita harus mencari orang itu! Harus diselidiki. siapakah dia ada sangkut-pautnya dengan peristiwa kebakaran. Kecuali itu masih ada pula Bu Minns, juru masak Pak Hick. Kita harus mencari keterangan tentang dia." "Apakah tidak perlu diselidiki mungkin ada yang menaruh dendam pada Pak Hick!" sela Daisy. "Pondok kan tidak dibakar dengan begitu saja karena iseng! Pasti itu dilakukan untuk membalas dendam pada Pak Hick, karena salah satu sebab." "Bagus. Daisy." puji Larry. "Itu penting! Itu termasuk salah satu hal yang perlu kita selidiki. Siapakah yang menaruh dendam pada Pak Hick." "Kurasa tentu ada seratus." kata Pip. "Tukang kebun kami bercerita. Pak Hick orangnya pemarah. Tidak ada yang suka padanya." "Yah. kalau begitu jika kita berhasil mengetahui ada orang yang mendendam padanya dan kemarin malam ada di kebun sana. maka boleh dibilang pelakunya sudah kita temukan!" kata Larry. "Kita juga perlu mencari petunjuk." sela Fatty. Ia sudah tidak tahan lagi. membungkam terus. "Apa itu - petunjuk?" tanya Bets. "Aduh. kau ini benar-benar masih anak kecil," keluh Pip. "Ya deh! Tapi apa itu, petunjuk?" tanya Bets lagi. "Petunjuk adalah hal-hal yang membantu kita dalam penyelidikan." kata Larry. "Misalnya saja. dalam cerita detektif yang baru saja selesai kubaca, seorang pencuri ketinggalan puntung rokok dalam toko tempatnya sedang mencuri. Kemudian puntung rokok itu ditemukan polisi. Ternyata mereknya tidak sering kelihatan di daerah situ. Polisi lantas mulai mengadakan penyelidikan. Dicari siapa saja yang mengisap rokok merek itu. Ketika akhirnya mereka menemukan orang itu, ternyata memang dialah pencuri yang dicari. Nah, di sini puntung rokok itu petunjuk." "O. begitu," kata Bets. "Aku akan banyak menemukan telunjuk - eh. petunjuk maksudku. Aku senang kalau disuruh mencarinya. Tapi mencarinya di mana ya?" ` Pip memandangnya sambil melotot. "Kita perlu membuka mata dan memasang telinga guna menemukan petunjuk-petunjuk," kata Larry. "Misalnya saja. mungkin nanti kita menemukan petunjuk berupa jejak kaki. Kalian mengerti. kan? Jejak kaki menuju pondok. Yang ditinggalkan oleh pembakar tempat itu." Fatty tertawa meremehkan. Anak-anak lain menatapnya dengan heran. "Apa yang lucu?" tanya Larry dengan sengit. "Ah bukan apa-apa," jawab Fatty. "Aku Cuma geli sendiri jika membayangkan kalian membungkuk bungkuk di kebun Pak Hick mencari jejak kaki. Pasti kalian akan menemukan lebih dari sejuta. Begitu banyak orang yang berkeliaran di sana semalam, menonton kebakaran." Muka Larry berubah, menjadi merah padam. Ia membelalakkan mata, menatap wajah Fatty yang bulat. Fatty membalas tatapan itu sambil nyengir. "Orang yang membakar itu kemarin mungkin bersembunyi dulu dalam semak pagar, menunggu kesempatan baik," kata Larry. "Dan kemarin malam tak ada yang pergi ke situ kan? Jadi mungkin saja kita menemukan jejak kaki di situ kan? Dalam parit yang becek?" "Ya. mungkin saja." jawab Fatty. "Tapi percuma, kalau hendak dicari jejak kaki menuju ke pondok. Bekas kakiku ada di situ, bekas kakimu, bekas kaki polisi galak dan masih ada seratus orang lagi." "Sebaiknya `Pak Ayo Pergi' jangan sampai tahu bahwa kita menyelidiki misteri ini," kata Pip. "Pak Ayo Pergi? Siapa itu?" tanya Fatty dengan heran. "Pak Goon, polisi galak yang kausebutkan tadi. Dia kan selalu berteriak-teriak, Ayo Pergi! Karenanya ia kami juluki Pak Ayo Pergi!" kata Daisy menjelaskan. "Yah, sebaiknya kita jauhi saja Pak Ayo Pergi." kata Larry. "Dan pasti akan melongo jika kemudian kita laporkan padanya siapa yang sebetulnya membakar pondok Pak Hick! Kita pasti berhasil. jika kita bekerja sama dan berusaha sekuat-kuatnya." "Pertama-tama apa dulu yang kita lakukan"tanya Pip. Ia sudah tidak sabar lagi. Ingin lekas-lekas melakukan sesuatu. "Kita harus mencari petunjuk-petunjuk. Kita harus mencari keterangan lebih lanjut tentang gelandangan yang dilihat oleh Fatty." kata Larry. "Dan kita juga harus menyelidiki. siapa yang menaruh dendam terhadap Pak Hick. Kita harus menyelidiki, adakah orang yang mungkin bisa menyelinap ke dalam pondok hari itu, lalu kemudian membakarnya." "Ada baiknya jika kita bicara dengan Bu Minns, juru masak di situ." kata Daisy. "Dia tentu tahu jika hari itu ada orang lain berkeliaran di sana. Dan bukankah kecuali supir. Pak Hick masih punya pembantu seorang lagi?" "Ya, pesuruhnya," kata Larry. "Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kita juga perlu mencari keterangan mengenai orang itu. Wah - banyak sekali yang harus kita lakukan!" "Mula-mula kita cari saja petunjuk dulu." Kata Bets. Menurut sangkaannya. mereka pasti akan menemukan berbagai benda berserakan di sekitar pondok yang terbakar. Dan berkat benda-benda itu. dengan segera mereka akan mengetahui siapa orangnya yang membakar pondok Pak Hick! "Setuju," kata Larry. la juga sudah kepingin mencari-cari petunjuk yang mungkin ada. "Sekarang dengar dulu! Jika kita dilihat orang berkeliaran dalam kebun Pak Hick. mungkin kita akan diusir dari situ. Karenanya aku akan menjatuhkan sekeping mata uang di salah satu tempat di situ. Jadi jika ada yang bertanya akan kukatakan uangku jatuh di situ. Pasti akan disangka kita mencari uang itu. Dan kita tidak bohong. karena memang akan ada uangku yang jatuh!" "Baiklah." kata Pip sambil bangkit. "Yuk kita sekarang saja ke sana! Setelah itu kita menanyai Bu Minns. Tanggung dia senang diajak mengobrol. Banyak yang mungkin bisa kita ketahui dari dia." Saat itu Buster meloncat turun dari pangkuan Larry, lalu mendongak memandang anak-anak dengan ekor mengibas kian kemari. "Kurasa dia mengerti pembicaraan kita!" kata Bets. "Dan kini ia sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat menemukan petunjuk!" "Aduh. kau ini- dengan petunjukmu." kata Larry sambil tertawa. "Yuk. Pasukan Mau Tahu - kita mulai beraksi!" IV PETUNJUK - DAN AYO PERGI! Kelima anak-anak itu menyusur jalan. menuju tempat kebakaran kemarin malam. Mereka melewati rumah Pak Hick. Akhirnya tiba di tempat pondok yang sudah habis terbakar Di sebelah depan kebun itu ada sebuah pintu kecil, terbuat dari kayu. Di belakangnya ada jalan kecil yang sudah ditumbuhi rumput. Anak-anak bermaksud pergi ke pondok lewat jalan yang berkelok-kelok itu. Dengan begitu takkan ada yang melihat mereka. Demikian harapan mereka. Masih tercium bau sangit bekas kebakaran. Hari itu angin tidak bertiup. Matahari bersinar cerah. Di mana-mana nampak bunga menguning. Anak-anak membuka gerbang, lalu mulai merintis jalan yang berumput. Di depan nampak puing reruntuhan pondok menghitam tinggal arang. Pondok itu kecil sekali. Dulunya terdiri dari dua ruangan. Tapi dinding pemisahnya kemudian dibongkar oleh Pak Hick. sehingga diperoleh satu ruangan yang luas. Ruangan itu lalu dijadikannya tempat kerja. "Nah - sekarang kita mencari di sekitar sini, " kata Larry dengan suara pelan. "Mungkin saja bisa menemukan sesuatu yang bisa membantu penyelidikan kita" Kelihatan jelas, tak ada gunanya mencari-cari di tempat orang-orang desa berkerumun menonton kemarin malam. Di tempat itu nampak bekas kaki tersimpang siur tak menentu. Anak-anak lantas menyebar. Mereka mulai mencari-cari sepanjang jalan berumput yang menuju ke pondok. Serta sepanjang semak pagar yang tumbuh menaungi parit di ujung kebun. Buster tidak mau ketinggalan. Tapi anjing itu mengira anak-anak sedang mencari kelinci. Karena itu setiap kali menemukan liang kelinci ia menyurukkan hidungnya ke situ, lalu mengais-ngais dengan bersemangat. Menurut perasaannya. yang kelinci kalau membuat liang selalu terlalu kecil untuk anjing. Coba kalau liang itu cukup lebar kan enak baginya mengejar seekor kelinci! "Lihatlah - Buster mencari petunjuk," kata Pip sambil tertawa geli. Anak-anak mencari jejak kaki. Di jalan yang menuju ke pondok, tidak ada sama sekali. Permukaan jalan itu dilapisi dengan kerikil. Dan tentu saja di atas kerikil takkan nampak jejak kaki. Mereka juga mencakari di tengah hamparan kembang yang mekar di tepi jalan itu. Tapi di situ pun tidak ditemukan apa-apa. Pip pergi ke parit yang dinaungi semak mawar liar yang dijadikan pagar di situ. Dan ternyata ia menemukan sesuatu! Dengan suara pelan tapi bersemangat, dipanggilnya kawan-kawan. "He - kemari! Ada sesuatu di sini!" Dengan segera anak-anak datang mengerumuninya. Buster tidak mau ketinggalan. Anjing itu ikut-ikut melihat. Ujung hidungnya bergerak-gerak. "Apa yang kautemukan?" tanya Larry. Pip menuding parit becek yang terbentang di sampingnya. Rumput jelatang yang tumbuh di situ nampak rebah diinjak-injak kaki orang. Jelas bahwa ada seseorang yang pernah berdiri di situ. Dan satu-satunya alasan berdiri di tengah jelatang yang gatal dalam parit. adalah untuk bersembunyi! "Tapi bukan cuma itu saja!" kata Pip bersemangat!. "Lihat orang itu datang lewat situ! Begitu juga ketika keluar lagi!" Ia menuding ke semak yang ada di belakangnya. Di situ nampak lubang menganga. Dari ranting-ranting yang patah dan bangkok-bangkok. diketahui bahwa ada orang yang memaksa masuk lewat lubang itu. "Wah!" kata Daisy. dengan mata terbuka lebar. "Ini juga petunjuk. Larry?" "Ya - dan petunjuk penting," kata Larry senang. "Kau melihat ada jejak kaki di situ. Pip?" Pip menggeleng. "Nampaknya orang yang bersembunyi di sini jalannya selalu di atas jelatang." katanya "Lihatlah. bisa dilihat ia lewat di mana. Menyusuri parit! Nampak jelatang patah-patah diinjak olehnya ketika lewat." Dengan hati-hati anak-anak mengikuti jejak yang ditunjukkan oleh jelatang yang rebah dan patah-patah. Ternyata parit itu melengkung menuju sebelah belakang pondok. tapi sayang di tempat itu kemarin malam banyak sekali orang berkerumun menonton. Jadi tidak mungkin mengenali salah satu bekas tapak kaki. Lalu mengatakan, "Ini dia yang kita cari!" Kemudian Fatty membuka mulut. "Walau kita tidak bisa menemukan bekas tapak kaki dalam kebun dan mengetahui bahwa itu jejak orang yang bersembunyi di parit. tapi mungkin saja jejak itu ada di balik semak pagar," katanya. "Bagaimana jika kita semua menyusup lewat lubang tadi, lalu memeriksa tempat di sebaliknya. Mungkin kita akan menemukan sesuatu di situ." Anak-anak bergegas menyusup lewat lubang dalam pagar. Fatty menyusup paling belakang. Ketika ia sedang lewat tiba-tiba perhatiannya tertarik pada sesuatu. Ia melihat secarik kain flanel berwarna abu-abu. tersangkut pada duri semak Fatty bersiul pelan lalu memegang Larry yang ada di depannya. Begitu Larry berpaling. Fatty lantas menuding sobekan flanel yang tersangkut di duri. "Rupanya jas orang itu tersangkut di sini ketika ia sedang menyusup." katanya. "Kaulihat itu? Wah, penyelidikan ternyata berjalan lancar! Sekarang kita tahu, orang itu memakai setelan flanel kelabu." Dengan hati-hati Larry melepaskan sobekan kain itu dari duri tempatnya tersangkut. Sobekan kain itu dimasukkannya ke dalam sebuah kotak korek api. Dalam hati ia agak menyesal, kenapa Fatty yang melihat kain itu - dan bukan dia sendiri. "Bagus, Fatty," katanya walau demikian. "Ya - mungkin ini petunjuk yang sangat penting." "Fatty menemukan telunjuk - eh, maksudku penunjuk?" tanya Bets bersemangat. Anak-anak langsung berkerumun. untuk melihat apa yang ditemukan Fatty. Larry membuka kotak korek api dan memamerkan sobekan kain flanel itu. "Sekarang tinggal mencari seseorang yang memakai setelan flanel kelabu yang agak robek - dan kita akan tahu siapa yang membakar pondok." kata Daisy senang. "Kurasa kita lebih pintar daripada Pak Ayo Pergi," kata Pip. "Ya. mataku memang tajam." kata Fatty. Ia bangga sekali terhadap dirinya sendiri. "Bayangkan. kalian tak ada yang melihatnya - kecuali aku! Aku memang pintar." Diam!" kata Larry. "Itu kan cuma kebetulan saja" Dimasukkannya sobekan itu kembali ke dalam kotak. Anak-anak semua agak tegang perasaannya saat itu. "Aku senang menjadi anggota Pasukan Mau Tahu." kata Bets dengan girang. "Aku tak mengerti. kenapa kau merasa senang."kata Pip dengan ketus. "Kau kan belum menemukan apa-apa sampai sekarang. Aku yang menemukan tempat orang itu bersembunyi, sedang Fatty menemukan sobekan jasnya. Kau sendiri belum menemukan apa-apa!" Kemudian Larry yang berhasil menemukan jejak kaki. Secara kebetulan saja ia menemukannya. Di balik pagar semak ternyata terdapat sebidang padang rumput. Di situ sama sekali tidak bisa dilihat jejak kaki. Tapi pada suatu bagian ada beberapa petak rumput yang diambil oleh petani yang memiliki lapangan itu. Dan pada satu sisinya di dekat pagar. nampak jelas jejak sepatu! Pasti jejak sepatu petaninya." kata Pip. Ketika Larry menunjukkan jejak itu padanya. "Bukan yang ini jejak sepatu petani," bantah Larry. Ia menuding ke sebuah jejak sepatu yang besar dan berpaku-paku solnya. "Jejak yang ini, ukurannya lebih kecil. Kurasa paling besar sepatu nomor delapan. Sedang jejak sepatu petani ini, paling kecil nomor dua betas! Banyak sekali perbedaannya. Kurasa yang ini pasti jejak sepatu orang yang kita cari Coba kita periksa - barangkali di tempat lain masih ada lagi." Anak-anak berpencar. Di atas rumput tentu saja takkan mungkin nampak jejak itu. Jadi mereka pergi mencari ke pinggir-pinggir lapangan. Akhirnya Daisy menemukan beberapa jejak di sisi gerbang yang menuju ke jalan raya. "Samakah jejak ini dengan yang tadi?" serunya dari tempat itu. Kawan-kawannya datang berlari-lari. Mereka mengamat-amati jejak yang nampak itu dengan cermat. Kemudian Larry mengangguk. "Ya. kurasa sama," katanya 'Lihatlah - pada solnya ada garis-garis saling menyilang. Kelihatannya dari karet! Pip. pergilah ke tempat tadi. Kau periksa di sana. apakah tanda ini juga ada pada jejak itu' Pip bergegas pergi ke tempat yang tidak berumput lagi. Ya - di situ juga nampak jelas garis-garis saling menyilang pada jejak sol sepatu itu. Ternyata jejak sepatu yang sama! "Ya! Sama."' serunya dan tepi pagar. Anak-anak semakin bersemangat. karena ternyata penyelidikan mereka berhasil. "Nah", kata Larry sambil memandang ke jalan. "Kurasa kita tidak perlu mencari lebih jauh. Permukaan jalan terlalu keras. Di situ pasti tak nampak apa-apa Tapi kita toh sudah menemukan petunjuk yang kita cari. Kita kini sudah tahu, ada seseorang yang karena salah satu sebab bersembunyi dekat pagar semak. Kita juga sudah tahu. orang itu memakai sepatu yang berukuran dan berbentuk tertentu. Solnya dari karat, yang ada garis-garisnya yang silang-menyilang! Lumayan juga hasil kerja kita hari ini!" "Akan kusalin pola jejak tadi," kata Fatty "Kuukur bentuknya dengan tepat. lalu kutiru dengan teliti tanda-tandanya yang ada pada sol. Setelah itu kita tinggal mencari sepatunya. Dan orang yang dicari akan kita temukan!" "Kita sudah tahu ia memakai sepatu kayak apa. begitu pula dengan setelannya." kata Larry yang saat itu teringat lagi pada sobekan kain flanel berwarna kelabu yang ada dalam kotak korek apinya. "Tanggung sampai sekarang Pak Ayo Pergi belum berhasil menemukan apa-apa." "Yuk, kita ke hotel untuk mengambil kertas supaya aku bisa menyalin jejak sepatu ini," kata Fatty dengan sikap sok penting. "Untung aku pandai menggambar. Dalam semester kemarin aku memenangkan hadiah pertama untuk kesenian." "Kesenian apa?" tukas Larry. "Seni sok aksi, ya? Atau seni rakus?" "'Wah - kau ini pintar rupanya." balas Fatty dengan jengkel. Rupanya ia paling tidak suka diganggu secara begitu. "Dia memang pintar," sambut Daisy. "tapi ia tidak selalu membangga-banggakan diri kayak kamu. Frederick Algemon Trotteville!" "Kita sekarang ke pondok yang terbakar itu saja dulu untuk memeriksa barangkali di sana ada petunjuk-petunjuk lain," kata Pip tergesa-gesa. Ia khawatir, jangan-jangan pertengkaran itu semakin memuncak kalau tidak lekas-lekas ditengahi. "Ya." kata Bets. "sekarang tinggal aku yang belum menemukan telunjuk sama sekali. Padahal aku sangat kepingin menemukan telunjuk." Anak kecil itu masih sulit bisa membedakan telunjuk dengan petunjuk. Ia tidak tahu. di kedua tangannya ada dua jari telunjuk! Tampangnya nampak sedih sekali. Dengan segera Fatty menghampiri untuk menghibur. "Buster juga belum menemukan apa-apa," bujuknya. "padahal sedari tadi ia sibuk mencari. Kau tidak perlu khawatir, Bets. Pasti sebentar lagi kau akan menemukan sesuatu yang hebat!" Mereka kembali ke lubang dalam pagar. Lalu menyusup masuk satu per satu. Sedang Fatty pergi ke hotel kecil di seberang jalan untuk mengambil kertas dan pensil. Setiba di dalam kebun. anak-anak berdiri sambil memandang bekas pondok yang sudah habis terbakar. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Tiba-tiba terdengar suara kasar membentak. "Ayo pergi!" "Astaga! Pak Ayo Pergi!" bisik Larry. "Ayo, kita mencari keping mata uangku." Keempat anak itu mulai membungkuk-bungkuk. sibuk mencari mata uang itu. "Kalian tidak dengar kataku tadi?" gerutu polisi desa itu. "Kalian mencari apa di sini?" "Uangku, "jawab Larry. "Oh." kata Pak Goon Iagi. "Rupanya terjatuh ketika kalian ikut-ikut muncul di sini kemarin malam. Aku heran melihat anak-anak jaman sekarang! Selalu mau tahu, ikut-ikut campur dan mengganggu pekerjaan orang! Ayo pergi!" "Nah - ini dia uangku!" seru Larry. Diambilnya mata uang yang ketika datang tadi memang dengan sengaja dijatuhkan di tempat itu. Baiklah, Pak Ayo-eh. Pak Goon. kami pergi sekarang. Uangku sudah kutemukan kembali." '"Yah. kalau begitu sekarang pergi," gerutu polisi desa itu. "Aku sedang bekerja di sini. Tugas serius, dan aku tidak ingin diganggu anak-anak." "Anda sedang mencari telunjuk?" tanya Bets. Pip buru-buru menyikut adiknya itu. Sehingga nyaris saja Bets jatuh. Tapi untung Pak Ayo Pergi tidak mendengar pertanyaan itu. Anak-anak digiringnya ke pintu gerbang. terus sampai ke jalan raya. "Dan jangan datang-datang lagi ke sini," katanya. "Bisanya cuma merecok saja." "Merecok. katanya!" kata Larry dengan jengkel, ketika mereka sudah agak jauh. "Begitu sangkaannya mengenai anak-anak, selalu merecok! Kalau dia tahu apa yang sudah berhasil kita temukan pagi pasti mukanya akan menjadi hijau karena iri." "O ya? Kalau iri. mukanya menjadi hijau?" tanya Beth penuh minat. "Wah - kalau begitu aku ingin melihatnya." "Kau nyaris saja menyebabkan mukaku hijau karena ngeri, ketika kau tadi bertanya pada Pak Ayo Pergi apakah ia juga sedang mencari telunjuk - oh petunjuk." kata Pip jengkel. "Kusangka setelah itu kau akan mengatakan bahwa kita sudah berhasil menemukan beberapa buah! Itulah tidak enaknya jika bayi kayak kau ini ikut dengan kami!" "Aku tadi sama sekali tidak bermaksud bilang begitu!" kata Bets. Kasihan. ia sudah nyaris menangis. Tapi kemudian perhatiannya terpaling. "He - itu Fatty! Kita harus memperingatkan dia, bahwa Pak Ayo Pergi ada di dalam kebun." Fatty mereka songsong untuk diberi tahu. Anak gendut itu lantas memutuskan, nanti saja membuat gambar jejak sepatu orang yang dicari. Ia tidak suka pada Pak Ayo Pergi. Buster juga sama saja "Lagi pula sekarang sudah waktu minum teh,"kata Larry sambil melirik arlojinya. Orang Inggris memang sangat menepati saat minum teh di mana yang dihidangkan bukan hanya teh tapi juga roti dan kue-kue Saat minum teh bisa dibilang waktu makan sore bagi mereka. "Besok pagi kata berkumpul laga di pondok peranginan di rumah Pip,"kata Larry selanjutnya. "Pukul sepuluh tepat. Hari ini sudah cukup banyak hasil pekerjaan kita. Nanti akan kucatat tanda-tanda petunjuk yang sudah terkumpul sampai sekarang. Wah kelihatannya usaha kita akan asyik nantinya" V FATTY DAN LARRY MENYELIDIK Keesokan paginya pukul sepuluh, kelima anak itu berkumpul lagi dalam pondok peranginan. Fatty muncul dengan sikap sok penting. Begitu datang ia langsung menyodorkan selembar kertas yang lebar sekali. Pada kertas itu nampak gambar jejak sepatu kiri dan kanan lengkap dengan garis silang-menyilang pada sol. Gambar itu ukurannya sama dengan aslinya. dan dibuat dengan sangat baik. Anak-anak yang lain memandang dengan kagum. "Lumayan juga. ya?" kata Fatty sambil membusungkan dada. "Kan sudah kukatakan. aku pandai menggambar!" Sikapnya yang menyombongkan diri itu menyebabkan anak-anak jengkel. Larry menyenggol Pip. "Kita goda sedikit anak ini." bisik Larry. Pip nyengir. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Larry. Larry mengambil gambar itu, lalu memperhatikannya dengan sikap serius. "Memang lumayan. cuma kurasa ekornya agak keliru," katanya. Pip langsung menimbrung. "Ya, dan menurut pendapatku bentuk telinganya juga tidak tepat," katanya. "Maksudku, yang dibelah kanan." Fatty melongo. Cepat-cepat dipandangnya gambar yang dibuat olehnya itu. Ia ingin meyakinkan, bahwa ia tidak keliru membawa tadi. Tapi tidak yang dilihatnya memang jejak sepatu. Kalau begitu, lalu apa yang diomongkan oleh Larry serta Pip? "Memang, kata orang menggambar tangan yang paling sulit." sambung Larry sambil menelengkan kepala, sekali lagi memperhatikan gambar itu. "Yah. kurasa Fatty masih perlu banyak melatih diri menggambar tangan." Daisy terkikik di balik tangan yang didekapkan ke mulut. Sedang Bets cuma bisa melompong. Diperhatikannya gambar itu dengan kening berkerut. Ia mencari-cari ekor, telinga dan tangan yang dibicarakan oleh Larry dan Pip. Tapi percuma! Sementara itu muka Fatty menjadi marah padam karena marah. "Kalian tentunya merasa diri kocak lagi ya!" sergahnya, sambil menyentakkan gambarnya dari pegangan Larry. "Kalian tahu, ini gambar salinan jejak sepatu yang kemarin." "Astaga! Rupanya gambar sepatu!" suara Pip benar-benar seperti tercengang. "Ah ya - tentu saja! Aduh, Larry - masak kita sampar menyangka itu gambar lain?" Saat itu Daisy yang sudah tidak tahan. Ia tertawa berderai-derai. Fatty melipat gambarnya dengan tampang cemberut. Untung Bets langsung menyela sehingga suasana menjadi biasa lagi. "Lho!" katanya tercengang. "rupanya kalian tadi cuma main-main saja ya. Larry? Kuperhatikan gambar itu. dan kulihat dengan jelas bahwa itu salinan jejak sepatu yang kita lihat kemarin. Aku sampai bingung, tak tahu apa yang kaubicarakan dengan Pip. Aduh, Fatty, aku kepingin bisa menggambar sepintar kamu!" Saat itu Fatty sudah beranjak hendak pergi. Tapi kemudian duduk lagi. Anak-anak yang lain nyengir. Sebetulnya tidak baik mengganggu Fatty. Tapi anak itu sendiri juga terlalu sok! "Aku sudah membuat beberapa catatan singkat tentang kemarin," kata Larry. sambil mengambil buah buku catatan kecil dan kantongnya. Dibukanya buku itu. Lalu dibacakannya dengan cepat daftar petunjuk yang sudah dikumpulkan. Kemudian ia mengulurkan tangan. Meminta gambar yang masih dipegang oleh Fatty. "Gambarmu sebaiknya kita simpan bersama catatan ini." kata Larry. "Begitu pula sobekan kain flanel. Mungkin saja tak lama lagi semua itu akan menjadi penting artinya. Enaknya kita simpan di mana?" "Di belakangmu ada papan yang terlepas di dinding," kata Pip dengan segera. "Sewaktu aku masih sekecil Bets. aku biasa menyembunyikan barang-barang di situ. Kurasa tempat itu baik untuk menyimpan barang-barang - karena takkan ada orang lain yang akan mencari di situ." Ditunjukkannya papan yang terlepas pada dinding pondok peranginan itu. Buster ikut-ikut melihat. Anjing itu berdiri di atas bangku kayu. Lalu mengorek-ngorek papan yang agak lepas itu. "Ia menyangka di belakang papan ada kelinci," kata Bets. Buku catatan, kotak korek api yang berisi sobekan kain flanel serta gambar yang dibuat oleh Fatty ditaruh dengan seksama di balik papan yang kemudian dikembalikan pada letaknya yang semula. Anak-anak merasa senang karena ada tempat penyimpanan sebagus itu. "Sekarang, apa rencana kita untuk hari ini?" tanya Pip. "Kita perlu meneruskan usaha kita. menyelidiki misteri kebakaran itu. Jangan sampai polisi mendului kita!" "Yah. salah seorang di antara kita harus bicara dengan Bu Minns, juru masak di rumah Pak Hick," kata Larry. Bets mengangguk. "Aku bisa melakukannya," kata anak itu. "Kau!" tukas Pip merendahkan. "Kalau kau yang ke sana. pasti akan langsung bercerita tentang apa saja yang sudah kita lakukan, begitu pula tentang hal-hal yang kita temukan! Kau sama sekali tidak bisa menyimpan rahasia!" "Sekarang kan sudah tidak begitu lagi." Balas Bets. "Sejak aku berumur enam tahun, aku tak pernah lagi membocorkan rahasia." "Sudah, kalian berdua jangan bertengkar terus, kata Larry "Kurasa sebaiknya Daisy dan Pip saja yang mendatangi Bu Minns. Daisy pintar sekali disuruh mengorek keterangan. Sedang Pip berjaga-jaga. jangan sampai kalian kepergok oleh Pak Ayo Pergi atau Pak Hick, dan ketahuan apa ya sedang dilakukan oleh Daisy." "Lalu apa tugasku. Larry?" tanya Fatty. Sekali-sekali anak itu bisa juga bersikap rendah hati. "Kau ikut dengan aku. menanyai supir." Larry. "Mungkin ada keterangannya yang berguna bagi kita. Orang itu biasanya pagi-pagi begini mencuci mobil." "Dan aku?" tanya Bets kecewa. "Aku tidak disuruh melakukan apa-apa? Aku kan juga anggota Pasukan Mau Tahu!" "Untukmu tidak ada tugas," jawab Larry. Fatty merasa kasihan. melihat tampang Bets kelihatan sedih. "Buster tidak bisa ikut dengan kita," katanya. "Bagaimana jika kau mengajaknya berjalan-jalan sebentar di padang? Dia paling senang kalau diajak berjalan-jalan sambil mencari kelinci." "O ya, aku mau melakukannya!" Wajah Bets cerah kembali. "Aku mau! Dan siapa tahu, mungkin aku nanti menemukan salah satu telunjuk!" Anak-anak tertawa. Dasar Bets! Dia tidak bisa mengingat perbedaan antara petunjuk dan telunjuk. Ya - carilah telunjuk penting." kata Larry. Dan dengan segera Bets mengajak Buster pergi ke padang rumput. Anak-anak masih mendengar dia mengatakan pada Buster bahwa anjing itu boleh mencari kelinci, sementara dia sendiri mencari telunjuk. "Nah - sekarang kita mulai bekerja!" kata Larry sambil bangkit "Daisy, kau pergi dengan Pip, mendatangi Bu Minns." "Tapi alasan apa yang harus kukatakan kenapa kami mendatanginya?" tanya Daisy. "Pikir saja sendiri." jawab Larry. "Pakai otakmu! Detektif kan begitu. Kalau kau tak sanggup, Pip pasti bisa." "Sebaiknya kita jangan berangkat bersama-sama," kata Pip. "Kau duluan bersama Fatty untuk mencari supir Pak Hick. Aku dan Daisy menyusul sebentar lagi." Larry berangkat seiring dengan Fatty. Tak lama kemudian mereka sudah memasuki pekarangan rumah Pak Hick. Rumah itu sendiri letaknya agak ke belakang. Garasi mobil terdapat di samping rumah. Dari arah garasi suara orang bersiul dengan nyaring, mengiringi semburan air. "Dia sedang mencuci mobil," kata Larry dengan suara pelan. "Yuk - kita pura-pura ingin ketemu seseorang yang kemudian ternyata tidak tinggal di sini. Lalu kita minta tolong padanya." Kedua anak laki-laki itu masuk ke pekarangan. Segera nampak garasi di samping rumah. Seorang pemuda sedang mencuci mobil di situ. "Selamat pagi," sapa Larry. "Aku ingin bertanya, apakah Bu Thompson tinggal di sini? "Bu Thompson? Tidak." jawab pemuda itu. "Ini rumah Pak Hick." "Aduh. salah!" kata Larry. pura-pura jengkel. Tapi kemudian perhatiannya beralih pada mobil yang sedang dicuci. "Bagus sekali mobil ini," ucapnya. "Ya - ini mobil Rolls-Royce," jawab pemuda itu. Dialah supir yang dicari. "Enak menjalankannya. Tapi hari ini kelihatannya kotor sekali! Aku terpaksa kerja keras pagi ini. Harus sudah bersih pada saat majikanku memakainya nanti." "Kami bantu deh." kata Larry. "Biar aku saja ya menyemprotkan air. Aku sering melakukannya untuk ayahku." Tak lama kemudian kedua anak itu sudah sibuk membantu supir. Mereka bekerja sambil mengobrol. Dan dengan eagera pembicaraan sudah sampai pada kebakaran kemarin. "Kejadian itu aneh," kata supir, sambil mengelap kap mobil dengan kain lap. "Majikanku bingung sekali. karena kehilangan kertas-kertasnya yang berharga Kini ada desas-desus khabarnya kebakaran itu terjadi karena sengaja. Ada orang yang membakar! Yah - Peeks memang sudah mengatakan, ia heran belum ada orang yang menampar Pak Hick kalau melihat cara majikanku itu memperlakukan siapa saja!" "Peeks? Siapa dia?" tanya Larry. Nah, ini mungkin suatu petunjuk. katanya dalam hati. "Dia itu pesuruh Pak Hick merangkap sekretarisnya," kata supir. "Sekarang ia sudah tidak di sini lagi. Keluarnya tepat pada hari terjadinya kebakaran!" "Apa sebabnya dia keluar?" tanya Fatty. seperti sambil lalu. "Dia dikeluarkan! Dipecat" jawab supir. "Wah, sebelumnya terjadi pertengkaran sengit antara dia dengan Pak Hick!" "Tentang soal apa?" tanya Larry. "Yah - rupanya Peeks ketahuan oleh Pak Hick, bahwa dia kadang-kadang memakai pakaian Pak Hick," kata supir itu. "Soalnya, mereka berdua hampir sepantar ukuran badannya. Sedang Peeks orangnya senang berdandan! Aku pernah melihat dia petentengan memakai setelan biru tua milik Pak Hick lengkap dengan dasi biru berbintik-bintik merah serta tongkat yang gagangnya berlapis emas!" "Aduh." kata Larry. "Dan rupanya ketika ketahuan oleh Pak Hick, ia langsung marah dan mengusir Peeks. Apakah Peeks waktu itu juga marah?" "Tentu saja!" kata supir. "Ia mendatangi aku, lalu mengata-ngatai majikan kami. Bisa merah telinga mendengar kata-katanya saat itu! Lalu ia pergi, sekitar pukul sebelas pagi. Ibunya tinggal di desa sebelah. Pasti dia kaget sekali ketika dengan tiba-tiba saja Horace Peeks muncul sepagi itu di rumah lengkap dengan seluruh barangnya!" Pikiran serupa melintas dalam benak Larry dan Fatty. "Kalau begitu, kelihatannya Peeks-lah yang membakar pondok, "pikir mereka. "Kita harus mencari Peeks, lalu menyelidiki dia sedang berbuat apa malam itu." Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dari jendela rumah di tingkat atas. "Thomas! Kau belum selesai juga mencuci mobil? Apa yang kau obrolkan di situ? Aku tidak menggajimu untuk mengobrol!" "Itu dia majikanku, kata Thomas dengan suara pelan. "Lebih baik kalian pergi saja sekarang. Terima kasih atas bantuan tadi." Larry dan Fatty mendongak memandang ke arah jendela. Nampak Pak Hick berdiri di belakangnya, memegang sebuah cangkir. Ia memandang ke bawah dengan marah. Anak-anak lantas cepat-cepat pergi dari situ. "Aku ingin tahu bagaimana hasil penyelidikan Daisy dan Pip," kata Larry sambil berjalan ke luar. "Rasanya kudengar suara mereka berbicara. Tapi pasti mereka tidak memperoleh kabar yang begitu menarik seperti kita tadi!" VI BU MINNS MENGOCEH Penyelidikan Daisy dan Pip berjalan dengan lancar. Mula-mula, ketika mereka sedang berdiri di luar pekarangan rumah Pak Hick sambil mencari-cari alasan yang enak supaya bisa pergi ke dapur tanpa menimbulkan kecurigaan, tiba-tiba terdengar suara mengeong pelan. "Kau dengar suara itu?" tanya Daisy sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Sekali lagi terdengar suara mengeong. Sekarang Pip dan Daisy mendongak. Mereka memandang ke atas pohon. Ternyata ada seekor kucing kecil berbulu belang hitam putih meringkuk di atas dahan. Kucing itu tidak bisa turun. "Kasihan, dia tidak berani naik maupun turun," kata Daisy/"Pip, kau bisa menolongnya?" Pip bisa, dan langsung melakukannya. Ia memanjat ke atas pohon, menyusul kucing itu. Sesaat kemudian binatang kecil itu sudah diulurkannya pada Daisy. Kucing itu dirangkul oleh Daisy. "Siapa pemiliknya ya?" tanya anak itu. "Mungkin Bu Minns." Jawab Pip dengan segera. "Pokoknya, sekarang kita punya alasan bagus untuk ke dapur. Kita tanyakan kucing ini milik siapa!" "Ya, betul," kata Daisy bergembira. Keduanya lantas masuk ke pekarangan di sisi rumah, bertolak belakang dengan garasi. Ketika kedua anak itu menuju ke situ, nampak seorang gadis sedang menyapu pekarangan. Umurnya sekitar enam belas tahun. Dari dalam dapur terdengar suara seseorang mengomel tidak henti-hentinya. "Dan jangan sampai masih ada potongan-potongan kertas yang masih ketinggalan di pekarangan. Lily! Terakhir kalinya kau menyapu di situ. ternyata masih ada pecahan botol, separo halaman surat kabar dan entah sampah apa lagi! Aku heran. apa sebabnya ibumu tidak mengajarkan caranya menyapu. mengelap debu dan membuat kue! Heran sekali! Kaum ibu masa kini seenaknya saja menyuruh anak-anak gadis mereka diajari oleh orang-orang kayak aku. Padahal aku sudah cukup sibuk mengurus tuan yang sulit kayak Pak Hick. Sekarang masih di tambah lagi. harus mengawasi gadis malas kayak kau!" Tapi gadis yang sedang menyapu kelihatannya sama sekali tak mengacuhkan omelan yang meluncur seperti banjir. Ia menyapu terus dengan gerakan lambat. Debu beterbangan di depannya. "Hai," sapa Pip. "Kucing ini dari sini ya?" "Bu Minns!" teriak gadis itu ke dalam. "Ini - ada dua orang anak dengan kucing Anda!" Bu Minns muncul di ambang pintu. Orangnya gemuk pendek. Lengan bajunya tergulung sampai batas sikunya yang berlemak. Napasnya terengah-engah. "Ini kucing Anda?" tanya Pip, sementara Daisy menyodorkan binatang itu supaya nampak lebih jelas. "Ke mana lagi dia tadi?" kata Bu Minns. Diterimanya kucing yang disodorkan. Lalu dipeluknya erat-erat "Manis! Manis! Ini anakmu! Kenapa tidak kaujaga baik-baik?" Seekor kucing betina berbulu belang hitam putih masuk ke dapur. Kucing itu mendongak memandang anak kucing yang ada dalam pelukan Bu Minns. Anak kucing itu mengeong sambil berusaha meloncat ke lantai. "Nih - anakmu. Manis." kata Bu Minns. Diletakkannya anak kucing itu ke lantai. Binatang itu langsung lari ke induknya. "Rupanya persis sekali kayak induknya." Kata Daisy. "Anaknya masih ada dua lagi." kata Bu Minns. "Kalau mau lihat saja ke dalam. Mereka manis-manis! Aku tidak suka anjing. Tapi kalau kucing sayang sekali." Pip dan Daisy masuk ke dapur. Induk kucing sementara itu masuk ke dalam sebuah keranjang. Anak-anak melihat ada tiga ekor anak kucing di situ. Semuanya berbulu belang hitam putih, "Aduh manisnya! Bolehkah aku bermain-main sebentar dengan mereka?" tanya Daisy. Dalam hati ia berpikir, dengan begitu akan ada alasan untuk mengajak Bu Minns mengobrol. "Boleh saja, asal jangan merepotkan aku," jawab Bu Minns. Ia mengambil sebuah kaleng berisi tepung, lalu dituangkannya ke atas meja. Rupanya Bu Minns hendak membuat adonan kue. "kalian tinggal di mana?" "'Tidak jauh dari sini, di jalan ini juga." jawab Pip. "Kami kemarin dulu melihat kebakaran yang menghabiskan pondok." Kalimat itu sudah cukup untuk memancing reaksi Bu Minns. Juru masak bertubuh gemuk itu bercekak pinggang. Kepalanya terangguk-angguk. sampai pipinya yang montok bergetar. "Ya. kejadian itu benar-benar mengejutkan!" katanya. "Wah, ketika aku melihat apa yang terjadi, kagetku bukan main - kalau saat itu ada angin bertiup aku pasti roboh." Menurut Pip maupun Daisy. Bu Minns yang gemuk itu tak mungkin roboh. kalau bukan ditubruk palang besi. Tapi tentu saja pendapat itu tidak mereka ucapkan keras-keras. Daisy mengelus-elus anak kucing sementara Bu Minns mengoceh terus. Adonan kue di meja sudah dilupakannya. "Waktu itu aku sedang duduk-duduk di sini sambil minum coklat hangat, Aku sedang mengobrol dengan kakakku." katanya. "Lega rasanya bisa duduk. setelah bekerja keras sehari penuh. Tapi tiba-tiba kakakku berseru kaget. "Maria!" serunya. "Aku mencium bau sesuatu yang terbakar!" Pip dan Daisy memandangnya dengan asyik. Bu Minns kelihatan senang karena ada yang begitu tertarik mendengar ceritanya. "Lalu aku bilang pada Hannah - itu kakakku kukatakan padanya. Sesuatu yang terbakar? Jangan-jangan sup dalam panci hangus!" Lalu kata Hannah. "Maria, ini bau kebakaran!' Aku pergi ke jendela. Saat itu juga kulihat api berkobar-kobar di ujung kebun!" "Pasti Anda kaget sekali saat itu!" kata Daisy. " 'Wah.' kataku pada kakakku. `kelihatannya pondok tempat majikanku bekerja yang terbakar! Ampun-ampun.' kataku. 'Banyak sekali kejadian sehari ini! Mula-mula Pak Peaks dipecat. Lalu Pak Smellie datang, dan langsung bertengkar dengan Pak Hick! Satelah itu menyusul gelandangan tua, yang ketahuan oleh Pak Hick ketika mencuri telur dari kandang ayam! Dan kini. ada kebakaran' Begitu kataku!" Kedua anak itu mendengarkan dengan penuh minat. Semuanya merupakan barang baru bagi mereka. Astaga rupanya pada hari terjadinya kebakaran itu. di rumah Pak Hick banyak terjadi pertangkaran dan ribut-ribut. Pip bertanya pada Bu Minns, siapakah Pak Peaks itu. "Dia pesuruh Pak Hick, sekaligus merangkap jadi sekretarisnya." kata Bu Minns menjelaskan. Orangnya sok sekali! Menurut pendapatku, untung dia pergi. Aku takkan heran, apabila ternyata dia ada sangkut-pautnya dengan kebakaran itu!" Tapi saat itu Lily menyala. "Pak Peaks seorang yang terhormat! Takkan mau dia melakukan perbuatan kayak begitu," kata gadis itu. sambil melemparkan sapu ke pojok dapur. "Menurut pendapatku, Pak Smellie yang membakar pondok." Anak-anak sulit sekali bisa membayangkan, ada orang yang bernama begitu. Soalnya. Smellie artinya "Berbau". "Namanya memang betul begitu?" tanya Pip. "Memang." jawab Bu Minns, "dan orangnya memang pengotor! Aku tak mengerti apa yang sebenarnya dilakukan oleh wanita yang mengurus rumah tangganya. Pak Smellie selalu pergi dengan kaus kaki yang berlubang-lubang. Pakaiannya di sana-sini sudah robek. Topinya juga dekil sekali! Tapi kata orang. Pak Srnellie sangat terpelajar. Pengetahuannya tentang buku-buku antik. Jauh lebih luas dari siapa pun juga di sini!" "Apa sebabnya ia bertengkar dengan Pak Hick?" tanya Pip. "Entah!" jawab Bu Minns. "Mereka memang selalu bertengkar. Kedua-duanya sama berpengetahuan luas. tapi tak pernah sependapat mengenai apa saja. Pokoknya. Pak Smellie kemudian pergi lagi sambil menggerutu dan mengomel-omel. Pintu rumah dibantingnya keras-keras, sampai panci-panciku nyaris terlempar dari atas tungku! Tapi kata Lily tadi bahwa mungkin dia yang membakar pondok - jangan mau percaya. Menurut pendapatku, laki-laki tua itu disuruh menyalakan api unggun saja takkan bisa! Pak Paeks yang sok aksi itulah yang melakukannya, karena dendam terhadap bekas majikannya. Percayalah!" "Tidak mungkin." tukas Lily. Kelihatannya gadis itu bertekat membela pesuruh yang sudah dipecat. "Pak Peeks itu seorang pemuda yang baik budi. Anda tidak boleh mengatakan hal-hal kayak begitu, Bu Minns!" "Eh! Seenaknya saja kau bicara begitu pada orang yang lebih tua!" Bu Minns mulai marah. "Seenaknya saja melarang aku tidak boleh bilang ini atau itu! Tunggu saja sampai kau sudah bisa mengepel lantai dengan rapi. serta mengelap debu dari tepi atas pigura. begitu pula melihat jaring laba-laba yang terpampang di depan matamu! Kalau itu semua sudah bisa. baru kau boleh lancang terhadapku!" "Aku bukan mau lancang," kata Lily. "Aku tadi cuma hendak mengatakan .... " "Mau mulai lagi. ya!" kata Bu Minns dengan galak. Penggiling adonan dipukul-pukulkannya ke meja, dengan sikap seolah-olah kepala Lily yang diperlakukannya seperti begitu. "Kauambilkan saja dulu cairan daging untukku, apabila kau masih bisa ingat di mana kau menaruhnya kemarin. Dan aku tidak mau lagi mendengar kau berani membalas omonganku!" Pip dan Daisy tidak ingin tahu di mana Lily menyimpan cairan daging kemarin. Mereka ingin mengorek keterangan mengenai orang-orang yang bertengkar dengan Pak Hick. Orang-orang itu mungkin menaruh dendam padanya. Dan kelihatannya Pak Peeks dan Pak Smellie termasuk di antaranya. Lalu bagaimana dengan laki-laki gelandangan? "Ketika Pak Hick memergoki gelandangan yang sedang mencuri telur. apakah dia marah sekali?" tanya Pip. "Wah - bukan marah lagi namanya! Suaranya keras sekali. sampai terdengar di mana-mana!" kata Bu Minns. Rupanya juru masak itu memang senang mengobrol. "Waktu itu aku berkata pada diriku sendiri, 'Nah - Pak Hick sudah mulai lagi! Sayang kemarahannya tidak ditumpahkan pada Lily anak pemalas itu!" Saat itu Lily muncul lagi dari tempat penyimpanan makanan. Tampangnya cemberut. Anak-anak merasa kasihan pada gadis itu. Lily meletakkan basi yang barisi cairan daging ke atas meja dengan keras-keras. "Perlukah basi kaubanting begitu keras?" tukas Bu Minns. "Aduh, rupanya kau hari ini sulit diatur! Sekarang kau mengepel jenjang belakang. ya! Supaya ada kesibukan." Gadis itu keluar. sambil mendentang-dentangkan ember yang dijinjing. "Ceritakanlah tentang gelandangan itu," kata Pip pada Bu Minns. "Pukul berapa Pak Hick memergoki dia mancuri telur?" "Pokoknya pagi hari." kata Bu Minns. Sambil menggiling adonan. "laki-laki tua itu mula-mula mengemis minta roti dan daging ke sini. Tapi kuusir. kusuruh pergi! Rupanya satelah itu ia menyelinap dalam kebun menuju ke kandang ayam. Kebetulan majikanku sedang berdiri di depan jendela pondok. Dilihatnya gelandangan itu berjalan menyelinap-nyelinap. Wah. Pak Hick langsung marah-marah. Ia mengancam akan memanggil polisi. Gelandangan tua itu lari ketakutan. Pontang-panting lewat di depan pintu dapur kayak dikejar anjing beratus-ratus!" "Mungkin dia yang membakar pondok," kata Pip. Tapi bagi Bu Minns. yang mungkin melakukannya cuma Pak Peeks saja. "Pak Peeks orangnya sangat licik." kata juru masak itu. "Malam-malam. kalau semua sudah pada tidur, ia suka turun dari tingkat atas lalu masuk ke dapur. Ia membuka tempat menyimpan makanan. Lalu mengambil perkedel daging atau roti atau apa saja yang saat itu menarik seleranya. Yah - menurut pendapatku, jika seseorang biasa berbuat begitu. orang itu pasti takkan segan-segan membakar pondok." Pip merasa bersalah. Ia ingat pada suatu malam perutnya terasa lapar sekali. Ia lantas pergi ke dapur. dan mengambil beberapa potong biskuit. Ia khawatir, jangan-jangan dia juga tak segan-segan membakar rumah orang. Tapi mustahil ia tega melakukannya. Jadi Bu Minns sudah jelas keliru mengenai hal itu. Tiba-tiba terdengar suara orang marah-marah. Datangnya dari salah satu tempat di dalam rumah. Bu Minns menelengkan kepala sambil mendengarkan. Setelah itu ia mengangguk "Itu dia majikanku." katanya. "Aku takkan heran. Kalau ternyata ia tersandung pada salah suatu benda." Tahu-tahu Manis. kucing yang berbulu belang hitam putih melesat masuk ke dalam dapur. Bulu tubuhnya tegak. sedang ekornya nampak membengkak. Bu Minns berseru dengan kaget. "Aduh, Manis - kau terinjak lagi olehnya. ya? Kasihan. kekasihku yang malang!" Kekasih yang malang itu menyusup ke bawah meja, sambil mendesis-desis. Mendengar induk mereka mendesis. ketiga anak kucing yang ada dalam keranjang ketakutan, lalu mendesis-desis pula. Saat berikutnya Pak Hick masuk ke dapur. Kelihatannya marah sekali! "Bu Minns!" tukasnya. "lagi-lagi aku terjatuh karena tersandung kucing Anda! Berapa kali lagi perlu kukatakan. jaga baik-baik binatang itu? Kalau masih terjadi lagi. dia akan kusuruh tenggelamkan!" "Pak Hick! Jika kucingku sampai mati tenggelam. aku akan minta berhenti!" tukas Bu Minns. Alat penggiling adonan dibantingkan ke meja. Pak Hick menatapnya dengan mata melotot. Seakan-akan ingin menyuruh Bu Minns ditenggelamkan saja. bersama kucingnya. "Aku heran. apa sebabnya anda memelihara binatang yang begitu jelek dan buas." Katanya kemudian. "Astaga! Itu kan itu anak-anak kucing, yang ada dalam keranjang?" ú "Betul Pak." kata Bu Minns dengan suara meninggi. "Aku sudah menemukano0rang-orang yang mau menampung mereka dengan baik, jika mereka sudah besar nanti." Saat itu barulah Pak Hick melihat Pip dan Daisy di situ. Kelihatannya ia sama tidak senangnya melihat mereka seperti ketika melihat anak-anak kucing tadi. "Kalian mau apa di sini?ø' tanyanya ketus. "Anda kan sudah tahu. Bu Minns aku tidak senang kalau di dapur banyak anak-anak yang rewel santa anak kucing yang mengeong-ngeong! Suruh anak-anak itu pergi!" Setelah itu Pak Hick keluar lagi. Bu Minns menatap punggung majikannya dengan mata melotot. "Kalau diupah sedikit saja, akan kubakar pondokmu yang berharga itu - jika sekarang belum musnah!" serunya. Tapi ia tahu. Pak Hick takkan bisa mendengarnya lagi. Manis menggeser-geserkan punggung ke gaun Bu Minns, sambil mendengkur nyaring. Bu Minns membungkuk, lalu mengelus-elus kucingnya. "Orang jahat itu menginjakmu, ya?" bujuknya. "Dia mengata-ngatai anak-anakmu yang manis? Jangan pedulikan saja. Manis!" "Kita pergi saja sekarang." kata Daisy. Ia khawatir. jangan-jangan Pak Hick tadi mendengar seruan Bu Minns, lalu masuk kembali ke dapur sambil mengamuk. "Terima kasih alas cerita Anda tadi. Bu Minns. Asyik kami mendengarnya." Bu Minns kelihatan senang. Diberikannya roti manis pada Pip dan Daisy masing-masing sebuah. Setelah mengucapkan terima kasih. kedua anak itu pergi. "Wah! Banyak sekali yang kita dengar tadi. sampai kini sulit mengatur urutannya." kata Pip setelah keduanya berada di luar. "Kelihatannya paling sedikit tiga orang yang mungkin melakukan kejahatan itu. Dan kalau Pak Hick tingkah lakunya selalu seperti yang kita alami tadi, aku takkan heran jika ada sekitar dua puluh orang yang menaruh dendam padanya. Dan dengan senang hati mau melakukan pembalasan!" VII FATIY DALAM KESULITAN Anak-anak berkumpul lagi di pondok peranginan. Mereka sangat bersemangat Bets belum kembali dari berjalan-jalan dengan Buster. Tapi mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sudah ingin sekali menceritakan kabar masing-masing. "Kami tadi berhasil menjumpai supir Pak Hick! Namanya Thomas." kata Larry. "Ia bercerita tentang pesuruh yang bernama Peeks. Pesuruh itu dipecat, tepat pada hari kebakaran terjadi. Salahnya, karena memakai pakaian majikannya!" "Aku yakin, dialah yang membakar pondok," kata Fatty bersemangat. "Kita harus mencari keterangan lebih lengkap mengenai dirinya. Tinggalnya di desa sebelah." "Nanti dulu!" sela Daisy. "ada kemungkinan, yang melakukan Pak Smellie!" "Pak siapa?" tanya Larry dan Fatty serempak. "Pak Smellie?" "Ya. betul," jawab Daisy sambil tertawa mengikik. "Kami pun mula-mula mengira itu nama julukan. Tapi ternyata namanya memang begitu. Dan orangnya juga jorok!" Anak-anak tertawa geli. Tapi kemudian Daisy berpikir. "Itu tadi sebenarnya tidak lucu - cuma kita saja yang merasa hal itu lucu." katanya. "Di sekolah, kami kadang-kadang begitu pula. Tertawa terpingkal-pingkal, tapi kemudian baru sadar bahwa yang kami tertawakan itu sebenarnya sama sekali tidak lucu. Ah. sudahlah! Lebih baik kami ceritakan saja pertengkaran yang terjadi antara Pak Smellie dengan Pak Hick." Daisy melaporkan kejadian yang didengarnya dari Bu Minns. Setelah itu menyusul Pip, dengan laporan mengenai gelandangan tua yang ketahuan mencuri telor. Lalu Daisy menyambung dengan pengalaman mereka tadi, sewaktu Pak Hick masuk ke dapur. "Wah, dia bertengkar dengan Bu Minns," katanya. "Lalu ketika Pak Hick sudah pergi lagi, Bu Minns berseru bahwa ia kepingin sekali membakar pondok. jika tempat itu belum terbakar habis!" "Wah." ucap Larry kaget. "Kalau begitu mungkin juga Bu Minns yang melakukannya! Jika sekarang ia mengatakan kepingin, bisa saja ia juga merasa begitu dua hari yang lalu dan langsung membakar pondok itu! Kesempatan baginya cukup banyak." "He - sampai sekarang kita sudah menemukan empat orang yang patut dicurigai." kata Fatty dengan serius. "Maksudku - empat orang yang bisa disangka membakar pondok! Gelandangan tua Pak Smellie, Pak Peeks dan Bu Minns! Penyelidikan kita berjalan baik." "Berjalan baik, katamu?" tanya Larry. "Wah - aku tidak yakin! Kelihatannya semakin banyak kita menemukan orang yang bisa dicurigai. Jadi perkaranya malah bertambah rumit. Aku tidak melihat, dengan cara bagaimana kita akan bisa tahu siapa sebenarnya yang melakukan perbuatan itu "Kita perlu menyelidiki gerak-gerik keempat tersangka itu." kata Fatty dengan bijak. "Misalnya saja apabila kita nanti mengetahui bahwa orang yang bernama Pak Smellie kemarin dulu malam berada di suatu tempat yang letaknya tujuh puluh lima kilometer dari sini - nah. itu berarti dia mustahil pelakunya. Dan begitu pula jika ternyata Horace Peeks saat itu sepanjang malam ada di rumah bersama ibunya. maka dia pun bisa kita coret dari daftar para tersangka. Dan begitu selanjutnya." 'Tapi dari penyelidikan kita mungkin pula ternyata bahwa keempat-empatnya saat itu berkeliaran di dekat tempat kejadian." kata Pip. "Lagi pula, bagaimana kita bisa menemukan jejak laki-laki tua gelandangan itu? Kalian kan tahu kebiasaan kaum gelandangan! Keluyuran ke mana-mana, tanpa ada yang tahu dari mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi." "Ya - soal gelandangan itu bisa sulit." kata Daisy. "Bahkan sangat sulit. Kita mustahil bisa memencar ke mana-mana, untuk mencari dia. Dan jika sudah ditemukan. kan tidak bisa langsung ditanyakan apakah memang dia yang membakar pondok." "Itu kan memang tidak usah kita lakukan, tolol." kata Larry. "Sudah lupa. pada kita ada beberapa petunjuk?" "Apa maksudmu?" tanya Daisy tidak mengerti. "Yah - cukup jika kita bisa menyelidiki ukuran sepatu yang dipakainya. Juga apakah solnya terbuat dari karet yang sebelah dasarnya ada garis-garis saling menyilang. Kecuali itu juga melihat apakah jasnya dari bahan flanel berwarna abu-abu." kata Larry. "Dia tidak memakai jas flanel," kata Fatty. "Kan sudah kukatakan, gelandangan itu memakai mantel hujan yang sudah tua." Teman-temannya terdiam sesaat. "Kan mungkin saja ia memakai jas di bawah mantelnya." kata Daisy kemudian. "Dan mantel itu dibukanya sebentar." Menurut yang lain-lain, kemungkinan itu kecil sekali. Tapi mereka tidak punya usul lain yang lebih baik. "Nanti saja kita pikirkan soal jas flanel dan mantel hujan, jika gelandangan itu sudah kita temukan," kata Pip. "Wah. perkara ini ternyata sama sekali tidak gampang!" "He - itu kan suara gonggongan Buster," kata Fatty dengan tiba-tiba. "Pasti Bets yang datang. Ya - betul. itu dia suaranya, memanggil-manggil Buster. Wah. banyak sekali cerita kita pada anak itu nanti!" Saat itu terdengar langkah kaki Bets berlari-lari masuk ke pekarangan, langsung menuju kebun. Keempat anak yang sudah lebih dulu berada di pondok peranginan pergi ke pintu untuk menyongsongnya. "Bets! seru Larry. "Banyak sekali kabar yang hendak kami ceritakan padamu!" Tapi Bets tak sempat mendengarkan seruannya. Mata anak itu bersinar-sinar. Pipinya merah karena habis berlari. la begitu gelisah, sehingga nyaris tidak bisa berbicara. "Pip! Larry! Aku menemukan telunjuk!" katanya tersengal-sengal. "Aku menemukan telunjuk!" "Telunjuk apa?" kata keempat anak yang lebih besar dengan serempak. Mereka lupa. bagi Bets telunjuk itu petunjuk. "Aku menemukan laki-laki gelandangan itu!" kata anak kecil itu. "Itu kan telunjuk yang paling hebat? Bilang ya, dong!" "Yah - dia itu sebetulnya seorang tersangka, bukan petunjuk" kata Larry. Tapi yang lain-lain langsung memotongnya. "Bets!" seru Pip. abang anak itu. "Kau betul-betul menjumpai laki-laki tua gelandangan itu? Astaga - padahal kami tadi sudah menyangka, itu takkan mungkin bisa." "Di mana dia sekarang?" tanya Fatty. Ia sudah hendak segera saja pergi ke tempat itu. "Dari mana kau tahu. dia itu gelandangan yang kira cari?" tanya Daisy. "Yah - dia memakai mantel hujan tua yang dekil. serta topi yang juga sudah tua dan sebetah atasnya berlubang." kata Bets. "Seperti yang dikatakan oleh Fatty." "Ya - gelandangan yang kulihat waktu itu. topinya memang berlubang sebelah atasnya." Kata Fatty. "Di mana orang itu, Bets?" "Kalian kan tahu. aku tadi pergi jalan-jalan dengan Buster." kata Bets memulai ceritanya. Ia duduk di rumput. karena capek berlari-lari. "Buster menyenangkan sekali jika diajak jalan-jalan. Segala-galanya menarik baginya. Nah, mula-mula kami menyusur jalan raya. Lalu memotong lewat ladang, kemudian menyusur tepi sungai. Ya, sampai sebegitu jauh. Akhirnya kami sampai di sebuah lapangan. Di situ ada kawanan biri-biri sedang merumput. Tidak jauh dari mereka ada tumpukan jerami." Buster menggonggong. Seolah-olah ingin ikut bercerita. Bets merangkulnya. "Buster yang tadi menemukan gelandangan itu." katanya. "Aku sedang berjalan. ketika dengan tiba-tiba sikap Buster berubah. Seluruh tubuhnya seperti kaku. Bulu tengkuknya berdiri semua. Ia menggeram-geram." "Dia ini mengerti apa yang kita katakan. ya?" kata Bets kagum. "Yah - pokoknya tiba-tiba Buster menjadi aneh. Ia melangkah dengan sikap kaku mendekati tumpukan jerami. Geraknya kayak dia sedang terserang penyakit encok!" Anak-anak tertawa. "Binatang memang selalu begitu jalannya, jika sedang merasa curiga. takut atau marah." Kata Fatty sambil nyengir. "Teruskanlah. Tapi jangan bertele-tele!" "Kuikuti Buster dengan hati-hati." Sambung Bets."Kusangka di balik tumpukan itu ada kucing atau binatang lain. Tapi ternyata yang kujumpai di situ - laki-laki gelandangan!" "Wah!" kata Larry. sementara Pip bersiul kagum. "Kamu benar-benar anggota Pasukan Mau Tahu yang hebat." kata Fatty. "Aku memang sudah kepingin sekali menemukan sesuatu." kata Bets. "Tapi sebetulnya yang berhasil tadi Buster kan dan bukan aku?" "Ya. tapi dia takkan tidak menemukan apa-apa, jika tidak kauajak berjalan-jalan tadi," sambut Larry. "Gelandangan itu sedang berbuat apa ketika kau melihatnya?" "Sedang tidur." kata Bets. "Pulas sekali! Dia bahkan tidak bangun. ketika Buster mengendus-endus kakinya." "Kakinya?!" seru Pip. "Sepatu kayak apa yang dipakainya? Solnya dari karet atau bukan?" Bets nampak kecewa. "Aduh. aku lupa memperhatikan! Padahal aku bisa melihat dengan gampang. karena saat itu ia sedang tidur. Tapi aku begitu kaget menjumpainya, sehingga sama sekali tak terpikir olehku untuk memperhatikan sepatunya." "Mungkin sekarang pun ia masih tidur pulas," kata Pip sambil meloncat bangkit "Kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Sebaiknya segera saja ke sana. untuk melihat dia. Begitu pula pakaian serta sepatunya! Fatty akan bisa mengatakan dengan segera. apakah orang itu gelandangan yang dilihatnya dalam kebun Pak Hick waktu itu." Dengan bersemangat kelima anak itu menuju ke lapangan yang terbentang di sisi sungai. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa; karena khawatir gelandangan itu sudah bangun dan pergi lagi. Untung sekali tadi Bets berhasil menemukannya jadi mereka tidak mau mengambil risiko dia pergi lagi! Akhirnya mereka tiba dekat tumpukan jerami. Terdengar bunyi dengkuran. Ternyata gelandangan itu masih ada di situ. Fatty menggendong Buster, lalu merangkak mengitari tumpukan jerami. Ia bergerak dengan hati-hati sekali. Di balik tumpukan berbaring seorang gelandangan. Tidurnya meringkuk. Orang itu sudah tua. Janggutnya sudah ubanan. Alisnya tebal dan juga sudah putih. Hidungnya panjang berwarna merah. Sedang rambutnya gondrong. tergerai di bawah topi tua yang sudah jelek. Fatty memperhatikan orang itu sebentar. lalu kembali ke tempat teman-temannya sambil berjingkat-jingkat. "Ya - memang dia!" bisiknya. "Tapi sulit untuk membuka mantelnya, untuk melihat apakah ia memakai jas flanel berwarna abu-abu atau tidak. Sedang kakinya ditarik ke atas. tertutup mantel. Kita harus merangkak. untuk melihat kayak apa sepatunya." "Akan kucoba." kata Larry. "Kalian di sini saja dengan Buster. Tolong lihatkan, kalau ada orang datang." Larry merangkak menuju tempat gelandangan itu tidur. Setiba di situ, ia duduk di samping orang itu. Larry mengulurkan tangan. Maksudnya hendak menyibakkan mantel ke samping, supaya bisa melihat apakah orang itu mengenakan jas berwarna kelabu. Celananya sudah begitu tua dan dekil. sehingga tidak bisa dikenali lagi warna aslinya. Tiba-tiba gelandangan itu bergerak sedikit Larry cepat-cepat menarik tangannya kembali. Kemudian ia berusaha mengintip ke bawah, melihat sol sepatu orang itu. Larry menundukkan kepala sampai ke tanah. sementara matanya mencari-cari sol orang itu. Tapi tiba-tiba gelandangan itu membuka matanya. Ia terbelalak heran melihat Larry. "Kenapa kau begitu?" tanyanya dengan tiba-tiba. sehingga Larry kaget setengah mati. "Rupanya kau mengira aku ini raja Inggris ya - sampai menunduk dengan kepala menyentuh tanah! Ayo pergi! Aku tidak suka pada anak-anak bisanya cuma mengganggu orang saja." Setelah itu ia meringkuk kembali. Matanya dipejamkan. Larry menunggu sebentar. Kemudian ia hendak membungkuk lagi. untuk mengintip sol sepatu orang itu. Tapi tiba-tiba terdengar siulan pelan dari balik jerami. Itu artinya ada orang datang. Yah - kalau begitu mereka harus menunggu sampai orang itu sudah lewat lagi. Larry merangkak. kembali ke tempat teman-temannya. "Ada yang datang?" tanya Larry. ` "Ya - Pak Ayo Pergi!" kata Fatty. Larry mengintip dengan hati-hati ke balik tumpukan jerami. Dilihatnya polisi desa itu datang dari arah berlawanan. menyusur jalan yang tidak lewat dekat tumpukan jerami. Tak lama lagi pasti Pak Ayo Pergi sudah berlalu. Tapi tiba-tiba polisi itu melihat gelandangan yang sedang pulas dekat jerami. Anak-anak bergegas mundur, ketika Pak Goon menyelinap mendekati tumpukan jerami itu. Sebuah tangga tersandar ke situ. Larry mendorong Bets serta anak-anak yang lain menyuruh mereka naik ke atas dengan cepat Di atas lebih kecil kemungkinannya mereka akan ketahuan. daripada tetap berada di bawah. Polisi itu masih menyelinap terus. Anak-anak yang mengintip dari atas. melihat orang itu mengambil buku catatan dari kantongnya. Fatty menyikut Larry dengan keras. sehingga nyaris saja Larry terjatuh ke bawah. "Lihatlah," bisik Fatty. "Lihat apa yang nampak di buku catatannya itu. Gambar jejak sepatu yang kita lihat! Ternyata Pak Ayo Pergi lebih cerdik daripada sangkaan kita." Pak Goon alias Pak Ayo Pergi berjingkat-jingkat menghampiri gelandangan yang sedang tidur. Ia berusaha sebisaúbisanya. untuk melihat sepatu apa yang dipakai orang itu. Ia juga berlutut seperti Larry tadi. Saat itu gelandangan terbangun! Kagetnya bukan main. ketika melihat seorang polisi berlutut di depan kakinya. Kalau seorang anak berbuat begitu. masih lumayan. Tapi polisi! Sambil berteriak. gelandangan itu meloncat bangkit. "Tadi anak laki-laki yang membungkuk padaku dan sekarang seorang polisi!" katanya, sambil menghenyakkan topinya yang tua dalam-dalam ke kepala. "Apa-apaan ini?" "Aku ingin melihat sepatumu." kata Pak Ayo Pergi. "Kalau mau lihat - silakan! Lihat baik-baik. dengan tali sepatunya sekaligus!" Gelandangan itu sudah kehilangan kesabarannya. "Solnya yang ingin kulihat." kata polisi itu dengan sikap tak peduli. "Kau ini polisi. atau tukang sepatu?" tanya gelandangan itu. "Yah - begini sajalah! Kautunjukkan kancing kemejamu, nanti kutunjukkan sol sepatuku!" Muka Pak Goon memerah. Dadanya turun - naik. Buku catatannya ditutup dengan keras. "Ikut aku." katanya. Tapi gelandangan itu tidak mau. Ia mengelak. lalu lari melintasi lapangan. Walau ia sudah tua. geraknya masih cekatan. Pak Ayo Pergi berteriak dengan marah, lalu berpaling hendak mengejar. Tepat pada saat itu Fatty jatuh berguling-guling dari alas tumpukan jerami. Ia terbanting dengan bunyi berdebam di tanah. Fatty menjerit kesakitan, menyebabkan polisi itu tertegun. "Ada apa di sini?" tanyanya. Dipandangnya Fatty dengan mata terbelalak Kemudian dilihatnya anak-anak yang lain, mengintip dengan cemas dari tepi atas tumpukan jerami. Mereka khawatir. Jangan-jangan Fatty cedera. Pak Ayo Pergi tercengang melihat mereka ada di alas. "Ayo turun!" bentaknya. "Selalu ada saja anak-anak yang ikut campur! Awas, kalau petani sampai mengetahuinya. Sudah berapa lama kalian ada di alas? Kenapa kalian mengintip-intip di situ?" Saat itu Fatty mengerang. Pak Ayo Pergi datang menghampiri. Ia bingung. Ingin mengejar gelandangan yang sudah jauh lari, tapi juga hendak menyentakkan Fatty supaya bangkit lalu menggoncang-goncang anak itu. "Jangan sentuh aku!"jerit anak yang gendut itu. "Kurasa tungkai kiri dan lengan kananku patah. Kedua bahuku terkilir, sedang usus buntuku pecah!" Kasihan. anak itu menyangka ia sudah hampir mati. Bets terpekik ketakutan, lalu cepat-cepat meloncat turun. Ia ingin menolong Fatty yang malang. Anak-anak yang lain ikut beterjunan ke bawah. Sedang Buster menandak-nandak dengan lincah, menyambar-nyambar pergclangan kaki Pak Ayo Pergi. Polisi desa itu marah, lalu menendang ke arah Buster. "Ayo pergi!" sergahnya. "Anjing dan anak-anak selalu bikin recok saja. dan menghalangi kesibukan orang. Sekarang gelandangan tadi lari. Hilang kesempatanku untuk memeriksa dia!" Ia menunggu sebentar. untuk melihat apakah Fatty benar-benar cedera. Tapi ternyata tidak, walau tubuhnya gemetar dan di beberapa tempat nampak bekas biru memar. Kegemukan tubuhnya yang menyelamatkan tulang-tulangnya! Begitu Pak Ayo Pergi melihat anak-anak yang lain membantu Fatty bangkit, lalu mengibas-ngibaskan debu yang melekat di pakaian serta membujuk-bujuknya, ia pun memandang berkeliling. Ia ingin tahu. ke mana gelandangan tadi lari. Tapi orang itu sudah tidak kelihatan lagi. Karenanya Pak Ayo Pergi berpaling pada anak-anak. "Sekarang, ayo pergi!"' bentaknya. "Aku tidak mau melihat kalian lagi!" Setelah itu Pak Goon berjalan dengan sikap anggun. pergi melanjutkan langkah. Ia sama sekali tak mau menoleh lagi. Anak-anak berpandang-pandangan. "Kita tadi sudah nyaris berhasil. sebelum Pak Ayo Pergi muncul dengan tiba-tiba." keluh Daisy. "Aku ingin tahu. gelandangan tadi pergi ke mana." "Aku ingin pulang." kata Fatty dengan suara sedih. 'Tubuhku sakit-sakit rasanya.." "Kuantarkan kau pulang." kata Daisy. "Kau juga ikut. Bets. Larry. kau dan Pip masih ingin melihat ke mana gelandangan tadi pergi?" "Ya." jawab Larry. "Sementara kesempatan masih ada! Aku tidak heran. Fatty tadi sampai jatuh dari atas. Habis. tegangnya memang bukan main!" "Bayangkan. Pak Ayo Pergi ternyata juga memiliki gambar jejak sepatu itu dalam buku catatannya." kata Pip sambil termenung. "Rupanya ia lebih cerdik dari sangkaanku semula. Tapi Kita masih punya sesuatu yang tak diketahuinya! Sobekan kain flanel kelabu!" Fatty, Daisy, Bets dan Buster pergi bersama-sama. Sedang anak yang dua lagi menuju ke arah gelandangan tadi pergi. Keduanya ingin sedapat mungkin mencari orang itu! VIII RENCANA BERIKUT Larry dan Pip lari bergegas-gegas. menuju arah gelandangan tadi. Rasanya konyol - anak-anak semua melihatnya. begitu pula Pak Ayo Pergi - tapi tak ada yang bisa menyelidiki. kayak apa sol sepatu orang itu! Setelah lari agak lama. gelandangan itu masih juga belum kelihatan. Kemudian anak-anak berpapasan dengan seorang buruh tani. "Hai." sapa mereka. "Anda tadi melihat seorang gelandangan tua lewat di sini?" "Ya - dia masuk ke hutan itu," kata buruh tani yang ditanyai. sambil menuding sekelompok pepohonan yang nampak di kejauhan. Larry dan Pip langsung lari ke sana, lalu memeriksa di sela-sela pepohonan dan di bawah semak belukar. Kemudian tercium bau asap api. Mengikuti bau itu. dibantu dengan mata. dengan segera mereka tiba di sumbernya. Gelandangan tua yang berpakaian lusuh itu duduk di atas sebatang pohon yang sudah roboh ke tanah. Topinya dibuka, sehingga kelihatan rambutnya yang kusut. Gelandangan itu sedang masak sesuatu dalam kaleng. Begitu melihat Larry muncul, mukanya langsung cemberut. "Hah! Kau muncul lagi?" tukasnya. "Ayo pergi! Kenapa kau membuntuti aku terus? Aku kan tidak berbuat apa-apa." "Anda kan hendak mencuri telur dari kandang ayam Pak Hick, dua hari yang lalu." kata Larry memberanikan diri. "Kebetulan kami mengetahuinya! Tapi itu tidak ada urusannya dengan kami." "O, Pak Hick! Jadi itulah namanya." kata si tua, sambil mengaduk-aduk masakannya dengan sebatang ranting. "Aku sama sekali tidak mencuri telurnya. Aku tak mencuri apa-apa! Aku ini jujur. Coba tanya sama siapa saja. pasti semua akan mengatakan begitu!" "Kalau begitu. untuk apa Anda bersembunyi dalam parit di ujung kebunnya?" tanya Larry. Gelandangan itu melongo. "Aku tak pernah sembunyi dalam parit." katanya. "Itu bukan aku. Bukan! Sebetulnya aku bisa saja mengatakan sesuatu pada kalian - tapi aku tidak mau. Kalian yang menyuruh polisi tadi mendatangi aku, ya!" "Bukan, Pak." jawab Larry. "Ia tiba-tiba saja datang, lalu membungkuk dekat Anda. Dia sama sekali tidak tahu, kami ada di situ." "Ah, masak! Aku tidak percaya." tukas gelandangan tua itu. "Kalian yang menyuruh polisi itu mengejar aku. Aku tahu. kalian yang menyuruhnya. Aku tidak mau ikut-ikut terlibat dalam persoalan yang bukan urusanku. Tapi malam itu di sana memang terjadi hal-hal aneh - ya. aku tahu betul!" Tapi tiba-tiba laki-laki tua itu mengerang. Digosok-gosoknya kakinya yang sebelah kanan. Jempolnya mencuat keluar dari sepatu, yang nampak terlalu kecil baginya. Ia membuka sepatu itu, menampakkan kaus kaki yang sudah berlubang-lubang. Diusap-usapnya kaki yang rupanya terasa sakit. Larry dan Pip memperhatikan sepatu orang itu, yang dicampakkan dengan seenaknya saja ke samping. Solnya terlihat jelas. Terbuat dari kulit, dan sudah begitu aus sehingga tidak mungkin bisa menahan kelembaban. "Bukan sol karet" bisik Larry pada Pip. "Jadi ternyata bukan dia yang bersembunyi dalam parit. Lagi pula. aku percaya dia tidak tahu apa-apa. Dan lihatlah jas tua yang nampak di balik mantelnya warnanya hijau. bukan kelabu!" "Apa yang kalian bisik-bisikkan itu?" tanya si tua dengan curiga. "Ayo pergi dari sini! Tidak bolehkah aku hidup dengan tenang? Aku tak pernah mengganggu orang lain. Sungguh. tidak pernah - tapi anak-anak dan polisi selalu mengejar-ngejar aku. Aku sudah senang sekali, jika mendapat sepasang sepatu yang pas untuk kakiku ini. Kalian punya sepatu yang cocok untukku?" "Kaki Anda ukuran berapa?" tanya Pip. Menurut perasaannya. mungkin dia bisa meminta sepasang sepatu ayahnya yang sudah usang, untuk diberikan pada gelandangan tua yang kakinya sakit itu. Tapi si tua tidak tahu, sepatunya ukuran berapa. Ia belum pernah membeli sepatu seumur hidupnya. "Yah. apabila aku bisa memperoleh sepasang sepatu tua dari ayahku. nanti akan kuberikan pada Anda." kata Pip. "Atau lebih baik. Anda saja yang datang mengambilnya. Aku tinggal di rumah berwarna merah, di jalan yang sama dengan rumah Pak Hick. Letaknya tidak jauh dari situ. Datang saja besok! Mungkin sudah ada sepatu untuk Anda." "Kalau aku kembali. kalian pasti menyuruh polisi tadi mengejar aku lagi," kata gelandangan itu menggerutu. Ia mengambil sesuatu yang kelihatan aneh dan dalam kaleng, lalu memakannya dengan memakai tangan saja. "Atau kalau tidak, tentu Pak Hick yang akan menyuruh. Orang itu sebaiknya hati-hati saja. Aku tahu beberapa hal tentang kehidupan Pak Hick. Ya, betul! Aku kemarin mendengar dia marah-marah pada beberapa orang. Padaku juga. Ya. betul! Di sana ada kejadian-kejadian aneh - tapi aku tidak mau ikut campur." Larry melirik arlojinya. hari sudah agak siang. "Kita harus pergi," katanya. "Tapi Anda datang saja besok ke rumah Pip. Anda bisa menceritakan apa saja pada kami. Kami takkan membuka rahasia." Setelah itu keduanya bergegas-gegas pulang karena mereka sudah terlambat untuk makan siang. "Ke mana saja kau tadi," tanya ibu Pip padanya, begitu ia masuk ke rumah. "Dan apa saja yang kaukerjakan?" Tentu saja Pip tidak bisa menceritakan pengalamannya pada ibunya, karena Pasukan Mau Tahu dan segala kesibukan mereka harus dirahasiakan. "Aku tadi dengan kawan-kawan." Katanya kemudian. "Itu tidak benar. Pip," tukas ibunya. "Bets dan Daisy sudah lama sampai di sini - begitu pula si ah, siapa lagi nama anak gemuk itu. Kau tidak boleh mengarang-ngarang!" "Yah. aku tadi dengan Larry." kata Pip. Bets melihat abangnya sedang mengalami kesulitan, lalu ia berusaha menolong dengan jalan mengalihkan perhatian. "Tadi pagi Fatty terjatuh dari atas tumpukan jerami." katanya. Dan dengan kalimat itu, ia benar-benar berhasil mengalihkan perhatian, ibunya memandang dia dengan mata terbelalak karena kaget. "Siapa yang jatuh? Anak gemuk itu? Lalu bagaimana - cedera atau tidak? Apa yang kalian lakukan, di atas tumpukan jerami?" Pip sudah khawatir saja, jangan-jangan Bets akan mengatakan apa sebabnya mereka semua berada di atas tumpukan jerami. Karena itu ia yang sekarang cepat-cepat menukar pokok pembicaraan. "Bu - adakah sepatu Ayah yang sudah tua dan tidak dipakai olehnya lagi?" tanyanya secara sambil lalu. Ibunya menatap anak itu. "Kenapa kau bertanya?" tanya ibu. Soalnya, tidak biasanya Pip ada perhatian pada pakaian bekas ayahnya. "Yah - kebetulan aku kenal seseorang yang akan sangat senang jika diberi sepasang." jawab Pip. "Kenapa?" tanya ibunya lagi. "Begini - jari-jari kakinya sudah menonjol ke luar dari sepatu yang sekarang dipakai." kata Pip menjelaskan. Ia berusaha agar ibunya tertarik pada persoalan itu "Jari kaki siapa?" tanya ibunya tercengang. Nah - sekarang Pip bingung. Kini ia terpaksa bercerita tentang gelandangan tua itu. Padahal cerita itu termasuk rahasia Pasukan Mau Tahu Aduh! Apa pun yang dibicarakan, semuanya seakan-akan berbalik lagi menuju ke kesibukan perkumpulan rahasia mereka. "Ah - cuma seorang gelandangan tua," kata Bets saat itu Pip cuma bisa melotot menatap adiknya. "Gelandangan?" kata ibunya kaget. "Kau kan tidak berteman dengan orang-orang macam begitu. Pip?" "Tidak. Bu," jawab Pip bingung. "Sungguh, tidak! Aku cuma merasa kasihan padanya. Ibu kan selalu mengatakan. kita harus kasihan pada orang-orang yang nasibnya lebih buruk dan sebisa-bisanya membantu mereka? Nah - karena itulah aku lantas terpikir untuk memberikan sepasang sepatu tua padanya. Cuma itu saja sebabnya. Bu." "O, begitu," kata ibunya. Pip menghembuskan napas lega. "Yah, nanti kulihat - barangkali saja ada sepatu Ayah yang sudah tidak bisa dipakai lagi. Kalau ada. kau boleh memberikannya pada orang itu. Sekarang makan saja dulu." Selesai makan siang, Pip buru-buru lari ke kebun. Ia mencari Bets. yang saat itu dalam pondok peranginan. "Bets! Bagaimana Fatty tad? Tidak apa-apa kan?" tanyanya beruntun-runtun. "Tidak! Cuma tubuhnya di beberapa tempat biru memar." kata Bets. "Belum pernah kulihat luka memar sehebat itu. Pasti kini ia akan membangga-banggakannya. sampai kita bosan mendengarnya. Waktu dia jatuh tadi. bunyinya berat sekali. ya? Gedebukk! Kalian berhasil menemukan si tua gelandangan itu? Apa yang terjadi kemudian?" "Ternyata bukan dia orangnya yang bersembunyi dalam parit. serta yang jasnya robek tersangkut duri," kata Pip. "Kami melihat sepatu dan jasnya. Tapi dia mendengar segala pertengkaran yang terjadi di tempat Pak Hick. Aku dan Larry bermaksud menanyainya besok. apabila ia datang untuk mengambil sepatu. Kurasa ia tentu mau menceritakan beberapa hal pada kami. asal tahu pasti kita tidak akan menyuruh polisi memeriksanya. Mungkin pula ia juga melihat orang yang bersembunyi dalam parit!" "Wah." kata Bets dengan jantung berdebar keras. "Pip, tadi lucu sekali ya - ketika gelandangan tua itu tiba-tiba terbangun dan melihat Larry berlutut di depannya. Lalu sesudah itu. Pak Ayo Pergi juga melakukan perbuatan yang sama!" "Ya. memang lucu." kata Pip sambil nyengir. "Nah. itu Fatty datang - bersama Buster." Fatty berjalan memasuki kebun. Langkahnya terpincang-pincang. Dalam hati ia sibuk berpikir. Berlagak pahlawan dan menganggap segala hal yang dialami itu soal kecil, tapi terus terpincang-pincang agar dikasihani teman-teman. Atau berlagak tubuhnya sebelah dalam luka parah, sehingga kawan-kawan ketakutan! Saat itu ia berlagak pahlawan. Sambil melemparkan senyum pada Bets dan Pip, ia duduk dengan hati-hati. "Sakit sekah?" tanya Bets prihatin. "Ah, lumayan." kata Fatty dengan suara tabah. "Jatuh dari tumpukan jerami. masih belum apa-apa! Kau tak perlu prihatin!" Pip dan Bets memandangnya dengan kagum. "Mau lihat luka memarku?" tanya Fatty. "Aku sudah melihatnya tadi." kata Bets. "Tapi boleh saja kulihat sekali lagi. Aku paling suka melihat memar apabila warnanya mulai menguning. Kau kan belum melihatnya, Pip?" Pip bimbang. Ia ingin melihat bekas jatuh itu, tapi tidak ingin melihat Fatty membangga-banggakan diri. Tapi Fatty tidak menunggu jawaban lagi. Dibukanya pakaian luarnya, untuk memamerkan memar-memar dalam berbagai ukuran. Memang mengesankan. Kelihatannya! "Belum pernah kulihat memar sehebat itu." Kata Pip. Mau tidak mau, dikaguminya bekas-bekas jatuh itu. "Aku sendiri belum pernah mengalami memar kayak begitu. Kurasa karena kau gemuk, bekasnya juga melebar. Pasti kau akan kelihatan hebat, jika memar itu sudah mulai berwarna kuning kehijauan!" "Ya. aku ini kalau memar memang tidak pernah setengah-setengah." kata Fatty dengan bangga. "Pernah ketika sedang main bola, aku menubruk tiang gol. Nah - terjadi benjolan di sini, bentuknya persis lonceng gereja. Benar-benar ajaib." 'Wah! Sayang aku tak melihatnya." kata Bets. "Lalu lain kali seorang kawan memukulku dengan tongkat." sambung Fatty. "Kena di sini. Keesokan harinya nampak memar yang bentuknya kayak ular. Persis sekali. dengan kepala dan sebagainya." Tangan Pip meraih sebatang ranting. "Kalau mau. bisa kubuatkan ular lagi di tubuhmu," kata anak itu. "Bilang saja, mau di mana!" Edit by : zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net Fatty tersinggung. "Jangan jahil," katanya. "Nah. kalau begitu jangan bicara lagi tentang ular dan lonceng gereja." kata Pip jengkel. "Begitu Bets mengatakan, 'Aduh. hebat!'. kau langsung mulai membual. Belum pernah kudengar bualan senekat ceritamu tadi. Hai - itu Larry dan Daisy!" Walau dalam hati ia masih kepingin memamerkan memar-memarnya. namun Fatty tidak berani membuka mulut lagi mengenai hal itu. Sedang Larry sementara makan cepat-cepat tadi. sibuk memikirkan persoalan yang dihadapi. Kini ia sama sekali tidak sempat menanyakan keadaan Fatty Ia langsung memaparkan hasil pemikirannya. "Begini," katanya. "aku tadi berpikir-pikir tentang Pak Ayo Pergi. Tidak enak rasanya, dia juga tahu tentang jejak sepatu itu. Jangan sampai ia berhasil memecahkan misteri ini, mendului kita! Siapa tahu, mungkin ia juga sudah mengawasi Pak Peeks dan Pak Smellie pula. Kita harus lebih dulu berhasil! Tidak enak apabila Pak Ayo Pergi mengetahui segala-galanya lebih dulu daripada kita!" "Betul!" kata anak-anak yang lain serempak "Kita harus menyelidiki Pak Peeks, pesuruh Pak Hick yang sudah dipecat," kata Larry lagi. "Itu penting sekali! Aku sekarang sudah tidak lagi mencurigai si tua gelandangan itu, setelah kulihat jas dan sepatunya. Lagi pula jika memang dia yang membakar pondok. aku yakin dia akan sudah melarikan diri secepat mungkin dan daerah ini. Tapi kenyataannya, ia masih ada di sini. Aku tidak percaya. dia yang melakukan kejahatan itu. Aku lebih cenderung menduga Pak Peeks yang membakar pondok. Itulah yang harus kita selidiki." "Setuju," seru anak-anak serempak. "Besok gelandangan itu perlu kita tanyai dengan seksama." kata Larry. "Aku merasa pasti banyak yang bisa diceritakannya pada kita. Fatty! Bagaimana, kiranya kau besok bisa mencari keterangan mengenai Pak Peeks bersama Daisy? Aku sendiri tinggal di sini. dengan Pip dan Bets, untuk menanyai gelandangan itu." Beres!" kata Fatty dan Daisy dengan gembira. Mereka harus berusaha keras, agar jangan sampai ketinggalan dari Pak Ayo Pergi! Mereka harus mendului dia! IX SURAT DARI LILY FATTY merasa seluruh tubuhnya serba kaku dan sakit-sakit. Enggan rasanya berbuat macam-macam lagi hari itu. Karena itu ia ditinggalkan di kebun rumah Pip dan mana ia bisa membaca dengan tenang. ditemani Bets dan Buster. Sementara itu Larry, Pip dan Daisy berangkat menuju rumah Pak Hick, untuk mengajak Bu Minns mengobrol lagi. "Kita perlu menyelidiki, adakah kemungkinan - Bu Minns sendiri yang membakar pondok," kata Larry. "Aku sih tidak percaya dia yang melakukan. Tapi sebagai detektif. kita tidak boleh menuruti perasaan. Kecuali itu, kita harus mencari alamat Horace Peeks." "Kita bawa oleh-oleh ikan untuk si Manis," kata Daisy. "Kalau tidak salah. di dapur masih ada sisa makanan tadi. Kalau kuminta, pasti diberi. Bu Minns pasti senang sekali, jika kita membawakan oleh-oleh untuk kucingnya itu." Daisy masuk ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan kepala ikan, terbungkus dalam kertas. Buster mengendus baunya. Dengan segera anjing itu hendak menyusul Daisy. Tapi Fatty memegang kalung lehernya erat-erat. "Lebih baik dia jangan ikut," kata Daisy. "karena pasti nanti akan mengejar si Manis. Lalu, kita dikejar Bu Minns!" "Nanti biar aku saja yang bicara." kata Larry, sementara ketiga anak itu berjalan ke luar. Daisy tertawa. "Jangan khawatir - paling-paling cuma Bu Minns saja yang mengoceh terus." katanya. Setiba di rumah Pak Hick. mereka langsung menuju ke dapur, lalu menjenguk ke dalam. Nampak Lily ada di situ. Gadis itu sedang menulis surat. Matanya bengkak, seperti habis menangis. "Mana Bu Minns?" sapa Larry. "Ada di atas." jawab Lily. "Dia sedang marah-marah. Aku tadi menumpahkan susu, membasahi dirinya. Lalu dia bilang, aku melakukannya dengan sengaja." "Kau ada di sini pada malam kebakaran itu?" tanya Larry. Lily menggeleng. "Kalau begitu di mana?" tanya Larry lagi. "Jadi kau tidak melihat kebakaran itu?" "Aku melihatnya. ketika kembali ke sini. Malam itu aku bebas tugas." kata Lily. "Mengenai di mana aku waktu itu, itu bukan urusanmu!" "Aku tahu." kata Larry. Ia heran. apa sebabnya Lily bersikap begitu ketus. "Tapi aku tidak mengerti. kenapa Bu Minns atau kakaknya tidak mencium bau kebakaran sejak api mulai menyala!" "Itu kakak Bu Minns datang," kata Lily. Seorang wanita yang gemuknya ampun-ampunan muncul di ambang pintu dapur. Wanita itu memakai topi bertudung lebar yang pinggirnya dihiasi bunga-bungaan. Matanya menatap dengan jenaka. Ia kelihatan heran ketika menjenguk ke dalam dapur dan melihat ada anak-anak di situ. "Apa kabar. Bu Jones?" sapa Lily, tapi dengan cemberut. "Bu Minns sedang ada di atas, berganti pakaian. Tapi sebentar lagi juga sudah turun. Bu Jones masuk ke dapur, lalu menghenyakkan diri ke kursi goyang yang ada di situ. Napasnya memburu. "Huh. panasnya hari ini." katanya "Siapa anak-anak ini?" "Kami tinggal di jalan ini juga. Bu," jawab Pip. "Kami membawakan kepala ikan untuk si Manis." "Mana anak-anaknya?" tanya Daisy. Ia memandang ke arah keranjang yang kosong. "Wah." seru Lily dengan cemas. "Mudah-mudahan saja mereka tidak lari ke atas. Bu Minns sudah mengatakan padaku, pintu dapur harus selalu ditutup!" "Ah, mungkin mereka bermain-main di luar," kata Larry. sambil menutupkan pintu yang menuju ke sebelah dalam rumah. Ia tidak ingin Pak Hick mendengar suara mereka bercakap-cakap di dapur, lalu datang untuk melihat. "Nah - itu dia si Manis!" Kucing besar berbulu belang hitam-putih itu masuk ke dapur dengan ekor terangkat lurus ke atas. Begitu masuk. langsung tercium bau ikan. Dengan segera manis mendatangi Daisy. Anak itu membuka bungkusan. lalu meletakkan kepala ikan ke piring yang ada di pojok dapur. Manis mengambil oleh-oleh itu. lalu memakannya di lantai. "Waktu kebakaran itu. Manis tentunya ketakutan. ya?" tanya Pip. Ia merasa sudah waktunya memulai pemeriksaan. "Dia agak gelisah." kata Bu Jones. "Oh - jadi Anda waktu itu ada di sini?" tanya Daisy. pura-pura tidak tahu. "Astaga! Tapi apa sebabnya Anda tidak tahu pondok terbakar saat itu?" "Siapa bilang aku tidak tahu," jawab Bu Jones tersinggung. "Berulang kali kukatakan pada Maria. `Maria. ada sesuatu yang terbakar di sini!' Penciumanku tajam sekah. Tapi kalau Maria, hidungnya payah! Aku waktu itu mengendus-endus di sekeliling dapur. Bahkan kujengukkan kepala ke serambi dalam karena menduga mungkin saja ada sesuatu yang terbakar di situ." "Bu Minns tidak pergi memeriksa sebentar?" tanya Larry. "Ah, malam itu dia malas bergerak" kata kakak Bu Minns. "Ia menderita penyakit encok dan pinggangnya. Ia benar-benar terikat." "Apa maksud Anda terikat?" tanya Larry dengan penuh minat. "Yah, sejak saat minum teh ia sudah duduk terus di kursi goyang ini, sambil berkala padaku, Hannah ' katanya. 'aku terikat di kursi ini. Encokku kambuh lagi, sehingga aku tidak bisa berkutik'. Lalu kukatakan padanya. 'Maria. kau duduk saja di situ. Biar aku saja yang mengurus hidangan sore. Pak Hick sedang ke luar, jadi tidak perlu diatur makanan untuk dia. Aku akan menemanimu di sini, sampai badanmu sudah agak sehak kembali!" Anak-anak_ yang mendengarkan cerita itu, sampai pada kesimpulan yang sama. "Jika sejak sore Bu Minns duduk terus karena penyakit encoknya, maka tidak mungkin dia yang membakar pondok!" "Kasihan - jadi Bu Minns sama sekah tidak beranjak dari kursinya?" tanya Daisy. "Maksudku, sampai ketahuan ada kebakaran?" 'Tidak - Maria duduk terus di kursi ini." kata Bu Jones. "Dia baru bangkit, ketika berkat penciumanku kami tahu bahwa benar ada sesuatu yang sedang terbakar. Saat itu aku pergi ke pintu dapur lalu mengendus-endus ke luar. Setelah itu aku masuk ke kebun. Saat itu juga kulihat nyala api di ujung kebun. Aku berteriak, 'Ada kebakaran, Maria!' wajah adikku itu menjadi pucat pasi, kayak mayat. 'Ayo, Maria!` kataku, 'Kita harus berbuat sesuatu!' Tapi kasihan dia sama sekali tak mampu meninggalkan kursinya!" Anak-anak mendengarkan dengan penuh minat. Ternyata Bu Minns sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan kejahatan itu. Ia terserang encok - mana mungkin mondar-mandir membakar pondok! Lagi pula. bukankah sejak sore Bu Jones ada bersama dia. Jadi - Bu Minns harus dicoret namanya dari daftar para tersangka. Saat itu pintu dapur yang sebelah dalam terbuka Bu Minns masuk Tampangnya kelihatan marah Ia tadi naik ke atas sebentar. untuk menukar gaun yang basah kena susu yang tumpah. Ditatapnya Lily dengan mata melotot. Tapi saat berikutnya ia tercengang ketika melihat ketiga anak yang ada di situ. "Nah. Maria." sapa Bu Jones. "bagaimana encokmu sekarang?" "Selamat siang. Bu Minns." kata Daisy. "Kami membawakan kepala ikan untuk si Manis" Wajah Bu Minns langsung berseri-seri. Ia selalu terharu, jika ada orang berbuat baik terhadap kucing yang disayanginya itu. "Kalian baik hati." katanya, lalu menoleh pada kakaknya. 'Sakitku sudah hilang," karanya. "tapi entah bagaimana sekarang. setelah kena siram susu. Sungguh. keterlaluan sekali! Masak aku disiram susu - oleh Lily.' "Kan tidak kusengaja," kata Lily dengan masam. "Bolehkah aku pergi sebentar, untuk mengeposkan surat ini?" "Tidak boleh." kata Bu Minns ketus. "Kau harus menyiapkan hidangan makan sore untuk Pak Hick. Ayo, lekaslah sedikit. Hentikan menulis surat. Tidak ada salahnya jika sekali-sekali bekerja!" "Tapi sebentar lagi tukang pos sudah akan mengosongkan kotak surat," kata Lily. Kasihan gadis itu. Ia sudah nyaris menangis. "Pokoknya sudah kukatakan tidak boleh." Kata Bu Minns tanpa merasa kasihan. Lily menangis. Anak-anak merasa kasihan padanya. Gadis itu bangkit dari kursi, lalu mulai mengatur piring dan cangkir. Anak-anak agak bingung, tidak tahu bagaimana caranya mengalihkan percakapan pada Horace Peeks. Mereka memerlukan alamat orang itu supaya nanti bisa mendatangi dia. "Pak Hick sudah mendapat pesuruh yang baru?" tanya Larry, setelah berpikir-pikir beberapa saat. "Hari ini akan datang seseorang yang melamar untuk itu." kata Bu Minns. Ia merebahkan diri ke sebuah kursi besar. Kursi itu berderik-derik tertindih tubuhnya yang gemuk. "Mudah-mudahan saja pesuruh yang baru tidak bertingkah kayak Pak Peeks Cuma itu saja harapanku." "Pak Peeks itu - tinggalnya di dekat-dekat sini?" tanya Pip seolah-olah iseng. "Ya." jawab Bu Minns. "Nanti dulu - di mana sih tinggalnya? Aduh ingatanku ini makin lama makin payah!" Bu Minns sudah hampir teringat kembali di mana Horace Peeks tinggal, ketika sekonyong-konyong datang gangguan. Tiba-tiba pintu dapur terbanting dengan keras. Ketiga anak kucing melayang masuk. dan jatuh ke lantai Ketiga-tiganya mengeong dan mendesis-desis. Semua yang ada di dapur tercengang, lalu cepat-cepat menoleh ke arah pintu. Pak Hick berdiri di situ Rambut di ubun-ubunnya berdiri tegak. Tampangnya saat itu persis burung kakaktua! "Mereka tadi masuk ke kamar kerjaku!" bentak Pak Hick. "Perintahku sudah tidak ada artinya lagi di sini. ya! Kalau malam ini mereka masih ada di sini. semuanya akan kubenamkan dalam air!" Setelah itu ia berpaling, hendak pergi lagi. Tapi saat itu dilihatnya ketiga anak yang ada di dapur. Pak Hick maju selangkah. sambil menudingkan telunjuk pada mereka. "Bukankah kalian sudah pernah kuusir dari sini? Kenapa berani muncul lagi kemari!" Larry, Pip dan Daisy cepat-cepat bangkit. Lalu lari tunggang-langgang ke luar. Mereka sebenarnya bukan anak-anak yang penakut. Tapi sikap Pak Hick begitu galak. sehingga mereka benar-benar khawatir akan dilempar ke luar olehnya. Persis seperti caranya melempar anak-anak kucing tadi ke dalam dapur! Mereka lari ke arah gerbang depan. Tapi setengah jalan Larry berhenti berlari. "Kita tunggu di sini. sampai Pak Omel itu sudah pergi dari dapur," katanya. "Soalnya. kita harus memperoleh alamat Horace Peeks. Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelidiki dirinya. Selama kata belum tahu di mana dia tinggal." Mereka lantas menunggu di situ selama beberapa saat. Kemudian menyelinap dengan hati-hati, kembali ke dapur. Nampak Bu Minns asyik mengobrol dengan kakaknya. Sedang Lily masih sibuk menyiapkan hidangan sore untuk Pak Hick. Anak-anak menjengukkan kepala di ambang pintu, memandang ke dalam. "Kalian mau apa lagi sekarang?" tanya Bu Minns dengan nada ramah. "Wah. kalian tadi lari - kayak tikus dikejar kucing! Aku sampai terpingkal-pingkal!" "Anda tadi sedang mencoba mengingat-ingat alamat tempat tinggal Pak Peeks, ketika tahu-tahu Pak Hick masuk." kata Larry. "O ya?" kata Bu Minns. "Wah - tadi memang tiba-tiba kuingat lagi - tapi sekarang lupa kembali. Nanti dulu ú nanti dulu..." Bu Minns kelihatan jelas sedang memeras ingatan. Anak-anak menunggu sambil menahan napas. Tapi tiba-tiba terdengar langkah-langkah berat di luar. disusul ketukan di pintu dapur. Bu Minns membukakan pintu. Di luar nampak sosok tubuh Pak Goon alias Pak Ayo Pergi, polisi desa. Anak-anak mengeluh dalam hati. Rupanya mereka memang sudah ditakdirkan, tidak bisa tidak harus selalu berjumpa kembali dengan orang itu! "Selamat siang. Bu." ujar polisi itu pada Bu Minns. sambil mengambil buku catatannya yang besar bersampul hitam. "Mengenai peristiwa kebakaran itu - rasanya Anda sudah memberikan semua keterangan yang saya perlukan. Tapi masih ada sedikit yang perlu ditanyakan. mengenan orang yang bernama Peeks." Anak-anak saling bertatapan dengan kening berkerut Aduh - ternyata Pak Ayo Pergi juga sudah mengadakan penyelidikan tentang Pak Peeks! "Anda tahu alamatnya'-"' tanya Pak Ayo Pergi, sambil menatap Bu Minns dengan matanya yang mendelik seperti mata akan mas koki. "Eh - aneh!" kata Bu Minns. "Kebetulan aku juga sedang mencoba mengingat-ingatnya, ketika Anda mengetuk pintu! Anak-anak ini yang menanyakannya." "Anak-anak mana?" tanya Pak Ayo Pergi tercengang. Ia menjenguk ke dalam. Saat itu barulah dilihatnya Larry, Daisy dan Pip. "Lagi-lagi kalian!" sergahnya dengan kesal. "Ayo pergi! Kalian ini. selalu saja muncul di mana-mana. Benar-benar menjengkelkan! Untuk apa kalian ingin mengetahui alamat Peeks? Cuma karena ingin tahu saja, ya?!" Anak-anak diam saja. Pak Ayo Pergi menggerakkan Ibu jari tangannya ke belakang pundak. "Ayo pulang!" perintah orang itu. "Ini urusan polisi, kalian tidak boleh tahu! Ayo pergi!" Apa boleh buat. Tak ada pilihan lain - mereka harus pergi. Sambil memendam rasa marah, mereka lari ke jalan raya. "Padahal Bu Minns tadi sudah hampir teringat kembali!" kata Larry. "Moga-moga lupa lagi. sehingga tidak bisa dikatakan pada Pak Ayo Pergi," kata Pip murung. "Kalau sampai dikatakan polisi itu pasti akan bisa mendului kata berjumpa dengan Pak Peeks!" "Sialan!" umpat Daisy. Ketiga-tiganya merasa putus asa. Ketika mereka hendak keluar dari gerbang pekarangan, terdengar siulan pelan. Datangnya dari arah semak-semak di dekat situ. Ketiganya berpaling. untuk melihat siapa yang tadi bersiul. Lily muncul. Ia memegang sepucuk surat. Tampangnya ketakutan. tapi penuh tekat. "Tolong poskan surat ini untukku," pintanya. "Aku menulisnya untuk Pak Peeks. Aku memberitahukan padanya, orang-orang di sini mengatakan dialah yang membakar pondok. Padahal bukan dia! Betul - bukan dia yang membakar. Aku tahu pasti! Tolong poskan, ya?" Saat itu terdengar seseorang berteriak dari arah dapur. "Lily' Ke mana lagi kau sekarang?" Seketika itu juga Lily lari ke dapur. Sedang anak-anak lari ke luar. Mereka kaget, tapi juga bergairah. Setelah lari agak jauh. mereka berhenti dan berlindung di balik pagar semak. Lalu mereka mengamat-amati sampul surat yang diserahkan Lily tadi Surat itu tidak berperangko. Rupanya karena tergesa-gesa. Lily lupa menempelkan perangko. "Bukan main!" kata Larry. "Sedari tadi kita bersusah-payah. berusaha mengorek alamat Horace Peeks tapa sia-sia saja! Sekarang. Dengan tiba-tiba saga alamat itu disodorkan ke tangan kita!' "Begitulah nasib!" kata Daisy dengan girang. "Pokoknya aku gembira" "Yanq menjadi soal sekarang - maukah kita bila Pak Peeks diberi tahu," kata Larry. "Karena jika memang dia pelakunya. maka sudah seharusnya ia tertangkap dan kemudaan dihukum. Itu sudah pasti! Jika ia sudah diperingatkan sebelumnya bahwa ia dicurigai ada kemungkinan dia akan melarikan dari. Dengan begitu berarti kita gagal!" Mereka berpandang-pandangan. Kemudian Pip mendapat akal. "Aku tahu? katanya bersemangat "Hari ini saja kita mendatangi Pak Peeks. Nanti, setelah makan sore. Jadi tidak besok. Kita datangi dia. lalu kita harus menentukan apakah mungkin dia pelakunya atau bukan. Jika menurut perasaan kata bukan dia surat Lilv kata serahkan padanya! "Setuju!" kata kedua kawannya dengan senang. Bagaimanapun, surat tanpa perangko tidak bisa kita poskan. Tapa kalau diantar sendiri. bisa!" Mereka memperhatikan alamat yang tertera pada sampul. Mr. H. Peeks Ivy Cottage Wilmer Green "Kita ke sana naik sepeda " kata Larry. "Yuk - kita harus memberi tahu Fatty dan Bets!" X MENYELIDIKI HORACE PEEKS KETIGA anak itu kembali ke pondok peranginan. Fatty dan Bets masih menunggu di sana. Buster menggonggong-gonggong dengan gembira, menyambut kedatangan mereka. "Bagaimana hasilnya?" sapa Fatty. "Wah - mula-mulanya payah." kata Larry. "tapi kemudian. menjelang akhir, kami mengalami nasib baik." Lalu diceritakannya pada Bets dan Fatty pengalaman tadi. Keduanya mengikuti dengan penuh minat. Kemudian bersama-sama mereka memeriksa alamat Horace Peeks sekali lagi. "Jadi kini akan naik sepeda dengan Pip dan Daisy ke Wilmer Green." kata Larry. "Jauhnya dari sini cuma sekitar lima kilometer. Kami berangkat setelah makan sore nanti." "Aku juga ikut.' kata Bets dengan segera. "Aku juga kepingin. tapi tubuhku masih terasa sakit-sakit " kata Fatty. "Kau tinggal saga di sini. bersama Bets," kata Pip. "Jangan sampai kita muncul berbondong-bondong di sana. Nanti Pak Peeks curiga " "Aku selalu tidak diajak," kata Bets dengan sedih. "Kau ingin mendapat tugas?" kata Larry. "Nah, carilah alamat Pak Smellie! Fatty bisa membantumu mencarinya. Lihat saja dalam buku telepon atau mungkin ada orang yang tahu. Alamat itu kita perlukan untuk besok. karena dia juga perlu kita datangi. Semua tersangka harus diperiksa!" "Dua dari mereka sudah bisa dicoret dari daftar," kata Pip. "Bu Minns - dan aku yakin juga gelandangan tadi. Jadi tinggal Pak Smellie dan Pak Peeks. Wah - coba bisa mengetahui siapa yang memakai sepatu bersol karet, dengan tanda-tanda garis silang-menyilang itu. Kalau sudah kita ketahui. akan lancar penyelidikan selanjutnya!" "Akan kutemukan alamat Pak Smellie!" kata Bets bersemangat. Ia merasa senang, karena ada tugas baginya. "Akan kuambil buku telepon, lalu kucari di situ bersama Fatty!" Saat itu terdengar lonceng berdering. memanggil mereka untuk minum teh. Larry dan Daisy ikut makan sore di situ. Tapi Fatty harus pulang ke hotel. karena ditunggu ibunya. Sehabis makan sore. Fatty muncul lagi. Sementara itu Larry. Pip dan Daisy mengambil sepeda mereka. lalu berangkat. Mereka sudah hafal jalan ke desa Wilmer Green. "Alasan apa yang kita pakar nanti. kenapa kita hendak ketemu dengan Pak Peeks?" kata Larry sementara mereka bersepeda dengan laju. Selama beberapa saat. tidak ada yang tahu. Tapi kemudian Pip mendapat akal. "Kita mampir saja di rumahnya. minta minum," katanya. "Jika ibunya ada, kurasa dia akan mengajak kita mengobrol. Dengan begitu ada harapan kita akan mendapat keterangan yang kita inginkan, yaitu di manakah Horace Peeks pada malam kebakaran itu?Jika Ibunya mengatakan dia ada di rumah terus. maka nama Horace Peeks bisa kita coret dari daftar." "Ide bagus!" kata Larry. "Dan aku juga dapat akal sekarang. Sebelum sampai di rumah itu, nanti akan kukempiskan ban roda depanku. Jadi sambil memompanya lagi, kita akan punya alasan untuk berlama-lama di situ. sambil mengobrol." "Setuju!" kata Pip. "Wah. kelihatannya kita ini makin lama makin pintar!" Setelah bersepeda beberapa waktu. Akhirnya mereka sampai di desa Wilmer Green. Desa itu bagus. Ada telaganya, di mana nampak sekawan bebek berbulu putih sedang berenang. Anak-anak turun dari sepeda, lalu mencari-cari rumah yang bernama 'Ivy Cottage'. Mereka bertanya pada seorang anak kecil. Anak itu menunjukkannya pada mereka. Ternyata letaknya agak ke dalam berbatasan dengan hutan kecil. Anak-anak bersepeda lagi menuju rumah itu. Setelah dekat mereka turun. lalu menuju ke pintu pekarangan. Sebelumnya Larry sudah agak mengempiskan ban roda depan sepedanya. "Biar aku saja yang meminta minum," kata Daisy. Mereka menghampiri pintu depan, yang terbuka sedikit Di dalam terdengar orang sedang bekerja. Daisy mengetuk pintu. "Siapa itu?" sapa seseorang dari dalam. Suara wanita, bernada tajam. "Bolehkah kami minta air sedikit? Kami sangat haus." kata Daisy dengan sopan. "Ambil saja sendiri ke dalam," kata wanita yang ada di dalam rumah. Daisy membuka pintu lebar-lebar. lalu melangkah masuk Dilihatnya seorang wanita tua berwajah lancip sedang menyeterika sehelai kemeja Wanita itu menganggukkan kepala ke arah keran air. "Itu air." katanya. "Cangkir ada di atas rak" Sementara Daisy mengisi cangkir dengan air keran. Larry dan Pip melangkah masuk. "Selamat sore." kata keduanya dengan sopan. 'Terima kasih untuk airnya. Bu. Kami haus sekali, karena sudah jauh sekali naik sepeda," kata Larry. Wanita tua itu memandangnya dengan senang. Larry memang tampan. Dan adatnya sopan sekali- kalau dia mau! "Kalian dan mana?" tanya wanita itu. Sambil meletakkan seterikanya. "Dari Peterswood, Bu," jawab Larry. "Tentunya Anda belum kenal desa itu." "Kebetulan aku tahu," jawab wanita tua itu. "Anakku yang laki-laki dulu bekerja di sana dengan Pak Hick." "Wah - benar-benar kebetulan." kata Daisy sambil minum. "Kemarin dulu kami datang ke kebun Pak Hick, ketika terjadi kebakaran di situ." "Kebakaran?" Kelihatan wanita itu kaget. "Kebakaran apa? Aku sama sekali tidak mendengar kabar mengenainya. Kan bukan rumah Pak Hick?" "Bukan Bu - cuma sebuah pondok dalam kebun. tempat dia bekerja." kata Pip. "Tidak ada yang cedera. Tapi masak anak ibu itu tidak bercerita mengenainya! Atau mungkin ia tidak melihat kejadian itu." "Kapan terjadinya?" tanya ibu Pak Peeks. Ketika diberi tahu oleh Pip, wanita itu berhenti sebentar menyeterika. Ia berpikir-pikir, sekarang aku tahu. kenapa anakku tidak tahu apa-apa." katanya kemudian. "Ia minta berhenti, sehabis bertengkar dengan majikannya. Aku kaget sekali. ketika anakku itu tahu-tahu muncul di sini sore itu." "Kalau begitu. ia tidak sempat melihat kebakaran." kata Pip. "Dalam malam itu ia di rumah terus, Bu?" "Tidak." jawab Bu Peeks yang tua. "Sehabis minum teh ia pergi lagi naik sepeda. Pulang-pulang ketika sudah malam. Aku tidak bertanya, dia pergi ke mana. Aku bukan orang yang selalu ingin tahu! Kurasa ia pergi ke kedai Pig and Whistle, main panahan bersama kawan-kawannya. Horace paling senang main panahan." Anak-anak berpandang-pandangan. Jadi sehabis makan sore Horace menghilang - dan baru kembali ketika sudah gelap. Hmm - mencurigakan! Ke mana dia sebetulnya malam itu? Baginya mudah sekali untuk menyelinap pergi naik sepeda ke Peterswood. bersembunyi dalam parit dekat pagar semak, dan begitu ada kesempatan baik, cepat-cepat menyiramkan bensin ke pondok dan membakarnya. Setelah itu kembali naik sepeda lagi! Takkan ada yang melihat. karena hari sudah gelap. Dalam hati Larry timbul keinginan untuk mengetahui sepatu seperti apa yang dipakai Horace. Ia memandang berkeliling dapur. Di pojok ruangan ada sepasang sepatu yang kelihatan kotor. Rupanya akan dibersihkan. Ukurannya kira-kira sama dengan jejak yang ditemukan. Tapi solnya bukan dari karet. Mungkin saat itu Pak Peeks sedang memakai sepatu yang bersol karet. Anak-anak berharap dalam hati, moga-moga orang itu datang. "Aku harus memompa ban roda depanku." Kata Larry sambil bangkit. "Aku keluar sebentar." Tapi walau ia pergi selama lima menit untuk memberi kesempatan pada Pip dan Daisy untuk mengorek keterangan, tapi rupanya tak ada lagi yang masih bisa diketahui di situ. Akhirnya mereka minta diri pada ibu Pak Peeks, lalu pergi ke luar. "Tidak ada keterangan lain yang bisa dikorek," kata Pip dengan suara lirih. "He - siapa itu? Diakah yang bernama Horace?" Seorang pemuda bertubuh kurus masuk lewat pintu pekarangan. Rambutnya acak-acakan menutupi kening. Dagunya kecil dan miring ke belakang. Sedang matanya yang biru agak melotot seperti mata Pak Goon. Dan ia memakai jas flanel berwarna abu-abu! Ketiga anak itu langsung menyadarinya. Jantung Daisy berdebar keras. Mungkinkah mereka kini menemukan si pelaku? "Apa yang kalian perbuat di sini?" tanya Horace Peeks. "Kami tadi mampir. minta minum." kata Larry. Dalam hati ia berpikir, adakah kemungkinan untuk pergi ke belakang orang itu. untuk melihat apakah jasnya sobek atau tidak. "Dan kemudian ternyata Anda belum lama berselang masih tinggal di desa kami." kata Daisy dengan nada lincah. "Kami tinggal di Peterswood " "Aku memang pernah bekerja di situ," jawab Horace. "Kalian kenal Pak Hick, laki-laki tua pemarah itu? Dulu aku bekerja padanya- Tapi, segala-galanya tidak pernah benar menurut dia! Dasar tua-tua jahat!" "Kami juga tidak begitu suka padanya," kata Pip. "Anda tahu, di tempatnya terjadi kebakaran pada hari Anda pergi dari sana?" "Dari mana kau tahu kapan aku pergi?" tanya pemuda itu dengan heran "Anu - kami tadi bercerita tentang kebakaran itu pada ibu Anda. Lalu katanya. mestinya peristiwa itu terjadi pada hari Anda pergi dari sana karena Anda tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu," kata Pip. "Yah - aku bisa mengatakan, biar tahu rasa Pak Hick sekarang! Aku tak peduli jika bahkan rumahnya terbakar sampai habisi Manusia pelit, jahil. pemarah!" tukas Horace. "Sayang aku tidak melihat kejadian itu " Anak-anak menatapnya. Mereka tidak tahu, apakah pemuda itu berpura-pura saja. "Jadi Anda waktu itu tidak ada di sana?" tanya Daisy dengan gaya sambil lalu. "Bukan urusanmu. di mana aku waktu itu!" kata Horace. Ia berpaling memandang Larry, yang saat itu beringsut-ingsut mengitari pemuda itu. Larry mencari-cari, untuk melihat apakah jas flanel orang itu robek atau tidak. "Mau apa mengendus-endus diriku - kayak anjing!" "Jas Anda kena kotoran." kata Larry menyebutkan alasan yang terpikir olehnya saat itu. "Sebentar - kubersihkan." Ia menarik sapu tangan dari kantong. Tapi dasar nasib sial. bersama sapu tangan tertarik pula sampul surat Lily yang dialamatkan pada pemuda itu. Surat itu terjatuh ke tanah. Ampun. sisinya yang ada alamat, menghadap ke atas. Horace memungut sampul surat itu Matanya terbelalak, ketika melihat namanya tertulis di situ. Ia berpaling pada Larry. "Apa ini?" tanyanya. Dalam hati. Larry menggebuk dirinya sendiri karena bersikap begitu ceroboh. "Ah - itu untuk Anda. katanya "Lily minta tolong pada kami untuk mengeposkan. Tapi karena kami toh akan lewat di sini, kami lantas memutuskan untuk mengantarnya sendiri." Dari gelagat Horace Peeks saat itu nampak bahwa ia hendak mengajukan pertanyaan lagi. Mungkin pertanyaan yang bisa memojokkan anak-anak. Karena itu Larry merasa, sudah waktunya mereka pergi lagi. Didorongnya sepeda ke pintu pagar. "Yah, begitulah! Selamat tinggal," katanya. "Nanti kukatakan pada Lily. Anda sudah menerima suratnya." Ketiga anak itu buru-buru naik ke sadel, lalu pergi. Terdengar suara Horace memanggil-manggil. "He! Tunggu - kemari sebentar!" Tapi mana mau anak-anak kembali. Mereka pergi dengan pikiran kacau. Setelah bersepeda satu setengah kilometer, Larry turun dari sepeda lalu duduk dekat gerbang pekarangan orang. "Yuk - kita berunding sebentar di sini," katanya mengajak Pip dan Daisy. Mereka duduk berjejer. Tampang mereka serius sekali. "Aku tadi benar-benar dungu. Masak surat itu sampai bisa terjatuh begitu." kata Larry. Ia malu terhadap dirinya sendiri. "Tapi mungkin lebih baik begitu. Kan surat itu memang harus diserahkan pada si penerima! Bagaimana pendapat kalian mungkinkah Horace yang membakar pondok?` "Kelihatannya," kata Daisy sambil termenung. "Hari itu ia benci sekali pada Pak Hick. Dan ibunya tidak tahu. di mana dia petang itu. Larry. Kau tadi sempat atau tidak memperhatikan sol sepatunya? Dan jasnya. robek atau tidak?" "Aku tidak sempat memperhatikan sol sepatunya. Dan kulihat sepintas lalu tadi, kelihatannya jas itu tidak sobek sama sekali," kata Larry. 'Tapi pokoknya, dari surat itu ia sekarang tahu bahwa ia dicurigai, dan karenanya pasti akan waspada!" Mereka masih berembuk di situ selama beberapa saat lagi. Akhirnya diputuskan untuk mengesampingkan urusan Horace Peeks untuk sementara, dan mengarahkan perhatian pada Pak Smellie. Tak ada gunanya mengambil keputusan mengenai Horace, selama mereka belum melihat Pak Smellie! Setelah itu ketiganya meneruskan perjalanan. Mereka meluncur menuruni lereng sebuah bukit, lalu menikung memasuki suatu belokan. Tapi tahu-tahu Larry roboh. karena menubruk seseorang! Kedua-duanya jatuh tergelimpang di jalan. Larry cepat-cepat duduk. dan memandang orang yang ditubruknya dengan perasaan menyesal. Tapi detik berikutnya, matanya membundar karena kaget. Ternyata orang itu Pak Ayo Pergi! "Apa?!? Kau lagi?" teriak polisi desa itu dengan nada galak. Larry cepat-cepat berdiri. Sedang Daisy dan Pip turun dari sepeda. agak jauh dari situ. Mereka tertawa-tawa. "Kau mau apa?" seru Pak Goon. Sementara Larry menegakkan sepedanya. bersiap-siap untuk menaikkan lagi. "Saya mau apa? Mau pergi!" balas Larry sambil berseru pula "Anda tidak lihat? Nah - saya pergi!" Setelah itu ketiga anak itu meneruskan perjalanan sambal cekikikan karena geli sendiri. Tapi sempat juga melintas pikiran mungkin Pak Ayo Pergi sedang dalam perjalanan untuk mendatangi Horace Peeks. Tapi kini pemuda itu sudah waspada karena diperingatkan lewat surat oleh Lily. Jadi satu hal sudah pasti. Takkan banyak yang bisa dikorek Pak Goon dari Horace Peeks. XI GELANDANGAN MUNCUL LAGI PUKUL TUJUH malam barulah mereka sampai di rumah. Bets sudah mulai khawatir. Tak lama lagi ia sudah harus tidur. Tak enak rasanya jika ia sudah harus masuk ke rumah. sebelum mendengar kabar yang mungkin dibawa Larry. Daisy dan Pip. Karena itu Bets melonjak kegirangan. Ketika terdengar bunyi bel sepeda berdering-dering. Abangnya mengayuh sepeda cepat-cepat masuk ke pekarangan. seiring dengan Larry dan Daisy. Saat itu Fatty sedang asyik meneliti bekas-bekas memar di tubuhnya. la puas. karena warna memar itu kini sudah berubah lagi. Ungu kemerah-merahan. Memang. rasanya sakit Tapi walau begitu ia bangga. "Ada kabar apa?" seru Bets menyongsong anak-anak yang datang. "Banyak," balas Larry. 'Tapi tunggulah - kami menaruh sepeda dulu." Tak lama kemudian mereka sudah duduk-duduk di pondok peranginan. Mata Fatty terbelalak sampai nyaris copot. ketika mendengar bagaimana Larry dengan tidak sengaja menjatuhkan surat dari kantong, sehingga tergeletak di tanah dekat kaki Horace Peeks "Tapi Pak Ayo Pergi ternyata juga membuntutinya." kata Pip. "Ketika pulang tadi, kami berpapasan dengan dia. Ah - sebetulnya yang terjadi bukan berpapasan lagi!" Pip tertawa sendiri. "Larry tadi menubruknya sampai terpelanting dan sepeda. ketika membelok di sebuah tikungan. Ternyata polisi itu lebih cerdas dari sangkaan kita. la tidak jauh tertinggal di belakang kita!" "Kalau begitu, besok secepat mungkin kitaharus menyelidiki Pak Smellie." kata Fatty. "Kamitadi berhasil menemukan alamatnya." "Bagus." kata Larry. "Alamatnya di mana?" "Dalam buku telepon." jawab Bets. Tiga pasang mata terbelalak menatapnya. "Maksud Bets, kami menemukan alamat itu dalam buku telepon." sela Fatty menjelaskan. "Ya betul - dalam buku telepon." sambung Bets, tanpa menyadari kebingungan yang ditimbulkan olehnya. "Gampang sekali menemukannya. karena di situ cuma ada satu yang bernama Smellie. la tinggal di rumah yang bernama Willow-Dene. di Jeffreys Lane." "He, itu kan di belakang kebun kami," kata Larry dengan heran. "Ya kan. Daisy? Willow-Dene, pekarangannya bertolak belakang dengan sebagi an kebun kami Aku belum pernah tahu siapa yang tinggal di situ. karena selama ini tak pernah nampak orang dalam kebun itu. Kecuali seorang wanita. yang sudah tua." "Pasti itu Bu Miggle, pengurus rumah tangga Pak Smellie." kata Fatty. "Dari mana kau tahu?" tanya Daisy tercengang. "Ya, aku dan Bets hari ini benar-benar mau tahu," kata Fatty sambil nyengir. "Kami menanyakan pada tukang kebun kalian di mana Willow-Dene. Katanya dia tahu tempat itu, karena saudaranya bekerja di situ. Lalu ia bercerita tentang Bu Miggle. yang katanya repot sekali mengurus supaya Pak Smellie tetap rapi, menyuruh dia makan dengan teratur. serta memakai mantel kalau kebetulan hujan. Yah - pokoknya segala urusan kayak begitu." "Kenapa sebetulnya Pak Smellie?" tanya Larry "Orangnya gila, ya?" "Bukan. bukan gila! Dia itu seorang - anu. pokoknya pakai `log' di belakangnya." kata Bets "Kerjanya meneliti surat-surat serta naskah-naskah kuno. Pengetahuannya tentang soal-soal begitu. lebih hebat daripada siapa pun. Soal-soal lain, tidak diperdulikannya! Dia tahunya cuma surat dan naskah kuno. Kata tukang kebun kalian. Pak Smellie menyimpan sejumlah naskah yang sangat berharga." "Kalau tinggalnya begitu dekat dengan kami. mungkin aku bisa mendatanginya besok bersama Larry." kata Daisy. Ia sudah kepingin sekali melanjutkan penyelidikan - atau `mau tahu', menurut istilah Bets. "Rasanya kita sudah mulai ahli dalam soal menyelidik. Pasti hasilnya lebih hebat daripada hasil Pak Ayo Pergi. Setiap tersangka pasti akan langsung curiga kalau didatangi Pak Goon. Jadi lantas berhati-hati kalau bicara. Tapi menghadapi anak-anak, orang biasanya bicara seenaknya saja." Larry mengambil buku catatannya dan balik papan yang terlepas. "Kita perlu menambahkan keterangan yang kita peroleh tadi ke catatan kita," katanya. lalu ia mulai menulis. Pip mengambil kotak korek api dan membukanya. Ia ingin melihat. apakah warna bekas kain flanel yang ada di situ sama dengan warna jas yang dipakai Horace Peeks. Ternyata memang mirip. "Tatapi Larry tidak melihat ada sobekan pada jasnya." kata Pip. "Aku juga sampat memperhatikan celana panjangnya. Sama sekali tidak nampak robek." Anak-anak memperhatikan kain flanel kelabu itu. Kemudian dikembalikan oleh Pip ke dalam kotak korek api. Setelah itu dibentangkannya kertas dengan gambar jajak sepatu yang dibuat Fatty. la nyengir sendiri karena teringat pada ekor, telinga dan tangan yang dibicarakan dengan serius olahnya bersama Larry, yaitu ketika mereka untuk pertama kali melihat gambar itu. "Gambar ini memang bagus." katanya. Fatty langsung cemerlang wajahnya. Tapi kini ia sudah cukup bijak. Ia tidak mengatakan apa-apa. "Bentuk garis silang-menyilang ini akan kucamkan baik-baik." kata Pip lagi. "supaya nanti kalau melihatnya di suatu tempat aku akan langsung mengenalnya kembali." "Aku juga akan mengecam." kata Bets. Matanya melotot. memandang gambar itu. Anak itu merasa yakin. kalau jejak itu dilihatnya di mana pun juga di tempat yang berlumpur. pasti la akan langsung bisa mengenali. "Aku sudah selasai mencatat." kata Larry kemudian "Yah - petunjuk-petunjuk yang ada sampai sekarang, sama sekali belum ada manfaatnya bagi kita. Kita perlu menyelidiki apakah Horace Peeks memakai sepatu bersol karat, atau tidak! Dan kita juga tidak boleh sampai lupa memperhatikan sol sepatu Pak Smellie!" "Tapi mungkin pemiliknya tidak memakai sepatu itu sekarang." kata Fatty. "Mungkin saja di simpan dalam almari, atau di kamar tidur!" "Barangkali saja kita akan bisa mengintip ke dalam almari tempat Pak Smellie menyimpan sepatu-sepatunya." kata Larry. Padahal ia sama sekali tidak tahu. bagaimana cara melaksanakan niatnya itu. "Coba dengar sebentar! Sampai sekarang, ada empat orang tersangka. Yang satu. Bu Minns. Tapi mengingat dia terserang penyakit encok pada malam kebakaran, dan menurut kakaknya tidak bisa beranjak dari kursi tempatnya duduk. maka tidak mungkin dia yang membakar pondok. Tinggal tiga orang tersangka. Yang berikut. si tua gelandangan! Tapi dia tidak memakai sepatu bersol karet begitu pula jas berwarna kelabu. Dan mengingat dia tidak cepat-cepat lari dari daerah sini seperti seharusnya jika dia memang bersalah, maka bisa dibilang mustahil dia yang membakar. Sekarang tinggal dua yang kita curigai." "Kurasa pelakunya Horace Peeks." sela Pip. "Apa sebabnya dia tadi tidak mau mengatakan. Ke mana dia pada malam kebakaran itu? Itu kan sangat mencurigakan!" "Yah - jika Pak Smellie bisa mengatakan di mana dia saat itu. maka tinggal Horace Peeks sendiri," kata Larry. "Kalau benar begitu, maka seluruh perhatian akan kita arahkan pada dirinya. Kita selidiki sepatu macam apa yang dipakai, apakah di dalam rumah ada jas kelabu yang sobek, apa yang dilakukan olehnya pada malam itu -dan macam-macam lagi." "Sesudah itu apa?" tanya Bets. "Kita melaporkan pada polisi?" tanya Bets "Apa katamu?" seru Larry. "Lapor pada Pak Ayo Pergi. supaya dia yang mendapat nama dan pujian. Wah - tidak bisa! Kata sendiri menghadap Inspektur Polisi! Inspektur Polisi Jenks. Dia kepala polisi daerah sini. Ayah kenal baik padanya. Orangnya pintar sekali. Tinggalnya di kota." "Jangan-jangan aku nanti takut padanya." Kata Bets ngeri. "Pada Pak Ayo Pergi saja. aku sudah takut" "Huh! Takut pada Pak Serius yang matanya melotot kayak mata kodok itu?" tukas Fatty. "Kayak Larry dong - meluncur turun gunung dengan sepeda. menikung - dan BAMM. Pak Ayo Pergi jatuh terpelanting!" Anak-anak tertawa geli. Saat itu terdengar bel berdering. Kelima anak itu bubar. Fatty kembali ke hotel. untuk makan malam bersama orang tuanya. Larry dan Daisy mengambil sepeda. lalu pulang ke rumah. Pip masuk untuk makan malam, sedang Bets harus masuk ke tempat tidur. Buster ikut dengan Fatty. Malam itu Fatty cepat sekali masuk ke tempat tidur. Badannya terasa pegal. Dan luka-luka memarnya nyeri sekali. Buster sempat melihat memar-memar itu ketika Fatty berganti pakaian. Tapi anjing itu sama sekali tidak kagum! "Besok gelandangan tua itu datang ke sini untuk mengambil sepalu yang sudah dicarikan ibu untuknya," kata Pip pada Bets. "Saat itu kita akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya." "Pertanyaan apa? "Kita tanyakan secara terang-terangan apakah dia melihat Horace Peeks bersembunyi dalam parit waktu itu," kata Pip. "Kalau dia bilang ya - nah. Itu besar sekali gunanya bagi kita." Anak-anak tak seorang pun yang bisa tidur nyenyak malam itu. Mereka masih terlalu gelisah setelah mengalami berbagai kejadian hari itu. Bets mimpi tentang Pak Ayo Pergi. Tahu-tahu ia berteriak. lalu terbangun! Rupanya ia bermimpi. Pak Goon memasukkannya ke dalam penjara, karena membakar pondok! Fatty tidurnya juga tidak enak Tapi penyebabnya. karena memar-memar di tubuhnya. Bagaimanapun ia berbaring. selalu ada bagian yang sakit tertindih. Sebelum mereka berpisah sorenya. Sudah ditentukan bahwa Pip, Bets dan Fatty akan tinggal di kebun untuk menunggu gelandangan tua. Kalau orang itu datang. Pip harus menanyainya dengan cermat Larry sudah mengatur apa saja yang perlu ditanyakan. "Sepatu untuknya kauletakkan di tempat yang menyolok. supaya dia bisa melihatnya. Biar dia kepingin sekali memilikinya," kata Larry mengajari. "Tapi jangan berikan. sebelum dia menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Tanpa jawaban. Tidak dapat sepatu. Beres?" Jadi keesokan harinya Fatty datang bersama Buster ke rumah Pip dan Bets. Di situ mereka kedatangan laki-laki tua gelandangan itu Ternyata orang itu benar-benar datang. Ia menyelinap masuk lewat pintu pekarangan sebelah belakang, sambil jelalatan memandang berkeliling. Seolah-olah sedang dikejar orang. Ia masih memakai sepatu butut yang menyebabkan ujung-ujung jari kakinya mencuat keluar dan sisi atas. Pip melihatnya, lalu memanggil dengan lirih. "Halo! Kemari, Pak"` Gelandangan itu menoleh ke arah Pip. "Aku kan tidak dijebak?" tanya laki-laki tua itu dengan curiga. "Polisi desa itu kan tidak ada di sini?" "Aduh, tentu saja tidak!" kata Pip tidak sabar. "Kami sendiri juga tidak suka padanya." "Ada sepatu itu?" tanya si tua. Pip mengangguk. Gelandangan itu tersaruk-saruk menghampiri. Lalu diajak Pip masuk ke pondok peranginan. Di situ ada sebuah meja kecil. terbuat dari kayu. Dan di alas meja itu terletak sepasang sepatu. Mata gelandangan tua itu bersinar-sinar. ketika melihatnya. "Sepatu bagus." katanya. "Pasti pas untukku." "Tunggu dulu. kata Pip, ketika dilihatnya gelandangan itu mengulurkan tangan hendak mengambil sepatu. "Tunggu dulu. Pak Mula-mula kami menginginkan jawaban atas beberapa pertanyaan kami." Gelandangan itu menatapnya cemberut. "Aku tidak mau terlibat dalam kesulitan," katanya. 'Tentu saja. kata Pip. "Kami takkan mengatakan bahwa Anda yang bercerita pada kami." "Apa yang ingin kau ketahui?"tanya gelandangan itu. "Pada malam kebakaran itu. Anda melihat orang bersembunyi dalam kebun Pak Hick?" tanya Fatty. "Ya." jawab gelandangan itu. "aku melihat seseorang dalam semak pagar." Bets, Pip dan Fatty tercengang. "Anda sungguh-sungguh melihatnya?" tanya Pip meminta penegasan. "Tentu saja aku melihatnya " jawab gelandangan itu lagi. "Aku melihat banyak orang dalam kebun malam itu. Ya ya!" "Anda waktu itu di mana?" tanya Bets ingin tahu. "Bukan urusanmu," kata gelandangan itu dengan ketus. "Pokoknya. aku tidak berbuat apa-apa." Mungkin sedang mengamat-amati kandang ayam. menunggu kesempatan baik untuk menyambar beberapa butir telur, pikir Pip. Dan dugaan itu memang tepat. Ketiga anak itu menatap si tua. yang membalas tatapan mereka. "Yang bersembunyi dalam semak itu seorang pemuda. yang rambutnya tergerai menutupi kening?" tebak Pip. Yang dimaksudkannya Horace Peeks. "Matanya agak melotot?" "Soal matanya - aku tidak tahu," jawab si tua. "Tapi rambutnya memang tebal. Berjambul sebelah depannya. Ia berbisik-bisik dengan orang lain yang tidak bisa kulihat saat itu." Nah - itu kabar baru! Itu baru kabar. Hm! Horace Peeks bersembunyi dalam semak. bersama satu orang lagi! Jangan-jangan ada dua orang yang terlibat dalam perkara itu. Mungkin Horace Peeks dan Pak Smellie merencanakan perbuatan itu bersama-sama. Anak-anak bingung. "Begini, Pak ...... " Pip hendak menanyakan sesuatu lagi. Tapi si tua tidak mau. "Kemarikan sepatu itu," katanya. sambil mengulurkan tangan. "Aku tidak mau bilang apa-apa lagi! Kalau aku tidak hati-hati. nanti aku sendiri yang kena getahnya. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan apa pun. Tidak - aku tidak mau! Aku ini orang yang jujur sekali." Diambilnya sepatu dari alas meja lalu dipakainya. Tapi ia tidak mau membuka mulut lagi. "Seolah-olah menjadi bisu dengan tiba-tiba."pikir Pip. Bersama Fatty dan Bets. Diperhatikannya gelandangan itu pergi dengan sepatu barunya. Agak kebesaran. Tapi pokoknya tidak menjepit jari kaki lagi "Misteri ini mengadi semakin rumit." kata Fatty. "Kini kelihatannya ada dua orang yang bersembunyi di dalam kebun malam itu. dan bukan Cuma seorang. Yang sudah pasti. seorang di antaranya Horace Peeks. Namun yang satu lagi, siapa? Mungkin Larry dan Daisy membawa kabar lagi sekembali mereka nanti" Selama gelandangan tadi ada dalam pondok peranginan. Buster menggeram-geram terus. Fatty terpaksa memeganginya erat-erat. Karena takut kalau ia menyerang gelandangan itu. Tapi sekarang anjing menggonggong dengan gembira. "Itu Larry dan Daisy." kata Bets. "Bagus! Mungkin mereka membawa kabar lagi." XII PAK SMELLIE - DAN SOL KARET PENGALAMAN Larry dan Daisy asyik sekali pagi itu. Menurut pendapat mereka. lebih baik secepat mungkin berjumpa dengan Pak Smellie dan menanyakan beberapa hal padanya. Lebih cepat. lebih baik - supaya cepat cari akal. bagaimana sebaiknya melakukan tugas itu. "Kali ini kita tidak bisa mampir, untuk minta minum atau sesuatu kayak begitu." kata Daisy. "Aku benar-benar tidak tahu. alasan apa yang bisa kita pakai untuk mendatanginya." Keduanya lantas membisu. Sama-sama memeras otak mencari akal. "Bagaimana jika kita lemparkan bola ke kebun Pak Smellie," kata Larry setelah beberapa saat. "Lantas - apa gunanya?" tanya Daisy bingung. "Masak belum mengerti! Dengan begitu kita punya alasan untuk memanjat tembok, lalu masuk ke kebun untuk mengambil kembali bola itu. Tentu saja dengan harapan. moga-moga Pak Smellie melihat kita lalu bertanya cari apa kita di situ." Kata Larry. "O, begitu," kata Daisy. "Ya, kurasa baik juga akal itu. Kita coba saja." Larry lantas melemparkan bolanya tinggi-tinggi. Melambung ke atas. melampaui pucuk pepohonan lalu jatuh di tengah kebun rumah belakang. Kedua anak itu bergegas lari ke tembok belakang. Dengan cepat mereka memanjatnya, lalu turun lagi di sela semak di sebelah belakang kebun Pak Smellie. Mereka langsung saja berjalan di alas rumput mencari-cari bola yang jatuh di situ. Bola itu sebenarnya sudah mereka lihat di tepi rumpun mawar yang ada di situ. Tapi mereka pura-pura tidak tahu. Keduanya sibuk mencari sambil saling memanggil. Mereka berharap ada orang di rumah mendengar suara mereka, lalu muncul di jendela untuk menengok. Dan harapan mereka terkabul! Belum lama lagi mereka mencari. ketika sebuah jendela terbuka di sisi kanan rumah Seorang laki-laki menjengukkan kepala ke luar. Kepala orang itu sebelah atasnya sudah botak sama sekali. Janggutnya panjang berjela-jela hampir sampai ke pinggang. Ia memakai kaca mata berlensa tebal. yang menyebabkan matanya nampak besar sekali. "Cari apa kalian di situ?" serunya. Larry datang menghampiri. Ia berdiri di bawah jendela. Lalu menjawab dengan sopan. "Maaf, Pak - tapi bola kami tadi jatuh ke sini. Kami ingin mencarinya." Saat itu datang tiupan angin. menghembus rambut Daisy sehingga menutupi mukanya. Janggut laki-laki itu - yang mestinya Pak Smellie - melambai-lambai. Terdengar bunyi keresek kertas-kertas yang terletak di alas meja di sisi laki-laki tua itu. Selembar di antaranya melayang naik. lalu terbang ke luar jendela. Pak Smellie masih berusaha menangkap, tapi sia-sia. Kertas itu terjatuh ke tanah. di bawah jendela. "Saya ambilkan sebentar, Pak." kata Larry. Ialu dipungutnya kertas itu dan dikembalikan pada pak Smellie. "Kertasnya aneh," kata Larry. Kertas itu tebal berwarna kekuning-kuningan, penuh dengan tulisan berbentuk aneh. "Ini kertas yang terbuat dari kulit" kata Pak Smellie, sambil memandang Larry dengan matanya yang cadok "Umurnya sudah tua sekali." Saat itu Larry mendapat ilham. Sebaiknya ia pura-pura menaruh minat pada kertas-kertas antik. "Wah!" katanya dengan nada kagum. "Sudah tua sekali, Pak! Berapa umurnya? Ini benar-benar menarik!" Pak Smellie nampak senang melihat Larry menaruh minat. "Aku punya yang lebih tua lagi dari yang ini," katanya. "Aku paling senang berusaha membacanya! Dengan jalan itu banyak yang bisa diketahui dari sejarah kuno!" "Huii - hebat!" kata Larry. 'Bolehkah saya melihat beberapa di antaranya. Pak?" "Ya - tentu saja. Nak." kata Pak Smellie. Dipandangnya Larry dengan wajah berseri-seri. "Masuk saja dulu! Pintu rumah yang menghadap ke kebun kurasa tidak terkunci." "Adik perempuan saya juga boleh ikut?" tanya Larry lagi. "Dia pasti akan tertarik pula." Wah - anak-anak ini benar-benar luar biasa, pikir Pak Smellie. sambil memperhatikan keduanya masuk lewat pintu kebun. Ketika mereka sedang menggosok-gosokkan sol sepatu ke keset yang ada di situ, tiba-tiba seorang wanita bertubuh kecil mungil muncul dari kamar yang tidak jauh dari situ. Ia menatap kedua anak itu sambil melongo. "Cari apa kalian di sini?" tanyanya sesaat kemudian. "Ini rumah Pak Smellie Dia tidak mengizinkan siapa-siapa masuk ke dalam." "Dia yang baru saja mengundang kami masuk." jawab Larry dengan sopan. "Kami sudah membersihkan sepatu." "Dia mengundang kalian masuk?" kata wanita itu. Dia itu rupanya yang bernama Bu Miggle. pengurus rumah tangga Pak Smellie. Bu Miggle semakin tercengang. "Tapi - tapi selama mi ia tidak pernah mengajak siapa pun juga masuk kemari - kecuali Pak Hick. Tapi sejak mereka bertengkar. Pak Hick tidak pernah lagi datang kemari." "Mungkin Pak Smellie yang datang ke rumah Pak Hick sekarang." kata Larry. Ia masih saja menggosok-gosokkan sepatunya ke keset. Ia mengulur waktu. supaya bisa agak lama berbicara dengan Bu Miggle. "Mana mungkin!" bantah wanita tua itu. "Pak Smellie waktu itu sudah mengatakan padaku. ia takkan mau mendatangi orang yang membentak-bentak dirinya dengan kasar sekali - seperti yang dilakukan oleh Pak Hick! Kasihan. tidak sepantasnya orang setua Pak Smellie dibentak-bentak. Orangnya pelupa sekali dan kadang-kadang agak aneh - tapi dia tidak jahat." "Dia tidak ikut melihat ketika pondok tempat kerja Pak Hick terbakar waktu itu?" tanya Daisy. Bu Miggle menggeleng. "Petang itu ia berjalan-jalan. seperti biasanya," katanya, "sekitar pukul enam sore. Tapi sebelum diketahui ada kebakaran. dia sudah kembali lagi." Kedua anak itu berpandang-pandangan. Jadi ternyata petang itu Pak Smellie pergi meninggalkan rumah! Mungkinkah dia menyelinap dengan sembunyi-sembunyi ke rumah Pak Hick, membakar pondok dengan siraman bensin lalu cepat-cepat kembali lagi ke rumahnya? "Kalian melihat kebakaran itu?" tanya Bu Miggle penuh minat. Anak-anak tidak sempat menjawab, karena saat itu Pak Smellie muncul untuk melihat di mana mereka. Kedua anak itu lantas ikut ke kamar kerja orang tua itu. Kamarnya morat-marit, penuh kertas berserakan. Sepanjang dinding berderet buku-buku, sampai ke langit-langit. "Astaga!" kata Daisy, sambil memandang berkeliling. "Kamar ini_ tidak pernah dirapikan rupanya! Ke mana saja kita melangkah. selalu ada kertas di lantai." "Bu Miggle tidak boleh membereskan kamar ini." kata Pak Smellie. Didorongnya kaca matanya ke pucuk hidung. Tapi tiap kali merosot lagi ke bawah. karena hidung orang tua itu agak pesek. "Nih. kutunjukkan sebentar buku yang sudah sangat kuno Ini - sebetulnya bukan buku. melainkan naskah yang ditulis pada gulungan kertas - pada tahun. nah - nanti dulu - pada tahun eh lupa lagi - nantilah kuperiksa. Sebetulnya aku sudah tahu pasti. tapi si Hick itu selalu membantah. la mengacaukan pikiranku. sampai sekarang aku tak ingat lagi." "Pertengkaran Anda dengan dia dua hari yang lalu rupanya sangat membingungkan Anda, Pak." kata Daisy dengan nada prihatin. Pak Smellie mencopot kaca matanya, digosok-gosok lalu dipasang lagi ke hidung. "Ya," katanya. "ya! Aku paling tidak suka bertengkar. Hick itu sangat cerdas orangnya. tapi selalu marah-marah jika aku tidak sependapat dengan dia. Nah - naskah yang ini ..... " Anak-anak mendengarkan dengan seksama. walau sebenarnya sama sekali tak memahami kuliah Pak Smellie yang panjang lebar. Pak tua itu rupanya lupa bahwa ia berbicara dengan anak- anak. Kata-katanya begitu sulit dimengerti. seolah- olah pengetahuan Larry dan Daisy sebanding dengan dia. Kedua anak itu mulai merasa bosan. Karenanya ketika laki-laki tua itu berpaling untuk mengambil naskah kuno lagi. Larry cepat-cepat berbisik pada adiknya. "Cepat! Periksa apakah dalam lemari yang ada di gang terdapat sepatunya." Daisy bergegas menyelinap ke luar. Ternyata Pak Smellie sama sekali tidak sadar bahwa anak itu tidak ada lagi di depannya. Larry agak menyesal. Mungkin laki-laki tua pikun itu juga takkan menyadari, jika ia sendiri juga pergi! Sementara itu Daisy sudah menemukan lemari yang dimaksudkan oleh Larry. Dibukanya lemari itu. Di situ banyak sekali sepatu yang berbagai jenis, di samping tongkat serta jas beberapa buah. Daisy cepat-cepat memeriksa jejeran sepatu yang ada di situ. Dibaliknya satu per satu. Ukurannya kelihatan kira-kira sama dengan sepatu yang dicari. Tapi tidak ada yang bersol karet. Tapi akhirnya ditemukan juga sepasang. yang solnya terbuat dari karat. Nah - mungkin itu yang mereka cari-cari selama ini! Daisy memperhatikan pola sol itu. Tapi ia tidak ingat lagi. bagaimana pola jejak sepatu yang nampak dalam lumpur. Seperti ini - atau tidak? Diambilnya sepatu itu sebelah. lalu diselipkannya ke balik baju hangatnya. Perutnya kini nampak agak gendut. Tapi tidak ada jalan lain untuk menyembunyikan sepatu itu. Pintu lemari ditutupnya kembali, lalu berpaling hendak ke-- Daisy bertatapan muka dengan Bu Miggle! Wanita tua itu melongo. Ia heran melihat Daisy tiba-tiba muncul dari dalam lemari. "Sedang apa kau di situ?" tanyanya. "Kan bukan sedang main sembunyi-sembunyian?" "Sebetulnya - tidak. Bu." kata Daisy. Ia bingung, harus bilang apa! Bu Miggle menjunjung baki berisi roti manis dan susu. dibawanya masuk ke _kamar kerja. Di situ Pak Smellie masih asyik menguliahi Larry. Kasihan anak itu - matanya terbelalak, tapi untuk menahan rasa mengantuk! Bu Miggle meletakkan baki yang berisi makanan dan minuman ke atas meja. Daisy ikut dekat sekali di belakang wanita tua itu. supaya tidak ketahuan bahwa perutnya menjendol. "Mungkin anak-anak ini mau makan dan minum sedikit dengan Anda, Pak," kata Bu Miggle. Kemudian dia berpaling, memandang Daisy. Ia kaget lagi. "Astaga - itu sapu tangan, yang menjendol di balik bajumu? Aneh, sapu tangan ditaruh di situ!" Larry melirik adiknya. Ia juga tercengang, kenapa ada yang menjendol di balik baju anak itu. "Aku memang suka menyimpan barang-barang di dalam baju," kata Daisy sambil nyengir. Padahal hatinya sudah dag dig duk. Mudah-mudahan saja tidak ada yang ingin melihat apa barang yang disimpannya di situ, doanya dalam hati. Dan syukurlah. doanya terkabul. Sebetulnya Larry sudah hampir menanyakan. Tapi ia cepat-cepat menutup mulutnya kembali, karena menyadari bahwa jendolan itu berbentuk seperti sepatu! Kedua anak itu lantas makan dan minum dengan nikmat Tapi Pak Smellie sama sekali tak menyentuh bagiannya. Bu Miggle yang berdiri di sisinya. berulang kali berusaha menghentikan banjir kata-kata yang mengalir dari majikannya. "Minumlah dulu susu itu. Pak." katanya berulang kali. "Anda tadi pagi belum sarapan." Bu Miggle berpaling. memandang anak-anak. "Sejak peristiwa kebakaran itu, Pak Smellie tidak bisa tenang lagi. Ya kan. Pak?" "Yah - aku kaget sekali mendengar kabar lenyapnya naskah-naskah yang begitu unik dan tak ada duanya. dalam kebakaran itu." kata Pak Smellie. "Nilainya beribu-ribu pound! Memang. aku tahu Pak Hick mengasuransikan pada perusahaan asuransi. sehingga ia pasti menerima ganti rugi. Tapi bukan itu persoalannya! Naskah-naskah itu nilainya luar biasa tingginya!" "Pertengkaran Anda dengan dia paginya. tentang naskah-naskah itu?" tanya Daisy. "Bukan, bukan tentang naskah miliknya. Kami mendengar tentang soal lain! Itu. naskah-naskah yang baru saja kutunjukkan pada kalian tadi Kata Pak Hick yang menulisnya seseorang bernama Ulinus," kata Pak Smellie dengan bersungguh-sungguh, "padahal aku tahu pasti, penulisnya tiga orang yang berlainan. Tapi aku tak berhasil meyakinkan Hick bahwa Ia keliru Tahu-tahu ia mengamuk. dan aku diusirnya. Aku sampai setengah mati ketakutan. Sebagai akibatnya, naskah-naskahku yang kubawa akhirnya ketinggalan di sama." "Kasihan Pak Smellie," kata Daisy. "Lalu Anda tentunya baru keesokan paginya mendengar kobar tentang kebakaran di sana?" "Betul," kata Pak Smellie. "Ketika Anda jalan-jalan petang itu, Anda tidak kebetulan lewat dekat rumah Pak Hick?" tanya Larry. "Coba Anda lewat di sana. tentu bisa melihat nyala api ketika belum terbakar besar." Pak Smellie nampak tercengang. Kaca matanya terjatuh dari hidungnya. Diambilnya benda itu dengan tangan gemetar, lalu dikembalikannya lagi ke tempat semula. Bu Miggle menjamah lengan majikannya. "Tenang, Pak - tenang." bujuk wanita tua itu. "Sekarang minum saja susu itu dulu. Dua hari belakangan ini Anda selalu gelisah. Anda kan mengatakan pada saya. petang itu Anda tak tahu ke mana saja sewaktu berjalan-jalan. Cuma berkeliaran. tanpa tujuan tertentu." "Ya," kata Pak Smellie sambil menjatuhkan diri ke sebuah kursi. "Ya. ya - itu yang kulakukan waktu itu. ya Miggle? Aku cuma berkeliaran tanpa sadar mau ke mana. Aku tidak selalu ingat apa saja yang kulakukan. Ya kan, Miggle?" "Memang betul. Pak." kata Bu Miggle dengan ramah. Ditepuk-tepuknya bahu laki-laki tua itu "Pertengkaran itu. disusul peristiwa kebakaran, menyebabkan perasaan Anda tidak bisa tenang. Tapi jangan khawatir. Pak!" Bu Miggle berpaling. lalu berbicara dengan suara pelan pada Larry dan Daisy "Sebaiknya kalian pergi saja sekarang. Pak Smellie agak gugup saat ini." Kedua anak itu mengangguk serempak lalu menyelinap ke luar. Dengan cepat mereka kembali ke pekarangan rumah mereka sendiri. "Aneh ya?" kata Daisy setelah sampai rumah. "Kenapa Pak Smellie jadi begitu aneh sakapnya, ketika kita bertanya di mana ia berada pada malam kebakaran itu? Mungkinkah dia yang membakar pondok tapi setelah itu lupa lagi? Lalu ketakutan ketika teringat kembali? Atau karena apa?" "Memang. membingungkan." kata Larry. "Soalnya. ia kelihatannya berhati lembut. sehingga tak mungkin melakukan perbuatan yang begitu jahat seperti membakar pondok! Tapi di pihak lain mungkin saja saat itu ia kalap. Apa itu yang ada di balik bajumu, Daisy?" "Sepatu bersol karet dengan pola yang aneh." kata Daisy. sambal mengeluarkan benda itu. "Mungkinkah sama dengan pola jejak yang kita temukan?" "Kelihatannya memang begitu." kata Larry. Semangatnya timbul. "Yuk. kita segera mendatangi kawan-kawan. Kita bandingkan nanti pola sol itu dengan yang nampak dalam gambar Fatty. Yuk - aku sudah tidak sabar lagi" XIII BERBICARA DENGAN LILY LARRY dan Daisy bergegas mendatangi anak-anak yang lain. Sesampai di pondok peranginan. semua menatap sepatu yang ada di tangan Daisy dengan kagum. "Wah. Daisy! Hebat! Kau menemukan sepatu bersol karet, kepunyaan orang yang membakar pondok?" tanya Fatty bersemangat. "Ya, kurasa begitu." kata Daisy bangga. "Tapi aku dan Larry kan pergi mendatangi Pak Smellie, seperti sudah direncanakan kemarin. Nah. ketika laki-laki tua itu sedang berbicara dengan Larry, aku menyelinap pergi. Aku memeriksa lemari dalam gang. di mana disimpan sepatu serta barang-barang lain. Di antara sepatu-sepatu yang ada di situ. kutemukan sepasang yang bersol karat! Aku hampir yakin, pasti pola sol ini sama dengan yang nampak pada jejak sepatu yang kita temukan waktu itu." Anak-anak berkerumun memperhatikan. "Kelihatannya memang inilah sepatu yang kita cari." kata Pip. "Memang ini dia." kata Fatty. "Aku yakin, karena aku yang membuat gambar salinannya." "Ah - kurasa bukan," kata Bets dengan tiba-tiba. "Kotak-kotak di sela garis silang menyilang ini tidak sebesar yang digambar itu. Aku yakin, bukan ini sepatunya!" "Ah - kau ini kayak yang bisa membeda-bedakannya saja." tukas Pip meremehkan. "Kurasa kita sudah berhasil menemukan sepatu yang dicari. Bisa kita buktikan dengan segera. Ambil gambarmu. Fatty!" Fatty masuk ke pondok, lalu mengambil gambarnya dari belakang papan dinding yang terlepas. Anak-anak bergegas membuka lipatan kertas itu. Hati mereka berdebar keras. Begitu gambar terbentang di depan mereka. semua langsung menatap dengan cermat. Setelah itu memperhatikan sol sepatu Pak Smellie. Lama sekali mereka menatapnya. Kemudian terdengar desahan rasa kecewa. 'Ternyata Bets yang benar." kata Fatty. "Kotak-kotak pada pola dalam gambar lebih besar dari yang di sol sepatu ini. Dan aku tahu gambarku persis sekali ukurannya, karena segala-galanya kuukur dengan cermat. Aku paling jago dalam hal-hal kayak begitu. Aku belum pernah ....." 'Tutup mulut!" tukas Larry. Ia selalu jengkel kalau Fatty sudah mulai lagi dengan omong besarnya. "Tapi seperti kaukatakan tadi, Bets ternyata benar. Hebat. Bets!" Bets berseri-seri. Ternyata dia memang mencamkan - atau mengecam, seperti katanya sendiri - gambar itu baik-baik. Tapi walau merasa senang. ia juga ikut kecewa karena ternyata Daisy tidak menemukan sepatu yang mereka cari. "Sulit juga jadi orang yang mau tahu, ya?" kata Bets. "Yang kita ketahui sampai sekarang sedikit sekali gunanya. Atau malah membikin sulit! Pip, ceriterakanlah pada Larry dan Daisy, apa kata gelandangan tua tadi." "O ya - kalian mesti mendengar cerita itu." kata Pip. Ia pun mulai menceritakan pengalaman mereka bertiga dengan gelandangan tadi. "Nah - kan misteri kita sekarang bertambah rumit." katanya kemudian. mengakhiri laporan. "Gelandangan itu memang melihat Peeks bersembunyi dalam semak - tapi ia juga mendengarnya berbisik-bisik di situ. dengan orang lain! Mungkinkah orang itu Pak Smellie? Kau tadi bilang petang itu ia pergi berjalan-jalan. Dan kita tahu, saat itu Peeks juga meninggalkan rumah ibunya. Mungkin mereka berdua yang merencanakan pembakaran pondok itu!" "Mungkin saja." kata Larry sambil berpikir-pikir. "Mestinya mereka saling mengenal - dan mungkin hari itu mereka bertemu untuk membulatkan tekat. membalas dendam pada Pak Hick untuk sikapnya terhadap mereka. Tapi bagaimana cara kita mencari ketegasan mengenainya?" "Mungkin ada baiknya jika Pak Smellie kita datang sekali lagi." usul Daisy. "Bagaimanapun sepatunya ini harus kita kembalikan ke tempat semula. Kita tidak bisa menahannya di sini. He - kalian ada yang melihat Pak Ayo Pergi hari ini?" Ternyata tidak ada. Dan memang juga tidak ada yang kepingin bertemu dengan dia! Setelah itu anak-anak berunding. apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Saat itu segala-galanya terasa sulit dan membingungkan. Walau Bu Minns dan gelandangan tua sudah dicoret dari daftar para tersangka. tapi anak-anak merasa mustahil bisa tahu apakah Peeks atau Pak Smellie yang sebenarnya melakukan pembakaran pondok. Atau mungkin juga kedua-duanya! "Kurasa ada baiknya jika kita mendatangi Lily," kata Fatty tiba-tiba. "Mungkin dia bisa memberi keterangan pada kita. tentang Horace Peeks. Kan dia menulis surat pada pemuda itu. untuk memperingatkannya. Jadi mungkin saja dia lebih banyak tahu dari yang kita sangka!" "Tapi petang itu Lily tidak ada di sana," kata Daisy. "Waktu ia sedang bebas tugas. Dia sendiri yang mengatakannya." "Betul! Tapi kan mungkin ia kemudian kembali, lalu bersembunyi dalam kebun." kata Fatty. "Kelihatannya malam itu seolah-olah separo dari seluruh penghuni desa bersembunyi dalam kebun." kata Larry. "Gelandangan tua ada di situ - dan kita menduga Pak Smellie juga! Kalau Peeks, kita tahu ia memang di situ saat itu - lalu kini kaukatakan. mungkin Lily juga berada di tempat itu!" "Ya. aku tahu. Lucu sekali. kalau dibayangkan bagaimana penuhnya kebun Pak Hick malam itu!" kata Fatty samba! nyengir. "Nah. bagaimana? Tidakkah sebaiknya Lily kita datangi? Aku sama sekali tak menaruh kecurigaan apa-apa padanya! Cuma mungkin ada baiknya kita periksa, barangkali dia bisa menceritakan sesuatu yang berguna bagi kita." "Ya - betul juga." kata Larry menyetujui. Saat itu terdengar dering lonceng. "Sialan! Kau dipanggil makan, Pip. Urusan terpaksa kita undurkan sampai siang nanti. Kita akan beramai-ramai mendatangi Lily. Kita membawa apa-apa lagi untuk kucing serta anak-anaknya. He! Bagaimana dengan sepatu Pak Smellie? Kapan enaknya kita pulangkan?" "Nanti petang." kata Daisy. "Kau saja yang melakukannya. Larry jika hari sudah gelap. Barangkali saja pintu ke kebun masih belum terkunci. sehingga kau bisa menyelinap ke dalam rumah dan mengembalikan sepatu ke tempat semula." 'Baiklah." kata Larry sambil bangkit. "Nanti sehabis makan siang. kita berkumpul lagi. Ngomong-ngomong - bagaimana memar-memarmu. Fatty?" "Baik-baik saja." kata Fatty dengan bangga. "Sebentar kutunjukkan!" "Sekarang tidak ada waktu lagi," kata Larry. "Nanti siang saja kulihat. Nah - sampar nanti!" "Satu di antaranya sudah kuning warnanya," kata Fatty menarik perhatian Tapi percuma, karena Larry dan Daisy sudah pergi. Sedang Pip dan Bets bergegas lari ke rumah. Mereka takut kena marah, jika terlambat datang. Akhirnya Fatty juga pergi bersama Buster. Diharapkannya, mudah-mudahan saja kawan-kawannya nanti siang tidak lupa melihat bekas-bekas jatuhnya. Pukul setengah tiga siang anak-anak berkumpul kembali Dalam perjalanan ke rumah Pip, Daisy mampir sebentar ke tukang ikan dan membeli beberapa ekor untuk si Manis. Ikan-ikan itu baunya anyir sekali. Buster terus-menerus mengganggu Daisy, meminta agar bungkusan ikan dibukakan. Sayang - tidak ada yang bertanya pada Fatty tentang memarnya. Fatty merasa tersinggung karenanya. Ia duduk saja dengan tampang murung. Sementara kawan-kawan sibuk merundingkan cara menanyai Lily. Beberapa saat kemudian. Bets secara kebetulan menoleh. memandang Fatty. Ia agak heran melihat tampang si gemuk itu sedih. "Ada apa. Fatty?" tanya Bets dengan prihatin. "Kau sakit?" "Tidak." jawab Fatty. "Cuma tubuhku agak pegal sedikit." Saat itu Daisy menoleh padanya. Gelaknya langsung tersembur. "Aduh, kasihan si Fatty! Kita tidak mengagumi memar-memarnya, seperti kita janjikan padanya tadi!" Anak-anak semuanya tertawa. "Kau ini, kayak anak kecil saja." kata Larry. "Sudahlah. Gendut - tunjukkanlah bekas-bekas jatuhmu itu. supaya bisa kami kagumi semuanya." "Ah. tak perlu," kata Fatty ketus. "Yuk - kita berangkat saja sekarang. Kalau kita bicara terus di sini, nanti tahu-tahu sudah sore!" "Kita lihat memar-memarnya itu pada saat minum teh nanti." bisik Daisy pada Larry. "Sekarang dia sedang merajuk!" Mereka lantas berangkat, mendatangi Lily. Semua merasa yakin, kali ini mereka pasti takkan ketahuan oleh Pak Hick. Soalnya. belum lama berselang Pip melihat dia lewat naik mobil. "Satu atau dua dari kita nanti harus mengajak Bu Minns mengobrol." kata Larry. "sedang sisanya berusaha mengajak Lily ke kebun, lalu bicara dengan dia di situ. Setelah itu kita lihat saja keadaan." Tetapi ternyata mereka tidak perlu repot-repot mengatur siasat. Bu Minns saat itu sedang pergi. Yang ada di dapur cuma Lily sendiri. Gadis itu nampak senang melihat anak-anak datang bersama Buster. "Manis serta anak-anaknya kutaruh dulu di gang, lalu kututup pintu." katanya. "Setelah itu anjing kalian boleh masuk. Aku senang pada anjing. Siapa namanya? Buster? Hama itu bagus. cocok untuk anjing. Buster! Buster! Mau tu1ang?" Tak lama kemudian Buster sudah sibuk mengunyah-ngunyah tulang, sambil baring di lantai. Manis serta ketiga anaknya sudah diamankan. Lily mengambil sebatang coklat dan sebuah laci, lalu membagi-bagikannya. Anak-anak senang pada gadis itu. Dia kelihatan jauh lebih gembira. apabila tidak ada Bu Minns yang kerjanya mengomeli terus. "Suratmu sudah kami serahkan pada Horace Peeks." kata Larry. "Kami berhasil menjumpainya." "Ya. aku menerima balasannya hari ini," kata Lily. Tiba-tiba wajahnya nampak sedih. "Pak Goon yang jahil itu mendatangi dia, lalu melontarkan kata-kata yang tidak enak padanya. Horace sekarang bingung, tidak tahu harus berbuat apa." "Apakah Pak Goon mendakwa bahwa dia yang membakar pondok?" tanya Daisy. "Betul." kata Lily. "Dan yang beranggapan begitu bukan cuma Pak Goon saja. Padahal itu sama sekali tidak benar." "Dari mana kau tahu?" tanya Fatty "Pokoknya aku tahu." "Tapi waktu itu kau kan tak ada di sini " desak Larry. "Dan karena tak ada di sini kau tentunya mustahil bisa tahu siapa yang membakar atau tidak membakar pondok itu. Siapa tahu, mungkin pelakunya memang Horace." "Kalau aku menceritakan sesuatu, kalian janji ya -jangan cerita pada orang lain," kata Lily dengan tiba-tiba. "Janji? Katakan, 'Demi kehormatanku, aku takkan bercerita pada siapa-siapa!" Kelima anak itu mengulangi kata-katanya dengan bersungguh-sungguh. Barulah Lily kelihatannya lega. "Nah." katanya kemudian. "sekarang akan kuceritakan. apa sebabnya aku tahu bahwa bukan Horace yang membakar pondok itu. Aku tahu, karena aku berjanji bertemu dengan dia pukul lima sore itu. Dan aku terus bersama dia sampai aku kembali kemari pukul sepuluh. yaitu saat aku harus masuk!" Anak-anak cuma bisa melongo saja. Ini benar-benar kabar yang tidak terduga-duga! 'Tapi kenapa tidak kaukatakan saja pada orang-orang?" tanya Larry setelah beberapa saat. "Kalau kaukatakan, pasti takkan ada orang menuduh Horace." Air mata Lily menggenang. "Yah." jawabnya, "ibuku berpendapat aku ini masih terlalu muda untuk menikah. Tapi Horace Peeks cinta padaku. Dan aku juga cinta padanya! Kata ayahku, aku akan dihajarnya habis-habisan jika ketahuan pergi bersama Horace. Lalu Bu Minns. dia mengancam akan melaporkan pada ayahku, jika ia melihat aku berbicara dengan Horace. Karena itulah aku tidak berani nonton film dengan dia. Bahkan bicara di dalam rumah pun tidak berani!" "Kasihan." kata Daisy. "Jadi ketika kaudengar orang-orang bicara menuduhnya kau lantas merasa gelisah dan menulis surat untuk memperingatkan?" "Betul." jawab Lily. "Karena itulah. jika kukatakan bahwa malam itu aku ada bersama dia, maka aku akan dihukum ayahku. Dan mungkin pula Bu Minns akan mengusirku, sehingga aku akan kehilangan pekerjaan. Sedang Horace tidak bisa mengatakan bahwa saat itu dia sedang berkencan dengan aku. karena dia tahu itu akan membahayakan diriku. "Ke mana kalian waktu itu?" tanya Fatty. "Aku menyongsongnya naik sepeda ke Wilmer Green." kata Lily. "Di sana kami bertemu di rumah kakaknya. Kami minum teh dan makan malam bersama-sama. Kami menceritakan pada kakaknya itu. bahwa Horace hari itu diberhentikan dari pekerjaannya. Lalu kakaknya mengatakan. suaminya akan memberinya pekerjaan untuk sementara. sampai ia menemukan pekerjaan lain." Fatty menatap Lily dengan tajam. Betulkah ceritanya itu? Fatty teringat pada cerita gelandangan tua. yang mengatakan bahwa ia melihat Horace Peaks di kebun Pak Hick malam itu. "Kau tahu pasti Horace sama sekali tidak datang ke sini malam itu?" tanya Fatty. Anak-anak yang lain mengerti apa sebabnya pertanyaan itu diajukan. Mereka juga masih ingat cerita gelandangan tua. "Tidak! Tidak!" seru Lily. Karena takutnya. suaranya melengking tinggi. Tangannya meremas- remas sapu tangan. sementara matanya menatap anak-anak tanpa berkedip. "Horace sama sekali tak ada di dekat-dekat sini. Percayalah. kami berjumpa di rumah kakaknya. Tanya saja pada kakaknya itu. Pasti dia akan bilang betul." Larry merasa yakin bahwa Lily sedang ketakutan. serta tidak menceritakan keadaan sebenarnya Larry memutuskan untuk bersikap terang-terangan. "Lily." katanya bersungguh-sungguh. "ada orang melihat Horace dalam kebun malam itu." Lily menatap Larry dengan mata terbelalak ketakutan. "Tidak!" serunya. Tidak mungkin ada yang bisa melihat dia! Mustahil!" "Tapi kenyataannya ada." kata Larry lirih. Lily masih menatapnya sambil membisu sesaat. Kemudian gadis malang itu menangis. "Siapa orang itu?" katanya tersedu-sedu. "Bu Minns serta kakaknya saat itu berada di dalam dapur. Pak Hick sedang pergi naik mobil dengan supir. Tak ada orang lain dr sekitar sini waktu itu. Aku tahu pasti!" "Bagaimana kau bisa tahu. jika kau tidak ada di sini?" tanya Larry. "Yah." jawab Lily sambil menelan tangis. ' Yah - kukatakan saja sebenarnya. Aku ada di sini! Jangan lupa. kalian tadi sudah berjanji tidak akan mengatakan pada siapa-siapa! Inilah yang sebenarnya terjadi waktu itu. Aku mula-mula pergi naik sepeda untuk menemui Horace. Ketika berjumpa, ia mengatakan bahwa barang-barangnya masih ada ketinggalan di sini. Ia ingin mengambilnya. tapi tidak berani memintanya pada Pak Hick. Lalu kukatakan padanya. 'Horace,' kataku. 'Pak Hick saat ini sedang pergi! Kenapa tidak ikut saja ke sana untuk mengambil barang-barang itu. sebelum Pak Hick kembali?" Anak-anak mendengarkan sambil menahan napas. Nah - kini mereka akan mengetahui kejadian sebenarnya! Sedang Lily melanjutkan ceritanya. sambil memutar-mutar sapu tangan. "Jadi setelah minum teh, kami lantas berangkat kemari. Sepeda kami tinggalkan di belakang pagar semak di sebelah sana. Tak ada orang melihat kami. Kami menyusur jalan di balik pagar. sampai di kebun Pak Hick. Di situ kami bersembunyi dalam semak. Kami menunggu sebentar di situ, untuk meyakinkan bahwa tak ada orang lain di sekitar tempat itu." Anak-anak mengangguk. Gelandangan tua itu mengatakan, ia mendengar suara Peeks berbisik-bisik dengan orang lain. Ternyata orang itu Lily. "Dengan segera kuketahui bahwa Bu Minns sedang mengobrol dengan kakaknya yang datang bertamu." sambung Lily. "Dan aku tahu, kalau keduanya mengobrol, bisa sampai berjam-jam. Kukatakan pada Horace. aku bisa mengambilkan barang-barangnya jika ia mau. Tapi ia ingin mengambilnya sendiri. Jadi aku berjaga-jaga di luar. sementara Horace menyelinap masuk ke rumah lewat sebuah jendela yang kebetulan terbuka Diambilnya barang-barang miliknya, lalu ia keluar lagi. Kami lantas pergi naik sepeda, tanpa terlihat orang lain." "Jadi Horace tidak menyelinap pergi ke pondok tempat kerja Pak Hick?" tanya Larry. Lily memandangnya dengan sikap tersinggung. "Sama sekali tidak!" tukas gadis itu. "Pertama-tama kalau ia berbuat begitu pasti kelihatan olehku. Lalu perginya tak lebih dari tiga menit. Dan yang paling penting. Horace-ku takkan mau berbuat begitu!" "Yah - kalau begitu Horace harus dicoret," kata Larry mengucapkan pikiran anak-anak yang lain. "Tidak mungkin dia yang melakukan! Aku merasa senang, kau menceritakan segala hal ini pada kami. Lily. Tapi - kalau begitu siapa pelakunya?" "Tinggal Pak Smellie," kata Bets tanpa berpikir panjang. Dan kata-katanya itu menimbulkan akibat yang tidak disangka-sangka. Lily terpekik, lalu menatap Bets dengan kaget. Bibirnya komat-kamit. Tapi tak ada suara yang keluar. "Ada apa?" tanya Larry heran. "Kenapa dia bilang begitu?" tanya Lily dengan suara nyaris berbisik. "Dari mana dia tahu Pak Smellie ada di sini malam itu?" Sekarang giliran anak-anak yang menatapnya dengan tercengang. "Yah - kami tidak tahu pasti," jawab Larry kemudian. "Kami cuma menduga-duga saja. Tapi apa sebabnya kau tercengang. Lily? Kau tahu apa mengenalnya? Kau kan tidak melihat Pak Smellie di situ? Katamu. tak ada yang melihat dirimu bersama Horace." "Betul " kata Lily. "Tapi Horace melihat seseorang! Ketika ia masuk lewat jendela lalu naik ke tingkat atas untuk mengambil barang-barang miliknya, saat itu dilihatnya seseorang menyelinap masuk lewat pintu kebun. Dan orang itu Pak Smellie!" "Astaga!" kata Larry dan Pip serempak. Anak-anak saling berpandang-pandangan "Jadi ternyata Pak Smellie toh datang ke sini malam itu." kata Larry. "Pantas ia begitu gugup. ketika aku bertanya padanya apakah ia ada di dekat tempat Pak Hick pada malam kebakaran itu." kata Daisy. "Dialah pelakunya!" kata Bets dengan girang. "Sekarang kita tahu pasti. Dialah pelakunya. Orang tua jahat!" "Menurut pendapatmu, diakah yang membakar pondok?" tanya Fatty pada Lily. Gadis itu nampak kaget dan bingung. "Entah - aku tidak tahu," jawab Lily. "Menurut pendapatku, Pak Smellie itu seorang tua yang baik hati dan pendiam. Dia selalu ramah terhadapku. Tidak bisa kubayangkan. ia melakukan kejahatan kayak begitu - membakar pondok orang! Tapi satu hal kuketahui dengan pasti - bukan Horace yang melakukannya!" "Tidak - kelihatannya memang tidak mungkin Horace," kata Larry sependapat. "Sekarang aku mengerti. apa sebabnya selama ini kau tidak mau mengatakan apa-apa. Lily. Rupanya kau takut! Yah, kami takkan menceritakan hal ini pada siapa-siapa. Tapi kelihatannya sekarang kita harus lebih memusatkan perhatian pada Pak Smellie!" "Itu sudah jelas!" sambut Fatty. XIV LAGI-LAGI PAK AYO PERGI SELAMA beberapa saat anak-anak masih berbicara terus dengan Lily. Tapi menjelang saat minum teh, mereka harus pergi. Gadis itu kelihatannya merasa lega. karena bisa mencurahkan isi hatinya pada orang lain. Ia mengantar mereka pergi. sementara mereka sekah lagi mengulangi janji tidak akan membuka rahasia. "Nah! Sekarang mulai lancar!" kata Pip puas, samba! menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Benar-benar lancar! Kurasa Horace Peeks sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara ini. Sama sekali tidak! Kurasa Pak Smellie-lah pelakunya. Ingat saja. bagaimana dia ketakutan ketika kau dan Daisy menanyakan padanya, ke mana dia waktu jalan-jalan petang itu. Kenapa ia harus takut. jika tidak berbuat salah?" "Dan kita juga tahu ukuran sepatunya cocok, walau pola solnya agak berlainan dengan yang ada di gambar." kata Daisy. "Mungkin sepatunya yang cocok disembunyikannya. karena khawatir waktu itu ia meninggalkan jejak." tebak Fatty. "Mungkin saja itu terpikir olehnya." "Ya, mungkin juga," sambut Larry. "Coba kita busa menemukan setelan flanel kelabu yang sobek - persoalan ini akan beres!" "Kita harus berusaha mencari sepatu itu." kata Daisy. "Kurasa mungkin disimpan di suatu tempat dalam kamar kerjanya. Dia kan bilang. Bu Miggle tidak diizinkannya membereskan tempat itu. Jadi bisa saja sepatu itu diselipkannya ke dalam lemari, atau di balik deretan buku di rak -- atau di tempat lain!" "Betul katamu itu, Daisy,' kata Larry dengan gembira. "Bagaimana jika aku malam ini menyelinap ke sana untuk mencari?" "Bolehkah sebenarnya kita memasuki rumah orang lain, untuk mencari sepatu yang merupakan miliknya?" tanya Pip agak sangsi. "Yah - kita kan tidak bisa minta izin terlebih dulu," kata Larry. "Jadi terpaksa dengan jalan menyelinap. Tapi kita tidak berbuat jahat, untuk tujuan penyelidikan." "Ya, aku tahu! Tapi orang dewasa suka aneh," kata Pip lagi. "Aku yakin. kebanyakan dari mereka tidak senang apabila ada anak-anak berkeliaran dalam rumah, mencari-cari sepatu." "Aku tidak melihat jalan lain," kata Larry. "Sungguh! Lagi pula. kita kan harus mengembalikan sepatu yang diambil Daisy!" "Ya, betul juga." kata Pip sependapat. "Itu memang perlu dilakukan. Pokoknya, asal jangan sampai ketahuan!" "Pasti tidak." kata Larry. "Ssst - itu ibumu datang, Pip. Cepat - bicara tentang soal lain!" Ibu Pip bertanya pada Fatty. bagaimana keadaannya setelah kecelakaan terjatuh dari tumpukan jerami. Fatty berseri-seri mendengar pertanyaan itu. Habis, teman-teman sudah lupa lagi untuk menanyakan keadaan dirinya. "Baik-baik saja, Bu - terima kasih." jawabnya, "tapi memar bekas jatuh itu benar-benar luar biasa! Ada satu, bentuknya kayak kepala anjing. Mirip kepala Buster!" "O ya?" kata ibu Pip heran. "Coba kulihat!" Selama lima menit berikutnya Fatty benar-benar asyik. Ia sibuk memamerkan memar-memarnya satu demi satu. Terutama yang bentuknya seperti kepala anjing! Sebetulnya sukar sekali mengenali bentuk itu. apalagi untuk dikatakan mirip kepala anjing! Tapi ibu Pip kelihatannya sangat tertarik Anak-anak yang lain merengut. Aduh - orang dewasa kadang-kadang memang mengesalkan! Mereka sudah susah-susah berusaha untuk menghilangkan kebiasaan Fatty untuk membangga-banggakan diri - nah. sekarang karena sikap ibu Pip, tingkah si gendut ini menjadi semakin nekat. Dalam waktu beberapa menit saja, Fatty sudah bercerita tentang segala bentuk memar yang pernh dialaminya. Yang bentuknya kayak lonceng, dan tentu tidak ketinggalan yang berbentuk ular. "Aku memang paling gampang luka memar," kata Fatty. "Besok, jika warna-warnanya sudah menguning - wah, hebat!" "Yuk." bisik Larry pada Pip. "aku sudah tidak kuat lagi! Fatty sudah tidak bisa direm lagi ocehannya!" Keempat anak itu menyelinap pergi, meninggalkan Fatty yang sedang asyik bercerita pada ibu Pip. "Kita melancong dengan sepeda yuk! Biar si gendut ngoceh sendiri." kata Pip jengkel- "Kalau dia sudah begitu. aku tak tahan berada di dekatnya." Keempat anak itu melancong naik sepeda. Fatty kaget dan tersinggung ketika menyadari dia ditinggal sendiri dalam kebun. ketika ibu Pip sudah masuk lagi ke rumah. Ia tidak mengerti apa sebabnya anak-anak yang lain pergi. Selama satu jam ia termenung-menung sendiri, memikirkan jahatnya kawan-kawannya itu Dan begitu mereka muncul lagi, ia langsung menyambut dengan omelan. "Kalian jahat! Kenapa pergi diam-diam? Masak begitu Pip. kalau ada teman yang datang? Kau jahat!" "Yah. menurut taksiran kami tadi. kau pasti memerlukan waktu satu jam untuk membangga- banggakan diri pada ibu Pip." kata Larry. "Sudahlah. jangan cemberut terus. Fatty. Itulah - lain kali jangan suka konyol!" "Huh - pergi diam-diam. mengadakan penyelidikan tanpa mengajak aku." kata Fatty yang masih marah. "Aku ini bukan anggota Mau Tahu. ya? Apa yang kalian lakukan tadi? Mendatangi Horace Peeks? Atau Lily? Kalian jahat!" "Kami tidak mendatangi siapa-siapa," jawab Bets. Anak itu mulai merasa kasihan pada Fatty. Ia sendiri juga sering tidak diajak. karena umurnya dianggap masih terlalu muda. Karena itu ia tahu tidak enaknya perasaan kalau ditinggal. "Kami cuma jalan-jalan saja - naik sepeda " Tapi Fatty tetap tidak mau dibujuk. Sekali ini rupanya ia benar-benar tersinggung dan sakit hati "Aku tidak mau lagi jadi anggota Pasukan Mau Tahu," tukasnya. "Kemarikan gambarku, aku mau pergi! Aku tahu, kalian tidak mau aku bergabung. Yuk, Buster." Sebenarnya tak ada yang menginginkan Fatty keluar dari perkumpulan mereka. Anak itu lumayan, jika sudah dikenal lebih baik. Daisy bergegas menyusulnya. "Janganlah begitu, konyol," katanya. "Siapa bilang kami tidak mau berteman denganmu. Kita perlu merundingkan tindakan malam ini, mengenai sepatu Pak Smellie. Kita perlu mengetahui pendapatmu pula tentang hal itu. Aku hendak ikut ke rumah Pak Smellie dan berjaga-jaga di luar, sementara Larry mencari sepatu yang menurut perasaan kita disembunyikan oleh Pak Smellie. Tapi Larry tidak mengizinkan aku ikut." Fatty berbalik menghampiri kawan-kawannya lagi. Tapi dari tampangnya nampak bahwa ia masih agak merajuk. "Aku boleh ikut ya, Larry - ke rumah Pak Smellie." pinta Daisy. "Bagaimana pendapatmu Fatty? Tidakkah sebaiknya aku ikut. supaya bisa mengawasi di luar?" "Tidak, aku tidak setuju." kata Fatty. "Menurut pendapatku, yang ikut dengan Larry harus anak laki-laki. Aku saja yang ikut. Larry. Kau yang mencari. sementara aku menjaga jangan sampai kau ketahuan." "Tidak! Aku yang ikut," bantah Pip dengan segera. "Kau pasti tidak bisa menyelinap pergi tanpa ketahuan." kata Larry. "Tapi kalau Fatty, dia bisa! Orang tuanya kelihatannya tidak begitu peduli. Baiklah. Fatty. Kau yang membantuku nanti. Kurasa lebih baik kita tunggu sampai sudah setengah sepuluh. lalu kita ke sana untuk melihat apakah Pak Smellie masih ada dalam kamar kerjanya. Sebelum dia tidur. percuma saja kita masuk. Dan mungkin dia tergolong orang yang kalau sudah sibuk. bisa bertahan sampai pukul tiga pagi. Kita lihat saja nanti!" "Yah, kalau begitu aku akan datang sekitar setengah sepuluh." kata Fatty. "Mana sepatunya? Dalam pondok peranginan? Biar aku saja yang membawa. karena nanti ibumu bertanya dari mana kau peroleh sepatu itu. Kalau aku yang membawa kan tidak kelihatan orang - karena hari sudah gelap." Fatty sudah gembira lagi. ketika tahu bahwa ia bisa ikut dalam sesuatu yang benar-benar mengasyikkan. Seketika itu juga ia sudah lupa lagi bahwa ia sebenarnya sakit hati. karena sibuk membicarakan di mana harus bertemu dengan Larry. "Aku nanti memanjat tembok pagar di ujung kebun rumahku," kata Larry. "Sedang kau. Fatty, sebaiknya masuk lewat depan rumah Pak Smellie, terus ke belakang. Jumpai aku di sana. Mengerti?" "Beres." jawab Fatty. "Nanti aku akan bersembunyi kayak burung hantu untuk memberi tanda bahwa aku sudah datang." "Kau bisa menirukan bunyi burung hantu?" Bets tercengang. "Ya - dengar saja," kata Fatty. Kedua tangannya ditelungkupkan membentuk bundaran, sementara kedua jempolnya disejajarkan. Lalu ia meniup dengan pelan ke celah yang terdapat disela kedua jempol. Seketika itu juga terdengar suara burung hantu. pelan dan sendu. Bagus sekali kedengarannya! "Wah, kau pintar sekali, Fatty!" kata Bets kagum. Fatty meniup sekali lagi. Dan bunyi burung hantu berkumandang kembali dalam kebun. Kedengarannya sangat mirip. "Benar-benar hebat!" puji Bets. Fatty membuka mulut, hendak mengatakan bahwa ia masih bisa menirukan bunyi binatang-binatang lain yang lebih hebat lagi dari yang itu. Tapi dilihatnya Larry menatap dirinya. Ia pun cepat-cepat menutup mulut kembali. "Jadi soal itu beres." kata Larry. "Kita nanti berjumpa pukul setengah sepuluh di belakang rumah Pak Smellie. Begitu kau datang. tirukan suara burung hantu supaya aku tahu kau sudah ada. Mungkin aku akan bersembunyi dalam semak, menunggu kedatanganmu." Malam itu anak-anak masuk ke tempat tidur dengan perasaan gelisah. Bahkan Larry pun masuk ke tempat tidur. Hanya Fatty saja yang tidak. Ibu Larry biasa datang untuk mengucapkan selamat tidur. sedang Ibu Fatty tidak. Jadi Fatty merasa aman. Ia duduk dalam kamar tidurnya, masih berpakaian seperti siangnya. Ia membaca buku, untuk melawatkan waktu. Pukul sembilan lewat sepuluh menit. ia memadamkan lampu kamar lalu menjengukkan kepala dengan hati-hati ke luar. Di gang tidak ada siapa-siapa. Dengan cepat Fatty menyelinap ke luar. lalu menuruni tangga. Tak sampai setengah menit kemudian ia sudah berada di jalan raya. Fatty berlari, dengan sepatu Pak Smellie terselip di balik jas. Beberapa saat sebelum pukul setengah sepuluh. ia sudah tiba di depan rumah Pak Smellie. Fatty berhenti sebentar di luar pintu pagar. Rumah itu sudah gelap. Fatty mondar-mandir sebentar. untuk meyakinkan bahwa tak ada yang melihatnya. Ia tidak melihat orang yang berdiri diam-diam dekat salah satu pohon besar yang berderet-deret di pinggir jalan. Fatty kembali ke depan rumah. Ia sudah membulatkan tekat untuk masuk saat itu Tapi tiba-tiba pundaknya dipegang tangan yang kekar. Kasihan si Fatty! Ia terkejut setengah mau. "Huuuu!" pekiknya ketakutan. Sepatu Pak Smellie yang terselip di balik jas. terjatuh ke jalan! "Nah!" Eh - suara itu kan kukenal, pikir Fatty. "Nah!" Cahaya senter disorotkan ke muka anak itu, disusul suara yang sekali lagi mengatakan, "Nah!" Kali ini dengan lebih nyaring. Itu suara Pak Ayo Pergi. Dialah yang tadi berdiri dekat pohon. Polisi desa itu heran ketika melihat seseorang datang. lalu mondar-mandir di depan rumah Pak Smellie. Kini ia bertambah heran. ketika ternyata orang itu salah seorang anak yang sudah sering diusir olehnya. Pak Goon membungkuk memungut sepatu yang terjatuh. Dipandangnya benda itu dengan heran. "Apa ini?" tanyanya. "Kelihatannya sepatu." kata Fatty. "Lepaskan aku! Anda tak berhak mencengkeram bahuku kayak begitu." "Kau mau apa dengan sepatu ini?" tanya Pak Goon. dengan nada masih tetap heran. "Mana yang sebelah lagi?" "Entah - aku tidak tahu." kata Fatty tanpa berbohong. Polisi desa itu mengguncang-guncangkan pundaknya. "Jangan kurang ajar ya!" bentaknya. Ia memutar sepatu yang ditangannya. Begitu melihat sol karat, pada dirinya langsung umbul pikiran sama seperti yang dialami Daisy ketika melihatnya untuk pertama kali. Pola sol itu sama dengan pola jajak sepatu yang dr luar kebun Pak Hick! Pak Goon menatap sepatu itu sambil melongo. Kemudian disorotkannya senter ke muka Fatty lagi. "Di mana kau menemukannya?" tanya Pak Goon. "Ini sepatu siapa?" "Orang lain yang menemukannya. lalu diserahkan padaku," jawab Fatty dengan sikap kaku. "Kalau begitu kutahan untuk sementara." kata Pak Goon. "Dan kau - ikut aku sebentar." Wah! ltu sama sekali bertentangan dengan niat Fatty. Tiba-tiba ia merenggutkan pundak. sehingga terlepas dari cengkeraman polisi desa Lalu ia lari secepat-cepatnya. Terus- sampai ujung jalan. Lalu membelok dan memasuki jalan di mana rumah Larry terletak Fatty langsung masuk ke pekarangan, menuju ke kebun belakang. Sesampai di situ ia memanjat tembok. lalu menjatuhkan diri ke seberangnya. Setelah itu ia menyelinap ke belakang rumah. Sesaat kemudian terdengar suara burung hantu. XV FATTY DAN LARRY KAGET DETIK berikutnya sekali lagi Fatty kaget setengah mati! Soalnya. tiba-tiba lengannya dipegang orang. Saat itu ia menunggu-nunggu balasan dari salah satu tempat berupa siulan. atau mungkin tiruan suara burung hantu. Ia sama sekali tak mengira Larry berada di balik semak tempatnya saat itu berada. "Haduhh!" ucap Fatty. "Ssst!" desis Larry. "Kaubawa sepatu itu?" "Tidak."' jawab Fatty, lalu cepat-cepat menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Sementara itu Larry mendengarkan dengan kecewa. "Kau ini goblok!" tukasnya setelah Fatty selesai menjelaskan. "Masak salah satu tanda petunjuk terbaik diberikan begitu saja pada Pak Ayo Pergi! Pasti kini dia tahu. kita melacak jejak yang sama seperti dia!" "Sepatu itu kan bukan petunjuk," bantah Fatty. "Memang petunjuk. tapi petunjuk keliru! Lagi pula aku tadi memang benar-benar tidak mungkin bisa mencegah Pak Ayo Pergi mengambilnya. Aku sendiri nyaris terperangkap. Untung bisa melepaskan diri, lalu lari!" "Sekarang bagaimana?" tanya Larry. "Kita masuk ke rumah, dan mencari sepatu yang benar? Lampu dalam kamar kerja tidak menyala. Rupanya Pak Smellie sudah tidur." "Ya, baiklah," kata Fatty. "Pintu ke kebun ada di sebelah mana?" Keduanya lantas ke situ. Mereka sangat girang. ketika ternyata pintu itu masih belum terkunci. Lampu di dapur menyala. Jadi Bu Miggle masih bangun. pikir keduanya. Lebih baik mereka hati-hati saja! Larry dan Fatty menyelinap masuk. Larry berjalan mendului. menuju kamar kerja di mana hari ini ia dan Daisy mengobrol dengan Pak Smellie. "Sebaiknya kau menjaga dalam gang," katanya pada Fatty. "Jadi kalau Bu Miggle atau Pak Smellie muncul. kau bisa segera memberi tahu padaku. Salah satu jendela kamar kerja akan kubuka, apabila aku bisa melakukannya tanpa ribut. Dengan begitu jika tahu-tahu ada orang masuk, aku bisa menyelinap ke luar lewat jendela." Larry masuk ke kamar kerja. Ia membawa senter. Disorotinya kamar yang acak-acakan Itu. Di mana-mana nampak kertas berserakan. Kertas dan buku-buku di meja. kertas dan buku di lantai dan di atas kursi-kursi. Buku-buku memenuhi rak yang berjejer di dinding. Bahkan sampai di atas tempat pediangan pun ada buku-buku. Nampak jelas. Pak Smellie itu seorang ilmuwan. Larry mulai mencari-cari sepatu yang mungkin ada di situ. Tapi walau sudah dilihat ke mana-mana. toh tidak ada. Di belakang buku-buku di atas rak - tidak ada. Di bawah tumpukan kertas-kertas, juga tidak ada. Sementara itu Fatty berdiri menjaga dalam gang. Ia melihat lemari di mana Daisy siangnya menemukan sepatu yang tadi. Fatty mendapat akal Ada baiknya kuperiksa ke situ. pikirnya. Mungkin saja pemeriksaan Daisy tadi kurang teliti, dan tidak melihat sepatu yang sebenarnya ada di situ. Dan Fatty tidak kepalang tanggung - ia langsung masuk k dalam lemari! Begitu sibuknya ia saat itu. membolak-balik sepatu yang ada di situ. sehingga tidak mendengar seseorang masuk. lalu mengunci pintu depan! Ia sama sekali tidak sempat memberi tahu Larry, supaya kawan itu bisa lari. Ia baru mendengar Pak Smellie, ketika laki-laki tua itu sudah masuk ke kamar kerja dan menyalakan lampu! Saat itu segala-galanya sudah terlambat Tentu saja! Larry tertangkap basah. karena kepalanya dijulurkan masuk ke dalam sebuah lemari. Ia sama sekali tidak menduga ada orang di kamar sampai saat lampu dinyalakan! Larry kaget. lalu cepat-cepat menarik kepala keluar dari lemari. Ia bertatapan mata dengan Pak Smellie. Larry sambil ketakutan. sedang Pak Smellie marah bercampur kaget. "Perampok!" tukas Pak Smellie. "Pencuri! Anak jahat! Kupanggil polisi sekarang!" Larry diterpanya dan dipegangnya kuat-kuat. Walau Pak Smellie sudah tua. tapi ternyata tenaganya masih cukup besar. Larry diguncang-guncangnya sampai napas anak itu tersengal-sengal. "Tunggu. Pak - nanti dulu .... Tapi Pak Smellie tidak mau sabar lagi. Baginya naskah-naskah miliknya yang paling berharga. Dan melihat ada orang mengacak-acaknya, ia menjadi begitu marah sehingga tidak bisa diajak bicara lagi. Sambil mengguncang-guncangkan Larry dan melontarkan berbagal ancaman seru, didorongnya anak itu masuk ke gang. Sedang Fatty yang gagal melakukan tugas sebagai penjaga. menggigil ketakutan dalam lemari ia tidak berani keluar. "Anak jahat!".Didengarnya Pak Smellie membentak-bentak. ketika orang tua itu mendorong Larry dan menyuruhnya naik ke tingkat atas. Larry tidak henti-hentinya mengatakan tidak berbuat jahat. Tapi Pak Smellie tidak mau peduli. "Kupanggil polisi sekarang," tukasnya. "supaya kau digiring mereka!" Fatty gemetar. Ketahuan saja sudah gawat! Apalagi membayangkan Larry mungkin akan diserahkan pada Pak Ayo Pergi yang jahil itu. Didengarnya Pak Smellie menggiring Larry masuk ke sebuah kamar di tingkat atas, lalu mengurungnya di situ. Sementara itu Bu Miggle yang mendengar keributan secara tiba-tiba itu. Bergegas masuk ke gang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa?" seru Pak Smellie menjawab pertanyaannya. "Ada perampok! Pencuri! Aku baru saja pulang, dan ketika aku masuk ke kamar kerja, kulihat perampok hendak mencuri kertas-kertasku!" Bu Miggle tercengang, Dikiranya pasti ada dua sampai tiga perampok di situ. "Mana perampok-perampoknya?" tanya Bu Miggle. "Kukurung dalam gudang di tingkat atas, "jawab Pak Smellie. Bu Miggle semakin terbelalak matanya Ditatapnya Pak Smellie sambil melongo. Tidak bisa dibayangkan laki-laki tua itu sanggup menggiring beberapa perampok ke atas dan mengurung mereka dalam gudang. Tapi kemudian dilihatnya Pak Smellie gemetar karena kaget dan marah. "Anda duduk saja dulu." bujuk Bu Miggle. "Tenangkan diri dulu, sebelum menelepon polisi. Lihatlah. seluruh tubuh Anda menggigil. Tunggu. saya ambilkan minuman! Untuk sementara para perampok itu aman di tingkat atas." Pak Smellie menjatuhkan diri ke kursi yang ada dalam gang. Napasnya memburu. Jantungnya berdebar keras. "Semenit lagi akan biasa lagi," katanya mengap-mengap. "Hah! Aku berhasil membekuk gembong perampok itu!" Bu Miggle bergegas lari ke dapur. Sementara itu Fatty yang masih meringkuk dalam lemari, mendengarkan sambil menahan napas. Menurut perasaannya saat itu. Pak Smellie pasti sudah masuk ke kamar kerjanya. Ia sama sekali tidak menduga, laki-laki tua itu sedang duduk di kursi. di kaki tangga. "Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelamatkan Larry." pikirnya. Ia nekat. Dibukanya pintu lemari. lalu melesat lari menuju tangga. Pak Smellie saat itu benar-benar melongo, ketika tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki lagi. kali ini dari dalam lemari. Wah! Rupanya malam itu rumahnya penuh dengan anak laki-laki! Pak Smellie bergerak hendak menangkap Fatty. Anak itu kaget lalu menjerit. Ia mencoba lari ke atas. Pak Smellie sempat terseret-seret sedikit Tapi sementara itu tenaganya sudah kembali. Didorong rasa marah melihat seseorang lagi yang dikiranya pasti juga pencuri. dipegangnya jas Fatty erat-erat sampai nyaris robek Kira-kira pada pertengahan tangga Fatty tersandung. lalu jatuh terguling-guling ke bawah Pak Smellie ikut terjatuh, menindih Fatty. "Aduhaduhaduh!" pekik si gendut. "Minggir Pak Sakit rasanya tertindih!" Bu Miggle yang sedang menuangkan susu di dapur. buru-buru meletakkan gelas lalu bergegas masuk ke gang. Ada apa lagi di situ? Jangan-jangan rumah diserbu perampok! Ia masih sempat melihat Fatty menggeliat-geliat membebaskan diri dari tindihan Pak Smellie. Lalu jatuh terguling-guling lagi sampai ke kaki tangga. Bunyinya gedebak-gedebuk. Dengan segera Bu Miggle melihat bahwa dia cuma seorang anak belaka, lalu disapanya dengan galak. "Apa-apaan ini? Berani-beraninya masuk ke rumah orang! Siapa namamu - dan di mana tinggalmu?" Dengan cepat Fatty memutuskan, lebih baik bersikap bingung dan kesakitan. Bu Miggle kelihatannya baik hati. Mungkin ia dibiarkan pergi, jika wanita tua itu mengira dia cuma seorang anak nakal yang iseng masuk ke situ. Fatty melolong-lolong. Larry yang mendengarnya bingung, tidak tahu apa yang terjadi di bawah. Digedor-gedornya pintu yang terkunci. Keadaan dalam rumah itu menjadi semakin berisik. Bu Miggle bingung. "Dia mengurung kawanku dalam sebuah kamar di atas," tangis Fatty. "Aku tadi hendak menolongnya. ketika tertangkap Pak Smellie. Aku digebuknya. lalu dilempar ke bawah. Aduaduhaduh! Badanku pasta bengkak-bengkak Aduh - apa kata ibuku nanti kalau melihat keadaanku begini. Pasti Pak Smellie diadukannya. karena menyakiti anak kecili Aduhaduhaduh! . "Mana mungkin badanmu bengkak-bengkak." kata Bu Miggle. "Pak Smellie orangnya baik hati, jadi tak mungkin sampai hati memukulmu. Dia juga takkan bisa melemparmu ke kaki tangga. Jangan suka bohong. ya!" "Tidak. aku tidak bohong.` kata Fatty sambil pura-pura menangis. "Sungguh. badanku bengkak-bengkak. Lihatlah - ini lalu ini - dan ini! Aduh, tolong panggilkan dokter! Panggil dokter. Mati aku!" Bu Miggle kaget sekali, sedang Pak Smellie ketakutan ketika anak itu ternyata penuh bengkak-bengkak tubuhnya. Di mana-mana nampak bekas memar berwarna-warna.. Ada yang ungu. ada yang hijau. dan ada pula yang kuning. Hih. serum! Keduanya cuma bisa memandang saja. sementara Fatty sibuk memamerkan bekas-bekas jatuh yang nampak di tubuhnya. Tidak ada yang menyangka, bekas-bekas itu disebabkan kejadian dua hari sebelumnya. "Aduh. Pak!" kata Bu Miggle dengan nada menyalahkan "Lihatlah anak yang malang ini! Tega-teganya Anda memukul anak sekecil ini! Aduh - aku tak berani membayangkan. apa kata orang tuanya nanti!" Pak Smellie merasa ngeri, karena menyangka memang dia yang menyebabkan memar-memar di tubuh Fatty. Dua tiga kali ia meneguk air liur sambil menatap Fatty. "Sebaiknya bengkak-bengkak itu diobati." sarannya kemudian. "Biar saya saja yang mengerjakannya. sementara Anda menelepon polisi." kata Bu Miggle. Ia teringat lagi pada para perampok yang dalam bayangannya terkurung dalam gudang di atas. Tapi kini Pak Smellie kelihatannya segan menelepon polisi. Kelihatannya ia agak malu-malu. "Yah. kurasa mungkin lebih baik jika kita tanyakan dulu pada anak-anak ini kenapa mereka bertindak begitu aneh dalam rumah ini sebelum kita memanggil polisi." katanya. "Bebaskan kawanku yang di atas. ya Pak?" pinta Fatty. "Kami kemari bukan karena hendak merampok Anda. Sebetulnya kami cuma main-main saja. Kita kompromi saja. ya Pak? Jika Anda tidak melapor pada polisi, kami juga takkan mengadu pada orang tua kami - dan saya tidak menunjukkan bengkak-bengkak ini pada mereka." Bu Miggle menatap Pak Smellie, yang mendehem-dehem terus. "O.. begitu rupanya." tukas Bu Miggle. "Rupanya perampok-perampok itu cuma dua anak kecil! Aduh. aduh! Kenapa Anda tidak memanggil saya tadi? Saya pasti bisa menyelesaikan urusan ini tanpa ribut-ribut, dan tanpa perlu melempar-lempar anak ke kaki tangga." "Aku tadi tidak melemparnya ke bawah." bantah Pak Smellie lalu pergi ke atas untuk membebaskan Larry. Kemudian kedua anak itu disuruh Pak Smellie masuk ke kamar kerja. Bu Miggle masuk membawa obat untuk dioleskan ke tubuh Fatty. Larry tercengang. Tapi dia diam saja "Aduhaduh, belum pernah kulihat anak yang begini bengkak-bengkak tubuhnya, kata Bu Miggle. sambil menotol-notolkan obat. "Saya memang cepat sekali memar," kata Fatty memulai ocehannya lagi. "Pernah ada yang bentuknya seperti lonceng." "Apa yang kalian berdua cari malam-malam di rumahku. hah?" bentak Pak Smellie. Ia tidak ingin mendengar bualan tentang memar yang seperti apa pun. Larry dan Fatty membungkam. Soalnya - mereka memang tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Kalian harus mengatakannya. desak Bu Miggle. kurasa pasti bukan dengan maksud yang baik! Sekarang mengaku sajalah." Kedua anak itu masih saja membungkam. Tiba-tiba kemarahan Pak Smellie meledak. "Kalau kalian tidak mau bilang juga, akan kuserahkan urusan ini pada polisi!" ancamnya. "Nah - kau tak tahu apa kata mereka nanti. jika melihat bengkak-bengkak di tubuhku ini." kata Fatty. Ia tidak mau kalah gertak. "Kuduga memar-memar itu terjadinya bukan baru malam ini," kata Pak Smellie bertambah sengit. "Aku tahu apa artinya warna kuning pada luka memar - walau Bu Miggle mungkin tidak tahu!" Sekarang Fatty tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali membisu. "Nama dan alamat?" bentak Pak Smellie, sambil mengambil pena. "Aku hendak menghubungi orang tua kalian di samping polisi." Larry kini menyerah kalah. Bayangan bahwa ayah dan ibunya mendengar mereka tertangkap basah ketika sedang berkeliaran malam-malam di rumah orang. baginya jauh lebih mengerikan daripada kalau polisi yang dipanggil. "Kami tadi datang untuk mengembalikan sepatu yang kami ambil tadi pagi." katanya lirih. Baik Bu Miggle maupun Pak Smellie membelalakkan mata. seakan-akan menyangka Larry sudah sinting sekarang. "Sepatu?" kata Pak Smellie setelah beberapa saat. "Kenapa sepatu? Apa sebetulnya maksudmu?" "Kami mencari sepatu yang cocok dengan buah jejak." kata Larry kebingungan. Keterangan ini semakin membingungkan kedua pendengarnya. Pak Smellie mengetuk-ngetukkan penanya dengan sikap tidak sabar ke daun meja. "Beri keterangan yang jelas," katanya. "Kuberi waktu satu menit. Jika setelah itu kau masih juga belum memberikan keterangan lengkap tentang tingkah laku kalian yang aneh ini, aku akan menelepon polisi dan orang tua kalian!" "Apa boleh buat." kata Fatty pada Larry. "kita harus berterus terang padanya. juga apabila dengan begitu ia akan tahu lalu bersikap hati-hati." "Kalian ini bicara tentang apa?" tanya Bu Miggle, yang menjadi bertambah bingung. "Aku, bersikap hati-hati!" tukas Pak Smellie. "Apa maksudmu? Sungguh. aku mulai merasa kalian berdua sudah benar-benar sinting sekarang!" "Kami tidak sinting," balas Fatty dengan merajuk. "Tapi kebetulan kami mengetahui sesuatu tentang diri Anda, Pak Smellie. Kami tahu Anda ada di rumah Pak Hick pada malam kebakaran itu." Pengaruh kata-kata itu luar biasa sekali. Pena yang dipegang Pak Smellie terjatuh dari tangannya. Ia sendiri meloncat bangkit. Kaca matanya merosot ke bawah, sedang janggutnya yang panjang gemetar. Bu Miggle juga nampak kaget sekali "Anda kan betul ada di situ waktu itu?" tanya Larry. "Ada orang melihat Anda di sana. Lalu mengatakannya pada kami." "Siapa orang itu?" tanya Pak Smellie tergagap-gagap "Horace Peeks yang melihat Anda." kata Larry. "Petang itu ia juga ada di sana. karena hendak mengambil barang miliknya sebelum Pak Hick kembali. Saat itulah ia melihat Anda. Bagaimana cara Anda menjelaskannya nanti pada polisi?" "Aduh. Pak Smellie! Apa yang Anda lakukan petang itu di sana?" seru Bu Miggle dengan cemas. Wanita tua itu langsung khawatir. jangan-jangan majikannya yang membakar pondok. Pak Smellie duduk lagi sambil membetulkan letak kaca mata. "Miggle." katanya. "kulihat kau curiga. akulah yang membakar tempat kerja Pak Hick! Benar-benar keterlaluan - Anda kan sudah bertahun-tahun bekerja padaku, dan Anda tahu betul aku ini disuruh membunuh lalat saja tidak tega!" "Yah -- kalau begitu untuk apa Anda ke sana?' tanya Bu Miggle. "Katakan saja. Pak! Apa pun yang Anda lakukan. nanti saya bela Anda!" "Aku tak perlu dibela." kata Pak Smellie dengan nada sengit. "Aku ke sana cuma karena hendak mengambil kertas-kertas yang tertinggal di situ setelah pertengkaranku dengan Pak Hick paginya. Aku memang masuk ke rumahnya - tapi sama sekah tidak datang ke tempat kerjanya. Aku mengambil kertas-kertasku - ini dia. di atas meja. Tadi pagi aku masih menunjukkannya pada anak laki-laki ini serta adik perempuannya!" XVI BERBAGAI KEJUTAN PAK SMELLIE ditatap tiga pasang mata. Nampak jelas, laki-laki tua itu mengatakan yang sebenarnya. "Astaga!" kata Larry. "Jadi itu sebabnya. kenapa Anda ke sana! Jadi Anda tidak bersembunyi dalam parit?" "Tentu saja tidak," kata Pak Smellie. "Aku masuk secara terang-terangan lewat pintu pekarangan depan. Kulihat pintu rumah yang menghadap ke kebun terbuka. Aku masuk lewat pintu situ dan mengambil kertas-kertasku. Setelah itu aku keluar lagi. Aku sama sekali tidak bersembunyi! Kecuali ketika aku berdiri beberapa saat dekat pintu pekarangan untuk memastikan tidak ada orang di sekitar situ -jika itu yang kaumaksudkan dengan bersembunyi." "Oh," kata Larry. Ia bingung. Jika kata Pak Smellie ternyata benar, maka kini tidak ada lagi tersangka yang tersisa. Tapi perbuatan jahat itu mesti ada pelakunya! "Sekarang coba katakan padaku untuk apa kalian mengambil sepatuku," kata Pak Smellie. Larry menceritakan alasannya. Setelah itu Fatty mengatakan. di tangan siapa sepatu yang sebelah itu kini berada. Pak Smellie jengkel sekali mendengarnya. "Kami kan cuma ingin menyelidiki, siapa sebenarnya yang menyebabkan kebakaran itu," kata Fatty. Diceritakannya perkembangan usaha mereka sampai saat itu. Sementara itu Bu Miggle ikut mendengarkan. Ia kagum. bercampur heran. Perasaannya saat itu terbagi dua. antara tersinggung karena anak-anak sangat mencurigai Pak Smellie, dan kekaguman mendengar anak-anak telah menemukan begitu banyak petunjuk dan orang-orang yang dicurigai. "Yah," kata Pak Smellie. ketika Fatty selesai bercerita "Kurasa sekarang sudah waktunya kalian pulang. Percayalah, aku sama sekali tak berurusan dengan kebakaran itu - dan juga tak tahu-menahu tentang pelakunya. Tapi kurasa bukan Horace Peeks. Kalau si gelandangan. itu lebih mungkin. Pokoknya. kunasihatkan kalian menyerahkan saja urusan penyelidikan pada polisi. Kalian masih anak-anak - takkan bisa berhasil menyelidiki hal-hal seperti itu." Anak-anak bangkit. "Maaf. Pak -- mengenai sepatu Anda." kata Fatty. "Kami menyesal." "Aku juga." kata Pak Smellie. "Soalnya, di sebelah dalam sepatu itu tertulis namaku. Kini aku tak ragu-ragu lagi. besok pagi Pak Goon pasti akan muncul di sini. Nah. selamat malam. Lain kali jangan curigai aku lagi, jika terjadi kebakaran, pencurian, pembunuhan atau peristiwa kejahatan lainnya, ya?Aku benar-benar cuma seorang tua yang tidak bisa berbuat jahat. yang hanya menaruh perhatian pada naskah-naskah kunoku saja!" Kedua anak itu pergi. Perasaan mereka lesu. Bagi mereka kini jelas, Pak Smellie tak mungkin terlibat dalam peristiwa pembakaran pondok Tapi kalau begitu. siapa lagi pelakunya? "Aku capek." kata Larry. Kita berjumpa lagi besok. di tempat Pip. Memar-memarmu tadi besar sekali gunanya. Fatty. Kalau itu tidak ada, kurasa mustahil kita bisa bebas sekarang!" "Kelihatannya memang seram. ya?" kata Fatty senang. "Nah. selamat tidur! Pengalaman kita tadi hebat. ya?" Keesokan paginya. ketiga anak lainnya kagum mendengar apa saja yang dialami Larry dan Fatty pada malam sebelumnya. Tapi kecuali kagum, mereka juga bingung. Terlebih-lebih bingung. "Aneh." kata Pip sambil merenung. "Beruntun-runtun kita mengetahui tentang orang-orang yang bersembunyi di kebun malam itu - tapi kemudian ternyata semua ada di sana karena alasan tertentu. Bahkan gelandangan itu juga -- ia hendak mencuri telur. Namun sampai kini kita masih belum tahu, siapa sebenarnya yang melakukan pembakaran pondok. Mungkinkah gelandangan itu pelakunya? Atau Horace - walau cuma tiga menit ia meninggalkan Lily? Bagaimana dengan Pak Smellie? Horace melihat dia masuk ke dalam rumah, untuk mengambil kertas-kertasnya. Tapi mungkin saja setelah itu ia membakar pondok." "Ya, memang mungkin. Tapi entah kenapa, aku kini yakin bukan dia pelakunya." kata Larry. "Yuk - kita ke kebun rumah Pak Hick. Mungkin ada sesuatu yang terlepas dari perhatian kita." Anak-anak berbondong-bondong ke sana. Mereka melihat Lily sedang menjemur pakaian. Mereka bersuit memanggilnya. Setelah celingukan sebentar untuk meyakinkan diri bahwa Bu Minns tidak ada di situ. gadis itu lantas lari bergegas menghampiri. "Hai. Lily! Waktu malam itu, di mana tepatnya kau bersembunyi dalam semak bersama Horace?" tanya Larry. "Dalam parit dekat pondok?" "Wah, bukan," jawab Lily, lalu menuding ke arah serumpun semak dekat jalan masuk ke pekarangan. "Di sana kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak mendekati parit." "Sedang Pak Smellie mengatakan ia cuma sebentar saga bersembunyi dekat pintu pekarangan depan. Tapi sudah pasti ada seseorang bersembunyi dalam parit"' kata Fatty. "Yuk, kita ke sana lagi." Mereka mendatangi parit. Samak jelatang sudah menegak kembali. tapi masih tampak jelas bahwa sebelumnya pernah rebah karena terinjak kaki. Anak-anak menyusup lewat lubang dalam pagar, lalu meneliti kembali jejak sepatu di tanah yang becek Ternyata jejak itu masih nampak, walau bertambah kabur sekarang. "Nanti dulu." kata Daisy dengan tiba-tiba. "Jejak-jejak ini - maksudku yang ini serta yang dekat gerbang pagar di depan lapangan ini. semua menunjuk ke satu arah. Menuju ke rumah dan bukan pergi dari rumah! Jadi orang yang bersembunyi dalam parit. menuju ke rumah lewat lapangan. Tapi sama sekali tidak nampak jejak sepatu yang menunjukkan bahwa ia kembali lewat jalan sama." "Kan bisa saja lewat pekarangan depan rumah, tolol." kata Fatty. "Yah. hari ini aku harus mengaku kalah. Petunjuk-petunjuk kita tidak ada artinya lagi. Semua orang yang tersangka, nampaknya tidak bersalah sama sekali. Aku mulai bosan menemukan hal-hal yang menuju jalan buntu. Yuk. hari ini kita melakukan sesuatu yang lain. Piknik. misalnya!" "Setujuuu!" seru teman-temannya. "Kita ambil sepeda. lalu berangkat ke Burnham Beeches lalu bersenang-senang di sana." Sayang. Bets tidak diizinkan ikut oleh ibunya. Jarak ke Bumham Beeches terlalu jauh untuk ditempuh anak berumur delapan tahun. Bets kecewa sekali. "Bagaimanapun juga, aku memang kurang setuju jika Bets pergi piknik hari ini." kata ibunya. "soalnya, ia agak pucat kelihatannya. Tinggalkan Buster di sini, supaya bisa diajak jalan-jalan oleh Bets. Pasti dia senang!" Bets memang senang mengajak Buster jalan-jalan. Tapi itu bukan imbalan yang sebanding dengan ikut piknik. Fatty kasihan sekali melihat anak itu berdiri di pintu pagar. sambil melambaikan tangan pada mereka yang pergi naik sepeda. "Nanti kubawakan oleh-oleh mawar liar yang banyak sekali!" seru Fatty. "Tolong jaga Buster baik-baik, ya!" Buster menggoyang-goyangkan ekor. Dialah yang akan menjaga Bets dan bukan Bets yang menjaga dia! Ia ikut sedih. melihat anak-anak pergi beramai-ramai tanpa dia. Tapi Buster juga sadar, larinya tidak bisa menyamai laju sepeda. Hujan turun malam sebelumnya. sehingga di mana-mana becek. Menurut perasaan Bets. kalau mau jalan-jalan lebih bank memakai sepatu tingginya yang dari karet. "Sayang kau tidak bisa memakai sepatu." katanya pada Buster. "Pasti kau nanti kotor sekali." Mereka lantas pergi berjalan-jalan. Bets menuju ke arah sungai. Sesampai di sana ditelusurinya sebentar jalan kecil yang menjajari tepi sungai. Kemudian berbalik melintasi sebuah lapangan. Akhirnya sampai di pintu pagar. di mana beberapa hari yang lalu mereka menemukan jejak sepatu yang misterius itu. Bets berjalan sambil menari-nari. Buster disuruhnya mengejar ranting-ranting yang dilemparnya jauh-jauh. Ia ingat pesan Fatty agar jangan menyuruh anjing itu memungut batu, karena nanti gigi Buster bisa patah. Bets membungkuk untuk memungut ranting yang terletak di tanah. Tapi tidak jadi. Ia tertegun. Nampak jelas di jalan becek yang terbentang di depannya. jejak sepatu berderet-deret. Persis jejak yang ditemukan dekat pintu pagar! Bets hafal sekali pola jejak itu. karena berulang kali mengamat-amatinya. Ia merasa yakin. pasti itu jejak sepatu yang sama. Jejak sol karet dengan pola garis silang-menyilang. serta kotak-k0tak kecil yang ada bercak di masing-masing sudutnya! "Wah - lihat, Buster." kata Bets setelah menatap agak lama. Terasa jantungnya berdebar keras. Buster datang untuk ikut melihat. Anjing itu mengendus-endus jejak sepatu lalu mendongak memandang Bets sambil mengibas-ngibaskan ekor. "Ini kan jejak sepatu yang sama ya. Buster?" kata Bets. "Dan hujan kan baru tadi malam turunnya! Jadi mestinya orang itu lewat di sini setelah hujan. Dia itulah orang yang kita cari-cari selama ini dan tidak bisa kita ketahui siapa dia! Aduh - sekarang bagaimana. Buster? Hatiku berdebar-debar!" Buster menari-nari mengelilinginya. seolah-olah mengerti apa yang dikatakan oleh Bets Anak perempuan itu masih tertegun sejenak, sambil memandang jejak langkah itu. "Kita ikuti arah langkah ini." katanya kemudian. "Ya, itulah yang kita lakukan sekarang. Mengerti? Aku tidak tahu kapan orang itu lewat di sini - tapi pasti belum lama. Yuk. kita ikuti! Mungkin saja nanti tersusul orang itu! Wah - ini benar-benar asyik." Anak perempuan itu mengikuti jejak langkah, bersama Buster. Anjing itu berjalan dengan hidung didekatkan ke tanah. la mengikuti bau jejak. dan bukan jejak yang nampak. Mereka menyusur jalan yang becek lalu menyeberang jalan raya. Di seberang masuk lagi ke sebuah jalan kecil. Di situ nampak jelas sekali jejak yang tadi. Kemudian sampai pada jalan yang lain. yang berlapis aspal. Untung ada Buster. Anjing itu mengikuti jejak dengan jalan mengendus baunya, walau jejak itu sama sekali tidak nampak. "Kau memang pintar. Buster." kata Bets kagum. "Coba penciumanku setajam hidungmu. Ya - ya, betul - itu ada lagi jejak sepatu - lalu itu ada lagi. Eh. rupanya menuju ke pintu pagar pembatas lapangan." Nampak jelas orang yang meninggalkan jejak itu memanjat pagar lalu meloncat ke lapangan yang ada di baliknya. Bets semakin bersemangat. "Jejak ini arahnya sama dengan jejak sepatu yang waktu itu!" katanya pada Buster. "Lihatlah! Nah, Buster - sekarang pergunakan daya penciumanmu baik-baik di lapangan ini. karena di atas rumput tentu saja aku tidak bisa melihat apa-apa!" Buster melintasi lapangan tanpa berbelok-belok sementara hidungnya terus dicecahkan ke rumput. Ternyata tercium dengan baik jejak sepatu orang yang lewat tadi. Tak lama kemudian Bets sampai ke suatu tempat yang becek. Rumput itu gundul. Nampak jelas jejak sepatu di situ. "Arahmu benar, Buster." katanya "Cepat - ikuti terus! Mungkin kita masih bisa menyusul orang itu! Kurasa dia baru saja lewat di sini!" Ternyata jejak itu tidak mengarah ke lubang dalam pagar tapi menuju ke suatu pintu pagar lagi Lalu ke jalan raya yang menuju rumah Bets sendiri. Tapi di depan pintu pekarangan rumah Pak Hick. jejak itu membelok ke dalam! Bets tercengang. Ternyata pembakar pondok itu datang lagi hari ini, pikirnya. Bets bertanya-tanya dalam hati, apakah orang itu menuju pintu depan atau belakang. Ditelusurinya jalan masuk yang becek samba! menunduk mengamat-amati jejak. Arahnya langsung menuju pintu depan. Baru saja Bets tiba di situ. tiba-tiba pintu terbuka. Pak Hick keluar dari situ Ia tercengang. ketika melihat Bets. "Nah. cari apa kau di sini?" tanya Pak Hick. 'Selamat pagi. Pak Hick." sapa Bets. "Aku sedang mengikuti jejak sepatu ini, dan ternyata menuju ke pintu depan rumah Anda. Pak Hick perlu sekali diketahui jejak sepatu siapa ini. Tadi ada orang mendatangi rumah Anda?" Pak Hick kelihatannya heran. Ia memandang Bets dan Buster dengan kening berkerut. "Aku tak mengerti," katanya. "Kenapa itu perlu?" "Kalau aku bisa tahu ini jejak siapa. maka aku akan bisa melaporkan pada kawan-kawan siapa yang membakar pondok Anda malam itu." kata Bets lagi. Ia begitu bersemangat, sehingga tak disadarinya bahwa ia membocorkan rahasia Pasukan Mau Tahu. Pak Hick kelihatan bingung sekali Ditatapnya Bets lama-lama. "Sebaiknya kau masuk saja dulu." katanya kemudian. "Ini benar-benar luar biasa. Untuk apa anak kecil seperti kau mengikuti jejak sepatu - dan bagaimana kau sampai tahu mengenainya? Masuklah! Tidak - biarkan anjing itu di luar." "Biarlah dia ikut masuk." pinta Bets. "Dia tidak akan bandel. Sungguh! Jika ditinggal di luar. nanti habis daun pintu Anda digaruk-garuknya." Akhirnya Buster diperbolehkan masuk. Bets diajak ke kamar kerja Pak Hick. Persis seperti kamar kerja Pak Smellie. tempat itu juga penuh dengan kertas dan buku yang terserak di mana-mana. "Nah." kata Pak Hick setelah duduk Ia berusaha untuk bicara dengan nada ramah. Tapi rupanya sulit baginya untuk bersikap ramah. "Nah, gadis kecil - sekarang ceritakan padaku apa sebabnya kau mengikuti jejak sepatu itu. dan apa yang kau ketahui mengenainya. Mungkin ada gunanya bagiku." Bets merasa bangga. karena ada orang dewasa yang berminat mendengar ceritanya. Ia lantas membeberkan segala-galanya. tentang Pasukan Mau Tahu dan tentang kegiatan mereka Ia bercerita tentang segala petunjuk serta para tersangka. Sedang Pak Hick mendengarkan terus, tanpa menyelingi Sementara itu Buster tidak tetap diam, seperti dijanjikan oleh Bets. Anjing itu berulang kali menghampiri Pak Hick. Mengendus-endus kakinya. dan juga berusaha menggigitnya. Timbul kejengkelan Pak Hick. Tapi Buster masih terus saja mengganggu. Akhirnya Bets- terpaksa menaruh Buster ke pangkuannya. Ketika akhirnya ia sampai pada akhir cerita, yaitu pengalamannya pagi itu. Bets memandang Pak Hick dengan penuh harap. "Sekarang. siapakah yang datang ke sini tadi?" tanyanya. "Yah," kata Pak Hick lambat-lambat. "kebetulan sekali. dua di antara orang tersangka kalian datang ke sini. Pak Smellie datang untuk meminjam buku - dan Horace Peeks juga datang minta surat pengantar untuk melamar pekerjaan." "O. kalau begitu mungkin salah seorang dari mereka." kata Bets. "Aku ingin tahu. siapa dari keduanya memakai sepatu bersol karet dengan pola kayak itu. Nah - pokoknya sekarang kita sudah tahu pasti orang yang dicari adalah seorang dan keduanya. Pak Hick. jangan bilang-bilang orang lain ceritaku tadi ya?" "Tentu saja tidak." kata Pak Hick. "Ternyata banyak orang yang masuk ke kebunku ketika aku ke kota waktu itu, ya? Tunggu saja. sampai berhasil kubekuk leher orang yang membakar pondokku, sehingga semua naskahku yang berharga musnah!" "Aku pergi saja sekarang," kata Bets minta diri. Ia berdiri. dan Buster diturunkan dan pangkuannya. Anjing itu langsung lari menghampiri Pak Hick, lalu mengendus-endus ujung celana itu Pak Hick tidak suka diendus-endus dengan cara begitu. Ditendangnya Buster sehingga anjing itu terkaing-kaing. "Aduh!" seru Bets cemas "Anda tidak boleh menendang anjing. Pak Hick. Itu kan kejam!" "Pergilah sekarang - dan bawa anjing itu," kata Pak Hick. "Kunasihatkan saja kalian anak-anak - jangan suka mencampuri urusan orang dewasa. Serahkan saja urusan penyelidikan pada polisi" "Tidak bisa," kata Bets. "kami kan Pasukan Mau Tahu!" Ia ke luar bersama Buster. Di jalan pekarangan dilihatnya lagi jejak sepatu yang tadi. Sepasang Sepalu menuju ke rumah. dan sepasang lagi pergi dari rumah. Bets ingin sekali tahu. jejak siapa itu - Pak Smellie atau Horace Peeks. Ia tidak sabar lagi menunggu anak-anak yang lain pulang. karena ingin lekas-lekas menyampaikan laporannya. Ia berpikir-pikir. mungkinkah mereka akan marah jika tahu bahwa ia membeberkan segala-galanya yang diketahui pada Pak Hick. Tapi tak mungkin mereka akan marah. Kan tidak ada salahnya jika Pak Hick tahu! Bets merasa yakin, orang itu pasti akan berusaha sebisa-bisanya membantu mereka. Lagi pula dia kan sudah berjanji. tidak akan bercerita pada siapa-siapa. Anak-anak kembali dari piknik ketika hari sudah sore. Mereka capek. Tapi bahagia. karena habis bersenang-senang sehari penuh di Burnham Beeches. Fatty membawakan serangkaian mawar hutan untuk Bets. Bets sudah tidak sabar lagi. Ia langsung bercerita, melaporkan pengalamannya tadi pagi. Termasuk obrolannya dengan Pak Hick. Ketika sedang asyik-asyiknya bercerita. Tiba-tiba datang gangguan yang sama-sekali tidak menyenangkan! Ibunya masuk ke kebun disertai seseorang yang sudah dikenal baik oleh anak-anak. Pak Ayo Pergi! Polisi desa itu nampak puas tapi juga galak. "Pak Ayo Pergi," kata Larry dengan suara pelan. "Mau apa dia kemari'?" Dengan segera diketahui. untuk apa polisi desa itu datang. Ibu Pip dan Bets menyapa anak-anak dengan suara garang. "Anak-anak!" katanya. "Baru saja Pak Goon datang dengan laporan yang luar biasa! Ia melaporkan tindak-tanduk kalian selama hari-hari belakangan ini. Benar-benar luar biasa! Aku sampai hampir tak percaya!" "Ada apa sebetulnya?" tanya Pip, sambil memandang Pak Ayo Pergi dengan tampang masam. "Pip! Jangan cemberut begitu!" kata ibunya keras. "Rupa-rupanya kalian semua ikut-ikut campur dalam urusan polisi. Bahkan Bets juga ikut! Aku benar-benar tidak mengerti. Pak Goon ini bahkan melaporkan bahwa kau dan Frederick serta Larry tadi malam masuk ke dalam rumah Pak Smellie! Apa kata ibu-ibu kalian nanti? Sedang Bets yang masih kecil ini. ikut-ikutan berlagak menjadi detektif. membuntuti jejak orang!" "Siapa yang bercerita pada Pak Goon?" kata Bets dengan cepat. "Yang tahu mengenainya cuma aku - dan Pak Hick!" "Pak Hick tadi menelepon aku, dan aku baru saja datang dari rumahnya." kata Pak Goon dengan sikap penting. "Ia melaporkan segala tindak-tanduk kalian! Anak-anak iseng. selalu mau ikut campur!" Bets menangis tersedu-sedu. "Huhuu, padahal Pak Hick sudah janji tidak akan bercerita pada orang lain. huhuu," tangisnya. "Dia tadi berjanji sungguh-sungguh! Huhuu, Pak Hick jahat! Jahat! Dia melanggar janji! Aku benci padanya!" "Bets! Tahu aturan sedikiti" tukas ibunya. "Ya ya, Bets lagi yang membocorkan rahasia," kata Pip dengan nada kesal. "Itulah. kalau anak kecil kayak dia diajak ikut menyelidik. Dasar goblok! Dia membocorkan segala-galanya pada Pak Hick. lalu Pak Hick menelepon Pak Ayo Pergi, dan sekarang kita semua kena marah!" "Apa yang kaugumamkan itu. Pip?" tanya ibunya. "Siapa itu. Pak Ayo Pergi?" "Nah!" kata Pak Goon. Ia membusungkan dada. Tampangnya saat itu persis kodok yang sedang marah. Apalagi karena matanya yang biru ikut-ikut menonjol ke luar. "Nah! Bukankah kalian selalu kupergoki berkeliaran di dekatku? Ya kan? Benar-benar merepotkan! Sekarang dengar baik- baik!" Apa boleh buat - anak-anak terpaksa mendengarkan saja omelan Pak Goon. Mereka berdiri dengan muka merah karena marah. Bets masih menangis terus. Cuma Buster saja yang seperti tak peduli. Ia mengendus-endus Pak Ayo Pergi yang berkali-kali terpaksa mengusirnya. Banyak sekali yang dikatakan polisi desa itu tentang 'anak-anak yang ingin tahu' dan 'berandal cilik' serta `menghalangi kegiatan hukum'. Ia mengakhiri petuahnya dengan ancaman. "Jika sekali lagi aku memergoki kalian ikut-ikut campur atau jika Pak Hick melaporkan kalian lagi padaku, nah! Kalian akan mengalami kesulitan besar." katanya. "O ya - kesulitan besar sekali! Jangan suka mencampuri urusan yang tidak menyangkut kalian. Lalu kau, Laurence dan Daisy, begitu pula kau. Frederick, orang tua kalian juga akan mendengar kejadian ini. Ingat kata-kataku, kalian pasti menyesal, karena campur tangan dalam urusan hukum!" "Kami kan cuma ingin membantu," kata Pip bingung. "Jangan lancang mulut!" tukas Pak Goon dengan sikap anggun. "Dalam soal-soal begini, anak-anak tidak bisa membantu. Paling-paling akan mengalami kesulitan saja. Kesulitan yang besar sekali." Sebelah itu ia pergi, bersama ibu Pip. Seorang bertubuh besar. berlagak yang benar sendiri. Kebetulan saja dia polisi desa! XVII TEMUAN ANEH BEGITU Pak Goon sudah pergi. Bets langsung dimarahi. "Tolol!" bentak Pip. "Segala-galanya diocehkan pada Pak Hick!" "Sungguh - segala-galanya buyar karenamu, Bets." kata Daisy. "Sekarang habislah riwayat Pasukan Mau Tahu," kata Larry dengan sedih "Itulah, kalau anak kecil kayak Bets diterima jadi anggota. Segala-galanya kacau." Bets menangis tersedu-sedu. Fatty merasa kasihan padanya. Dirangkulnya anak perempuan itu dan dibujuk-bujuknya. Padahal ia pun merasa jengkel. karena segala rencana dan harapan mereka kini buyar. "Jangan menangis terus, Bets. Kita semua, pernah melakukan kekonyolan! Kau dan Buster tadi hebat - bisa menemukan jejak dan mengikutinya. Aku ingin tahu. Pak Smellie atau Horace yang memakai sepatu itu." Saat itu ibu Pip datang lagi. Mukanya masih kelihatan galak. "Mudah-mudahan kalian kini merasa malu pada diri sendiri." katanya. "Aku ingin agar kalian pergi ke tempat Pak Hick, lalu minta maaf padanya karena mencampuri urusannya. Dia tentu saja sangat jengkel. membayangkan kalian setiap hari berbuat iseng dalam kebunnya." "Tapi kami tidak berbuat jahat di situ." bantah Pip. "Bukan itu persoalannya," kata ibunya."Kalian tidak boleh memasuki tanah. apalah rumah orang lain tanpa izin. Kalian sekarang juga berangkat ke tempat Pak Hick, dan minta maaf padanya. Sekarang, kataku!" Anak-anak berangkat, diikuti oleh Buster. Semua merasa kesal -- ingin memberontak. Mereka jengkel sekali, karena disuruh minta maaf pada seseorang yang tidak mereka sukai. Mereka juga beranggapan Pak Hick jahat. karena sebelumnya kan ia sudah berjanji dengan sungguh-sungguh pada Bets. tidak akan meneruskan ceritanya pada siapa pun. "Jahat sekali orang itu." kata Larry. Semua sependapat. "Aku tak peduli siapa yang membakar tempat kerjanya." kata Fatty. "Aku senang pondok konyol itu terbakar. dan sekaligus kertas-kertasnya yang berharga juga!" "Kau tak boleh bilang begitu." kata Daisy mengecam. Padahal dalam had saat itu perasaannya juga begitu. Begitu tiba di rumah Pak Hick mereka menekan bel. Setelah itu, sambil menunggu pintu dibuka. Bets menunjukkan jejak-jejak sepatu yang diikutinya tadi. Anak-anak memperhatikan dengan berminat. Ya - ternyata Bets memang benar! Jejak itu persis seperti yang digambar oleh Fatty. Sayang mereka terpaksa menghentikan kegiatan melacak penjahat itu. pada saat orangnya sudah hampir ditemukan! Sesaat kemudian pintu dibukakan oleh Bu Minns. Ia kaget melihat anak-anak berkerumun di depan pintu Manis yang ikut dengannya. Langsung lari lagi dengan ekor terangkat, ketika menatap Buster. "Bu- tolong katakan pada Pak Hick, kami ingin bertemu sebentar dengan dia." kata Larry. Bu Minns semakin tercengang. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu. ketika terdengar suara orang memanggil dari arah kamar kerja. "Siapa itu, Bu Minns?" "Lima orang anak - dan seekor anjing, Pak," jawab Bu Minns. "Mereka bilang ingin ketemu dengan Anda" Sesaat tak terdengar apa-apa. "Bawa mereka masuk," terdengar suara Pak Hick lagi Dengan sikap serius dan tegang anak-anak masuk ke kamar kerja, diikuti oleh Buster. Pak Hick ada di situ. Ia sedang duduk di sebuah kursi besar. dengan kaki tersilang. "Kalian mau apa kemari?" tanya Pak Hick. "Kata Ibu, kami harus minta maaf pada Anda, Pak Hick," kata Pip. Lalu dengan suara serempak seperti paduan suara, "Kami minta maaf. Pak Hick" "Hmmm," kata Pak Hick. Ia menatap dengan agak lebih ramah daripada tadi. "Ya ya. memang begitu seharusnya." "Anda sudah janji takkan bilang siapa-siapa." protes Bets dengan tiba-tiba. "Anda melanggar janji." Menurut Pak Hick, janji pada anak-anak sama sekali tidak perlu ditepati. Karena itu ia tidak merasa bersalah. Bilang menyesal saja pun tidak! Ketika ia hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar bunyi beberapa pesawat terbang melayang rendah di atas kebun. Bunyi itu mengagetkan Pak Hick. Buster menggeram-geram. Larry melompat menghampiri jendela. Ia paling ahli kalau disuruh mengenali jenis pesawat yang kebetulan lewat di atas kepala. "Pesawat-pesawat Tempest itu lagi!" serunya. "Dengan yang sekarang, aku baru dua kali melihat pesawat-pesawat itu melintas di sini. Lihatlah -bentuk ekornya yang aneh!" "Dua atau tiga hari yang lalu mereka juga melintas di sini." kata Pak Hick yang ikut tertarik. "Aku melihatnya. Waktu itu jumlahnya tujuh. Sekarang juga tujuh?" Larry menghitung jumlah pesawat yang lewat Anak-anak semuanya memandang ke atas dan jendela. Kecuali Fatty. Ia memperhatikan Pak Hick dengan bingung. Mulutnya bergerak seakan hendak bicara. Tapi langsung terkatup lagi. Tapi ia masih terus memperhatikan Pak Hick, sambil berpikir. Pesawat-pesawat Tempest melintas lagi di atas kepala. sekah ini sangat rendah. "Yuk. kita ke luar untuk melihat," ajak Larry. "Dari luar bisa lebih jelas kelihatan. Permisi. Pak Hick." "Ya ya, baiklah. Dan jangan lagi-lagi mencampuri perkara yang bukan urusan anak-anak," kata Pak Hick "Yang membakar pondokku, mungkin Horace Peeks. Polisi sebentar lagi tentu akan mengajukannya ke pengadilan. Ketika ia kemari tadi pagi, ia memakan sepatu bersol karat. Tanpa keraguan lagi, itu jejak sepatunya yang nampak di pekarangan." "Oh." Hanya itulah yang diucapkan anak-anak. Mereka kasihan pada Lily. Pasti gadis itu akan bingung sekati. Hanya Fatty yang diam saya. Sekali lagi ditatapnya wajah Pak Hick, dengan air muka aneh. Satelah itu anak-anak keluar. Namun pesawat-pesawat Tempest tidak melintas lagi. Sudah terbang menjauh. Hanya derunya yang masih terdengar sayup-sayup. Fatty boleh dibilang sama sekali tidak berbicara, sementara mereka berbondong-bondong menyusur jalan raya menuju sungai. Mereka hendak berjalan-jalan sebentara sebelum makan malam. Bets memandang Fatty. "Ada apa. Fatty?" tanya Bets. "Memar-memarmu sakit lagi?" "Tidak! Sudah kulupakan soal itu." kata Fatty. "Tidak aku sedang berpikir-pikir tentang sesuatu yang aneh. Benar-benar aneh." "Apa itu?" tanya teman-temannya. Mereka langsung tertarik Fatty berhenti berjalan, lalu menuding ke atas. "Kalian kan tahu pesawat-pesawat apa yang baru kata lihat tadi?" katanya setengah bertanya. Anak-anak yang lain mengangguk. "Itu tadi pesawat-pesawat Tempest." katanya. "dan baru dua kali melintas di atas sini. Sekali hari ini. dan sekali pada petang hari ketika pondok Pak Hick terbakar!" "Lalu kenapa?" tanya Larry tidak sabaran. "Itu kan tidak aneh!" "Dengar dulu." balas Fatty. "Ketika kita tadi membicarakan pesawat-pesawat itu, apa kata Pak Hick? Katanya, ia sempat melihatnya juga, ketika melintas di sini dua tiga hari yang lalu. Dihitungnya jumlah yang melintas saat itu. katanya ada tujuh. Dan itu memang benar." "Apa sih maksudmu?" tanya Pip sambil mengerutkan kening. "Aku maksudkan sesuatu yang aneh," kata Fatty. "Di mana Pak Hick ketika mulai terjadi kebakaran?" "Dalam kereta yang datang dari London," jawab Larry. "Nah! Kalau begitu. bagaimana dia bisa melihat pesawat-pesawat Tempest yang melintas di sini, dan sekaligus menghitung jumlahnya?" kata Fatty lagi. Sesaat tak ada yang bicara. Semua kaget. Dan semua sibuk berpikir. Akhirnya Larry yang pertama-tama membuka mulut. "Memang aneh!" katanya. "Pesawat-pesawat itu baru dua kali melintas di sini. Semua orang membicarakannya! Dan jika Pak Hick melihat mereka melintas petang itu. artinya dia ada di sini!" "Padahal ia dijemput supirnya dari kereta yang datang dari London!" kata Daisy. "Jika ia sungguh-sungguh berada dalam kereta api itu. takkan mungkin bisa melihat pesawat yang melintas di sini. Soalnya. ketika itu kereta api baru saja berangkat meninggalkan London." "Jadi," kata Fatty. dengan nada senang. "jadi, Pasukan Mau Tahu - sekarang ada satu tersangka lagi, yaitu Pak Hick sendiri!" "Waah " kata Bets tercengang. "Tapi masak dia membakar pondoknya sendiri!" "Kenapa tidak - untuk mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransi, yang menjamin kertas-kertas berharga miliknya" kata Fatty. "Kadang-kadang ada juga orang yang berbuat begitu! Kurasa surat-surat itu sudah dijual terlebih dulu olehnya. Lalu pondok dibakar, dan ia berpura-pura kertas-kertas itu ikut terbakar, supaya bisa menagih ganti rugi. Wah! Mungkinkah itu yang terjadi?" "Kita tidak bisa bilang pada siapa-siapa," kata Daisy. "Tentu saja tidak!" kata Larry. "Sekarang apa yang kita lakukan?" "Kita harus menyelidiki. bagaimana Pak Hick bisa naik ke kereta dari London malam itu," kata Fatty. "Lihatlah - kita sudah sampai di dekat rel kereta api. Kereta dari London selalu lewat di sini. Dan sebentar lagi ada yang datang Kita lihat saja apa yang terjadi." Anak-anak duduk di atas pagar dekat rel. Mereka menunggu di situ. Tak lama kemudian nampak asap mengepul di kejauhan Kereta datang! Cepat sekali jalannya. Tapi ketika sampai pada satu bagian. jalannya diperlambat. Dan akhirnya berhenti "Memang selalu berhenti di situ." kata Bets. "Aku pernah memperhatikannya. Mungkin untuk mengisi air." Jarak itu terlalu jauh, sehingga anak-anak tidak bisa melihat kenapa kereta api berhenti. Pokoknya, dengan segera kereta mulai bergerak lagi, lewat di depan anak-anak sambil mengepul-ngepulkan asap. Buster lari pontang-panting masuk semak, ketika kereta datang. Ia takut mendengar bunyinya. Fatty sudah berpikir-pikir lagi. Begitu halnya dengan Larry. "Coba dengar." kata Fatty kemudian. "Mungkin tidak. seorang malam-malam menunggu kereta di tempat Itu. Lalu melompat masuk ke gerbong yang kosong? Jika ia punya karcis langganan, orang-orang di Peterswood takkan ada yang tahu bahwa ia sebetulnya sama sekali bukan datang dan London." "Fatty! Kurasa kau benar!" seru Larry. "Aku tadi juga sedang memikirkan kemungkinan itu. Kurasa itulah yang dilakukan Pak Hick. Pura-pura pergi ke London, tapi kemudian kembali dan bersembunyi dalam parit - sehingga ada jejak sepatunya di situ - membakar pondok, menyelinap ke rel kereta api, yang di sana itu. Di situ menunggu kereta datang dan berhenti seperti biasanya Begitu kereta berhenti cepat-cepat naik ke gerbong yang kosong. Di stasiun Peterswood turun dengan tenang, dijemput dengan mobil oleh supir!" Semakin lama dipikirkan, anak-anak merasa semakin yakin bahwa mungkin saja Pak Hick sendiri yang membakar pondok "Bagaimanapun," kata Bets, "orang yang melanggar janji bisa berbuat apa saja. Apa saja, kataku!" "He - ada apa dengan Buster?" tanya Fatty, karena terdengar gonggongan anjing kecil itu dan arah sekelompok pepohonan yang terdapat di belakang mereka. "Buster! Buster! Ada apa? Kau menemukan kelinci di situ?" Buster mendengking. Sesaat kemudian muncul, menyeret suatu benda yang hitam berlumur lumpur. "Apa yang diseretnya itu?" tanya Bets. Anak-anak memperhatikan benda itu. "Sepatu tua!" kata Daisy sambil tertawa. "Aduh, Buster! Mau kau apakan sepatu butut begitu!?" Buster menghampiri Bets, lalu meletakkan bawaannya dekat kaki perempuan itu. Buster mendongak seolah-olah hendak mengatakan sesuatu. Ekornya bergerak-gerak seperti kincir angin. Bets mengambil sepatu itu. Lalu membaliknya. "Lihat"' serunya saat itu juga. "Akhirnya ketemu juga yang kita cari selama ini! Sepatu yang meninggalkan jejak di lumpur!" Nyaris saja anak-anak yang lain terjatuh dari pagar. karena kaget. Ternyata kata Bets benar. Itulah sepatu yang dicari-cari! "Buster mengikuti jejak sepatu dengan mengendus baunya. Lalu ketika tercium olehnya bau sepatu yang disembunyikan di sana, ia langsung mengenalinya lagi. Karena itulah lantas dibawa padaku," kata Bets. "Kami kan bersama-sama mengikuti jejak itu! Ah - sekarang aku mengerti, kenapa ia selalu mengendus-endus sepatu Pak Hick, setiap kali berjumpa dengan dia. Ia mencium bau yang sama!" "Anjing pintar," kata Fatty, sambil menepuk-nepuk Buster. "Mana yang sebelah lagi, hm? Cari. Buster - cari!" Buster melesat ke arah semak yang tak jauh dari situ. lalu mengorek-ngorek tanah di bawahnya. Dengan segera ia menemukan satu sepatu lagi yang dipendam dalam tanah, lalu membawanya ke Fatty. Anak-anak memungut sepatu yang sebelah lagi itu. "Wah." kata Fatty, "ini sungguh-sungguh aneh. Kurasa Pak Hick mulai khawatir setelah Bets bercerita padanya bahwa ia mengikuti jejak sepatu ini. Lalu Pak Hick pergi dan memendamnya dalam tanah, karena takut polisi menemukannya di rumahnya. Atau melihat dia memakainya. Tidak tahunya. hidung Buster yang hebat berhasil mengendusnya. Dasar anjing hebat - anjing pintar! Besok kau mendapat tulang yang besar. Buster. Tulang yang besar sekali"` "Lalu sekarang bagaimana?" kata Larry, sambil kembali ke jalan. "Melapor pada polisi - percuma! Pasti takkan diacuhkan. Bilang pada orang tua kita, juga tak ada gunanya. Sekarang pun sudah cukup kesulitan yang kita hadapi!" "Yuk, kita duduk-duduk di tepi sungai - untuk berunding," kata Pip. "Ayo! Kita harus mengambil keputusan. Persoalannya kini sudah sangat serius." XVIII TEMAN TAK TERSANGKA ANAK-ANAK kembali menyusur jalan yang menuju ke sungai Di atas tebingnya yang agak tinggi mereka menemukan tempat teduh, lalu duduk di situ Buster menggeram-geram pelan. Tapi ia ikut duduk. "Kenapa kau menggeram-geram. Buster?" tanya Bets. "Kau tidak mau duduk?" Buster menggeram sekali lagi. Tapi setelah itu berhenti lagi. Anak-anak mulai berunding. "Soal ini sungguh aneh," kata Pip. "Kita sudah menemukan orang yang melakukan pembakaran. Semua petunjuk sudah ada pada kita. Kita tahu bagaimana ia bisa naik ke atas kereta yang datang dari London. Kita juga tahu. sepatunya cocok dengan jejak yang kita temukan. Kita pun tahu ia ketakutan, lalu menyembunyikan sepatunya, yang kini kita temukan kembali. Dan sebelumnya juga sudah kita ketahui. karena apa para tersangka ada dalam kebun petang itu. Kita sudah tahu segala-galanya. Tapi toh tidak bisa berbuat apa-apa mengenainya, karena Pak Goon nanti pasti akan pura-pura dialah yang berhasil menyelidiki!" "Ya - percuma saja lapor padanya," kata Fatty dengan suram. "Bilang pada orang tua kita juga percuma, karena mereka toh nantinya menelepon Pak Goon. Benar-benar menjengkelkan! Bayangkan, misteri sudah kita pecahkan dan segala-galanya sudah kita ketahui - tapi penjahat tidak bisa kita laporkan supaya dihukum! Wah. jahat sekali Pak Hick itu! Masak ia mencoba melemparkan kesalahan pada Horace. ketika ia merasa bahwa kita sudah terlalu banyak tahu!" "Betul." kata kawan-kawannya sependapat. "Aneh, bagaimana ia membuka rahasianya sendiri, ketika menyebutkan pesawat-pesawat yang melintas." kata Larry. "Fatty pintar sekali, bisa mengetahui kesalahannya itu." "Betul." kata Daisy dengan sepenuh hati. sementara yang lain-lain mengangguk. Dan Fatty? Dadanya langsung membesar, cuping hidungnya mengembang. "Yah. seperti sudah kukatakan." katanya dengan bangga, "aku ini memang pintar. Pernah di sekolah ....... " "Tutup mulut!" kata kawan-kawannya serempak. Dan Fatty menurut. Ia membungkam. Tapi walau begitu ia masih tetap senang karena dikagumi teman-teman sebab berhasil mengenali petunjuk aneh itu. Selama beberapa waktu mereka masih asyik bicara terus tentang pondok yang terbakar, para tersangka serta petunjuk-petunjuk yang ada. Tiba-tiba Buster menggeram Galak dan berkepanjangan, sehingga anak-anak kaget dan bingung. "Kenapa Buster?" tanya Bets. "Jangan-jangan sakit perut!" Baru saja ia mengucapkan kata-kata itu. ketika tiba-tiba muncul muka bulat seseorang dari balik tebing. Muka itu ramah. dengan mata besar dan cerdas yang berkilat-kilat jenaka. "Astaga!" kata anak-anak kaget. "Maaf. rupanya aku mengagetkan kalian." kata orang itu. "Aku tadi sedang duduk-duduk di sini, di bawah tebing. ini tempat yang paling kugemari untuk memancing ikan. Tentu saja aku tidak ribut-ribut. supaya jangan sampai ikan lari. Mau tidak mau kudengar percakapan kalian tadi. Menarik sekah. Ya ya. sangat menarik!" Tapi Buster begitu ribut menggonggong. sehingga anak-anak nyaris tak bisa mendengar kata-kata orang yang cuma nampak kepalanya itu. Kemudian orang itu naik ke atas tebing, menghampiri mereka. Ternyata laki-laki itu bertubuh besar sekali. Kekar dan kuat, memakai setelan wol kasar dan sepatu berwarna coklat yang ukurannya seperti untuk kaki gajah. Laki-laki itu duduk di sisi anak-anak. Ia mengambil sebatang coklat dari kantong jasnya, memotong-motong lalu membagikannya pada mereka. Anak-anak langsung suka pada orang itu. "Anda tadi mendengar semua yang kami bicarakan?" tanya Bets. "Sebetulnya itu rahasia. Kami ini Pasukan Mau Tahu." "Mau tahu apa?" tanya orang itu dengan heran. "Apakah dalam kantongku masih ada coklat, barangkali?" Anak-anak tertawa cekikikan. "Bukan." kata Daisy. "Kami ini penyelidik Kami menyelidiki berbagai hal." "O, begitu," kata laki-laki itu. sambil menyalakan pipa. Sementara itu Buster sudah mau ramah terhadapnya. Laki-laki itu menepuk-nepuknya. "Anda ini siapa?" tanya Bets. "Aku belum pernah melihat Anda sebelum ini." "Yah - aku ini juga bisa digolongkan Pasukan Mau Tahu," kata orang itu. "Tugasku juga menyelidiki hal-hal yang misterius. Pekerjaan yang menarik. Ya kan?" "Betul." kata anak-anak dengan gaya paduan suara. Serempak! "Kalau tidak salah dengar tadi. saat ini kalian sedang mengalami kerumitan." kata orang itu sambi! mengepul-ngepulkan asap tembakau. "Perkara aneh yang dihadapi berhasil kalian pecahkan - tapi kini hasilnya tidak bisa disampaikan pada orang lain. Begitu kan?" "Betul." kata Larry. "Soalnya begini. Pak Goon - dia itu polisi desa ini - Pak Goon tidak menyukai kami. Dia mengadu pada orang tua kami. tentang beberapa hal yang kami lakukan. Ya - harus diakui, beberapa di antaranya memang keterlaluan Tapi kami melakukannya dengan maksud baik. Maksud saya - kami ingin tahu. siapa yang membakar pondok Pak Hick." "Dan kini setelah kalian tahu, kalian terpaksa bungkam." kata orang itu. masih mengepul-ngepulkan asap tembakau. "Benar-benar menjengkelkan. untuk kalian. Coba ceritakan lebih banyak mengenainya. Seperti kukatakan tadi. aku ini juga termasuk orang yang suka ingin tahu. Karenanya aku senang memperbincangkan soal-soal yang misterius, sesama rekan. Kalian mengerti kan. maksudku?" Anak-anak memandang orang itu. Ia membalas tatapan mereka dengan matanya yang berkilat jenaka. sementara tangannya yang besar menepuk-nepuk Buster. Larry menoleh pada teman-temannya. "Kurasa tak ada salahnya jika menceritakan segala-galanya sekarang- Bagaimana?" tanya Larry. Anak-anak mengangguk. Mereka merasa pemancing ikan bertubuh besar itu bisa dipercayai. Rahasia mereka pasti akan dipegang teguh olehnya. Jadi Larry lantas menceritakan kisah pengalaman Pasukan Mau Tahu. sekali-sekali diselang-seling oleh Daisy, Fatty atau Pip. Sedang orang itu mendengarkan dengan seksama. Kadang-kadang ia mengajukan pertanyaan. Sekali-sekali kepalanya diangguk-anggukkan. "Kau anak pintar." katanya pada Fatty. ketika Larry sampai pada bagian di mana Pak Hick membuka rahasia dirinya karena mengatakan melihat ketujuh pesawat Tempest yang melintas pada petang hari terjadinya kebakaran. Muka Fatty memerah karena senang dan bangga Bets meremas tangannya, karena ikut senang. Akhirnya cerita itu berakhir. laki-laki bertubuh besar itu mengetuk-ngetukkan pipanya supaya padam. sambil memandang anak-anak. "Kalian telah bekerja dengan baik sekali." katanya dengan wajah berseri-seri. "Kuucapkan selamat pada Pasukan Mau Tahu -dan juga pada anjing ini! Dan - kurasa aku bisa membantu kalian sedikit." "Dengan cara bagaimana?" tanya Larry. "Yah - kita harus berusaha menemukan gelandangan tua itu lagi."ú kata laki-laki itu- "Dari katamu tadi mengenai ceritanya pada kalian, mungkin juga melihat Pak Hick dalam kebun bersembunyi di parit. Kalau betul begitu, itu suatu bukti yang penting. Dan - anu. polisi itu perlu tahu tentang segala ini." "Wah," kata anak-anak dengan kecewa. Mereka membayangkan Pak Ayo Pergi yang pasti akan mengaku-aku bahwa ialah yang menyelidiki sendiri segala-galanya. "Dan mungkin gelandangan itu tidak bisa kita temukan lagi," kata Larry. "Mungkin ia sudah pergi jauh dari sini!" "Aku pasti akan bisa mencukanya untuk kalian." janji laki-laki bertubuh besar itu. "Lalu Pak Ayo Pergi - itu julukan untuk Pak Goon - dia pasti takkan mau mempedulikan laporan kami." kata Fatty dengan lesu. "Akan kuusahakan agar ia mau mendengar," kata laki-laki yang mengherankan itu sambil bangkit. "Serahkan saja padaku! Datanglah ke kantor polisi desa besok. pukul sepuluh. Aku akan ada di sana, dan segala-galanya akan kita bereskan saat itu." Setelah itu dipungutnya jorannya, lalu dipanggul "Pembicaan tadi menarik sekali." katanya. "Sama-sama bermanfaat bagi kita bersama. Mudah-mudahan kalian juga berpendapat demikian." Kemudian ia pergi, menyusur keremangan senja. Anak-anak masih duduk, sambil memperhatikan. "Besok pukul sepuluh, di kantor polisi," kata Fatty. Ia merasa agak tidak enak "Apa yang akan terjadi di sana nanti`? Dan bagaimana ia hendak mencari gelandangan?" Anak-anak tidak ada yang tahu. Larry memandang arlojinya Ia berteriak kaget. lalu cepat-cepat bangkit. "He - sudah malam! Wah - sekarang kita benar-benar kena marah. Yuk; kita cepat-cepat pulang!" Anak-anak bergegas ke rumah masing-masing. "Sampai besok." seru mereka saling berpesan. "pukul sepuluh. di kantor polisi Jangan sampai datang terlambat!" XIX MISTER! BERAKHIR KEESOKAN pagi, kelima anak itu datang tepat pada waktunya di kantor polisi Buster tentu saja tidak boleh ketinggalan. Mereka juga membawa serta petunjuk-petunjuk yang berhasil dikumpulkan. Laki-laki yang kemarin meminta agar barang-barang itu dibawa. Gambar jejak sepatu yang dibuat oleh Fatty, sobekan kain flanel kelabu dalam kotak korek api, kini ditambah dengan sepasang sepatu bersol karet hasil galian Buster. "Sebetulnya satu-satunya petunjuk yang tak berguna sama sekali adalah sobekan kain flanel," kata Larry sambil membuka kotak korek api. "Kita tak berhasil mengetahui. siapa pemilik jas dan mana sobekan ini berasal. Tapi pasti seseorang yang menyusup masuk lubang di pagar! Mungkin malam itu Pak Hick memakai setelan abu-abu. Kalau itu benar, sejak itu tak pernah dipakainya lagi! Soalnya. setiap kali kita berjumpa dengannya. Ia selalu memakai setelan biru tua." Anak-anak memasuki kantor polisi dengan sedikit takut-takut. Pak Goon ada di situ, serta seorang polisi lain yang tidak dikenal anak-anak. Mereka memandang Pak Goon, dengan perkiraan orang itu pasti bangkit sambil berseru, "Ayo pergi!". Tapi ternyata tidak. Ia mempersilakan mereka duduk dengan sopan sekali. Anak-anak cuma bisa melongo menghadapi perubahan sikap itu. Tapi mereka duduk. Ketika Buster menghampiri kaki polisi itu dan mengendus-endusnya. Pak Ayo Pergi bahkan tidak menendangnya. "Kami kemari untuk bertemu dengan seseorang," kata Fatty. Pak Ayo Pergi mengangguk. "Sebentar lagi dia datang," katanya. Baru saja ia berkata begitu sebuah mobil polisi datang. Anak-anak menoleh. Mereka mengira akan melihat kawan baru mereka, laki-laki yang kemarin. Tapi ia tidak ada dalam mobil. Mata anak-anak terbuka lebar, ketika melihat orang lain yang mereka kenal di dalamnya. Gelandangan tua! Orang itu menggumam pada dirinya sendiri. Kelihatannya agak takut. "Aku ini orang tua yang jujur." gerutunya pada diri,sendiri. "belum pernah ada orang bilang aku tidak jujur. Akan kuceritakan segala-galanya yang kuketahui. Tentu saja aku akan terus terang. Tapi kalau sampai terlibat dalam kesulitan. itu aku tidak mau. Aku belum berbuat sesuatu yang terlarang." Di samping gelandangan itu duduk seorang polisi berpakaian preman. Bets memandangnya dengan mata yang membesar, ketika Larry bercerita bahwa laki-laki bersetelan kelabu tua itu seorang polisi "Kusangka polisi itu selalu berpakaian seragam," kata anak perempuan itu. Kemudian datang lagi sebuah mobil. dikemudikan seseorang yang gagah berseragam biru Para anggota kepolisian yang sudah lebih dulu ada langsung memberi hormat. ketika orang itu turun dari mobil. Anak-anak menatap orang yang baru datang itu. Tiba-tiba Bets terpekik pelan. "Itu kan pemancing ikan yang kemarin! Halo, Pak!" sapa Bets. "Hallo - apa kabar!" kata laki-laki berbadan besar itu sambil tersenyum. "Gelandangan itu sudah kami temukan, Pak inspektur," kata polisi yang berpakaian biasa padanya. Anak-anak berpandang-pandangan. Ternyata kawan baru mereka itu Inspektur Polisi. Wah! "Inspektur itu polisi yang pangkatnya tinggi," bisik Pip pada Bets. "Inspektur biasanya pintar. Lihat saja Pak Ayo Pergi - gemetar tubuhnya!" Sebetulnya Pak Goon sama sekali tidak gemetar. Tapi jelas terkesan sekali atas kedatangan inspektur ke kantor polisinya di desa kecil itu. Sementara itu inspektur memandang anak-anak dengan wajah berseri-seri. "Senang rasanya bisa ketemu lagi dengan kalian." katanya. Kemudian ia menyapa Pak Goon yang langsung mengambil sikap hormat "Anda beruntung. Goon - bahwa di daerah wewenang Anda ada lima anak yang begini cerdas." Mulut Pak Goon bergerak-gerak. tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati ia tidak mengingini anak-anak yang cerdas di daerahnya - apalagi yang lebih cerdas daripada dirinya sendiri. Tapi tentu saja itu tidak bisa dikatakannya pada Pak inspektur! Kemudian gelandangan tua dibawa menghadap. Dan begitu laki-laki tua itu dijanjikan bahwa demi kepentingannya sendiri ia diminta memberi keterangan, ia pun menjawab dengan sebenarnya. Anak-anak mengikuti pemeriksaan itu dengan penuh perhatian "Tolong ceritakan. siapa-siapa saja yang Anda lihat dalam kebun Pak Hick malam itu." kata Inspektur. "Yah," kata gelandangan tua itu "Pertama-tama saya sendiri, bersembunyi di bawah semak dekat pondok. Bukan dengan niat jahat, Pak - cuma ingin istirahat, sebentar saja." "Ya ya -- aku mengerti." kata Inspektur. "Lalu saya melihat laki-laki yang baru saja dipecat pagi itu." sambung si gelandangan. "Namanya Peeks -- kalau tidak salah. Ia juga bersembunyi dalam semak. dengan seseorang yang tidak bisa saya lihat Tapi dari suaranya, rasanya seorang gadis. Lalu saya melihat Peeks masuk ke rumah lewat jendela. Lalu keluar lagi, juga lewat jendela." "ah," kata inspektur mengomentari. "Setelah itu saya melihat seorang laki-laki yang sudah tua," kata si gelandangan melanjutkan ceritanya. "Saya mendengar dia bertengkar dengan Pak Hick hari itu juga. Kalau tidak salah, namanya Smellie. Ya. betul - Smellie! Nah. dia itu, menyelinap dari depan, lalu masuk ke rumah lewat pintu samping. Tak lama sebelum Peeks keluar lagi." "Teruskan." desak inspektur. "Anda melihat orang lain lagi kecuali mereka?" "Ya." jawab si gelandangan. "saya melihat Pak Hick sendiri!" Semua mendengarkan sambil menahan napas. "Saya masih berbaring di bawah semak." kata si gelandangan, "sambil berpikir, 'banyak sekali orang dalam kebun,' ketika tiba-tiba terdengar bunyi seseorang menyusup lewat lubang dalam pagar semak, tidak jauh dan sempat saya. Saya mengintip di antara ranting-ranting. Ternyata yang masuk itu Pak Hick sendiri. Lama sekali ia bersembunyi dalam parit di tepi pagar. Lalu menuju semak buah blackberry yang lebat. Ia mengambil sebuah kaleng yang tersembunyi di situ." Fatty bersiul pelan. Aneh rasanya mendengar gelandangan itu membeberkan kejadian yang telah mereka sambung-sambungkan dengan cermat. berkat hasil penyelidikan sendiri. Mestinya kaleng itu isinya bensin! "Lalu Pak Hick menuju ke pondok dan langsung masuk. Beberapa saat ia berada di dalam. Lalu keluar lagi, mengunci pintu dan bersembunyi kembali dalam parit." sambung gelandangan tua. "Saya berbaring diam-diam di bawah semak. Beberapa waktu kemudian. ketika hari sudah benar-benar gelap. saya mendengar Pak Hick keluar dari parit dan berjalan menuju rel kereta api. Kemudian nampak nyala dalam pondok. Saya langsung menduga ada kebakaran! Karenanya saya lantas cepat-cepat minggat. Saya tidak mau ketahuan ada di situ. lalu dituduh membakar pondok." "Terima kasih," kata inspektur. "Masih ada lagi yang Anda lihat di sana?" "Tidak, Pak," jawab si gelandangan. "Siasat yang sangat licik," kata inspektur. "Pak Hick perlu uang. Ia sengaja bertengkar dengan beberapa orang hari itu. Jadi apabila perusahaan asuransi nanti mencurigai kemungkinan kebakaran dilakukan dengan sengaja, maka cukup banyak orang yang bisa dicurigai membakar pondoknya untuk membalas dendam. Siangnya ia menyuruh supirnya mengantar dia ke stasiun, di mana ia hendak naik kereta api ke kota. Mestinya di stasiun berikut Pak Hick turun lagi, lalu mengambil jalan memotong kembali ke kebunnya. Di situ ia menyembunyikan diri, sampai ada kesempatan baik untuk membakar pondoknya sendiri. Lalu ia berjalan kaki kembali ke rel kereta api, menunggu di tempat tertentu di mana kereta yang datang dari London selalu berhenti selama kira-kira semenit. Begitu kereta berhenti, Pak Hick memasuki gerbong yang kosong. Ia tidak ketahuan. karena saat itu sudah gelap. Setibanya di stasiun Peterswood, ia sudah ditunggu supir untuk diantar pulang dengan mobil. Sesampai di rumah, orang-orang memberi tahu bahwa pondok tempatnya bekerja terbakar. Ya, licik sekali siasat itu!" "Dan sekarang kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan pada Pak Hick." kata polisi yang berpakaian preman. "Betul," kata Inspektur. Lalu menoleh pada anak-anak. "Kami akan memberi kabar pada kalian tentang perkembangan berikutnya," katanya. "Dan perlu kukatakan di sini, aku bangga sekali berkenalan dengan Pasukan Mau Tahu. Dan juga dengan anjing kalian! Kurasa kita akan bisa bekerja sama memecahkan kejadian-kejadian misterius selanjutnya, di masa depan. Aku akan senang sekali jika kalian mau membantu. Kurasa Pak Goon juga sependapat dengan aku." Padahal sama sekali tidak Tapi apalah yang bisa diperbuat Pak Goon saat itu. kecuali mengangguk dan mencoba tersenyum. Dalam hati ia sangat jengkel, mengingat kelima `berandal` itu ternyata berhasil mendului dia dalam memecahkan kejadian yang misterius itu. Apalagi mendengar Pak Inspektur memuji-muji mereka. "Sampai bertemu lagi, Goon," ucap Inspektur dengan ramah. sambil berjalan ke luar menuju mobilnya. "Selamat jalan. Pak Inspektur Jenks." kata Pak Goon yang malang itu. "Kalian mau ikut?" tanya Inspektur pada anak-anak "Mungkin kita searah!" Memang betul, karena Inspektur hendak mendatangi Pak Hick bersama polisi yang berpakaian preman. Anak-anak bergegas masuk ke mobil. Mereka bangga sekali. Mudah-mudahan saja, orang-orang sedesa melihat mereka naik mobil bersama kawan baru mereka, Inspektur Jenks yang hebat! "Pak " tanya Pip malu-malu. "mungkinkah Anda mau menolong kami sedikit? Maksud saya, Pak Goon kan mengadu pada orang tua kami, sehingga kami kena marah. Jika Anda mau bicara dengan mereka dan mengatakan yang baik-baik tentang kami..." "Ya ya. aku mengerti! Tentu saja aku mau," kata Inspektur dengan wajah berseri-seri. sambil menghidupkan mesin mobil. "Nanti aku mampir, sehabis memeriksa Pak Hick." Dan Inspektur Jenks menepati janji. Ia mampir di rumah Pip. Ibu anak itu benar-benar terkesan, mendengar Pak Inspektur dari kota itu memuji-muji Pasukan Mau Tahu. "Mereka anak-anak yang cerdas." kata Inspektur Jenks. "Anda tentunya sependapat dengan saya. Saya bangga. bisa berkenalan dengan mereka." Setelah itu anak-anak mengerumuninya dengan perasaan ingin tahu. "Bagaimana dengan Pak Hick?" tanya mereka. "Apa katanya?" "Aku menanyainya dengan teliti sekali! Kami juga mengatakan bahwa kami sudah tahu segala-galanya, dan sepatunya sudah ada pada kami." kata Inspektur Jenks. "Mula-mula ia masih mungkir terus. Tapi ketika diminta menjelaskan. bagaimana ia bisa mendengar rombongan pesawat terbang melintas di atas desa ini sementara ia bersumpah-sumpah saat itu ada di London, ia lantas menyerah. Segala-galanya diakui olehnya. Kini Pak Hick terpaksa meninggalkan rumahnya yang nyaman itu untuk masa yang lama! Sekarang ia dalam perjalanan menuju kantor polisi. Kasihan Bu Minns -- wanita itu gugup sekali!" "Kurasa Lily pasti senang sekarang, karena Horace tidak lagi dicurigai " kata Daisy. "Dan kita juga perlu memberi tahu Pak Smellie, supaya ia mau memaafkan kita karena masuk ke rumahnya dan mengambil sepatu miliknya. Sepatu itu akan dikembalikan Pak Goon atau tidak, Pak Inspektur?" "Bukan mau lagi namanya karena sudah dikembalikan," jawab inspektur Jenks. "Nah, sekarang aku harus kembali. Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi. kapan-kapan. Kalian telah bekerja dengan baik sekali!" "Cuma satu petunjuk saja yang ternyata tidak ada gunanya." kata Larry, sambil mengeluarkan kotak korek api yang berisi sobckan kain flanel. "Kami tidak berhasil menemukan tersangka yang memakai setelan jas flanel kelabu yang sobek sedikit." "Kurasa aku mampu menjelaskan soal petunjuk yang ini," kata Inspektur Jenks. Tampangnya serius dan bijaksana. "Bilang dong, Pak" pinta Bets. Inspektur Jenks menarik Larry ke dekatnya, lalu memutar tubuh anak itu. Ditunjukkannya pada anak-anak yang lain sobekan kecil pada jas flanel yang dipakai oleh Larry. Letaknya tersembunyi, agak di belakang ketiak. "Dari sinilah asalnya sobekan itu!" kata Inspektur sambil terkekeh-kekeh. "Kalian kan waktu itu menyusup lewat lubang dalam pagar, ketika sedang sibuk mencari jejak? Nah. saat itu jas Larry mestinya tersangkut pada duri! Lalu anak yang di belakangnya tiba-tiba melihat sobekan kain itu dan lantas menyangka itu pasti petunjuk penting! Untung saja kalian tidak melihat jas Larry sobek. Kalau sampai melihat, jangan-jangan namanya juga tercatat sebagal tersangka dalam daftar kalian!" Anak-anak tertawa mendengar lelucon itu. "Kenapa sampai tidak ada yang melihat bahwa jas Larry agak robek?" kata Bets tercengang. "Yah- segala hal berhasil kita ketahui - tapi justru itu tidak!" "Nah. selamat tinggal. Anak-anak." kata Inspektur sambil masuk ke mobilnya. "Terima kasih atas bantuan kalian. Akhirnya memuaskan sekali. Ya kan?" "Betul!" seru anak-anak serempak "Selamat jalan, Pak! Untung kami berjumpa dengan Anda." Mobil itu melaju ke jalan besar. Anak-anak berbalik, masuk kembali ke kebun. "Wah, minggu ini kata benar-benar sibuk dan asyik." kata Daisy. "Kita sudah berhasil memecahkan perkara misterius itu. Jadi Pasukan Mau Tahu boleh bubar!" "Ah, jangan!" bantah Fatty. "Kita kan bisa tetap bergabung, karena siapa tahu - barangkali saja ada kejadian lain yang juga penuh teka-teki. yang perlu kita pecahkan beramai-ramai. Kita tunggu saja, sampai kejadian itu datang!" Mereka lantas menunggu. Dan jelas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tapi tentang itu, ada dalam buku selanjutnya! Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net